Bab 5. Jangan Pernah Bermimpi!

1205 Kata
Jessica berontak dengan segala kekuatan yang tersisa, namun setiap perlawanan hanya menjadikannya semakin lemah di hadapan Levin. Ketidakberdayaannya hanya ditandai oleh linangan air mata yang jatuh tanpa bisa dihentikan. Sementara Levin, dengan kekuatan yang tak terkalahkan, kembali menggigit bibir Jessica hingga berdarah dan teriakan kesakitan pecah dari bibir yang terluka itu. Sesudah itu, Levin akhirnya melepaskan cengkeramannya, wajahnya memancarkan senyum kepuasan yang keji. "Akh." Jessica mencoba untuk menahan rasa sakit itu seraya mengusap darah di bibirnya. "Kenapa kamu tidak melawanku? Kenapa kamu memilih untuk bersikap pasrah dan pura-pura lemah di hadapanku? Apa kamu sedang mencari simpatiku? Jangan pernah bermimpi! Justru ini membuatku semakin jijik!" bisik Levin dengan nada mengejek. Dengan hati yang berdebar dan napas yang tersengal, Jessica mencoba meraih kembali ketenangannya. "Apakah sekarang, kamu sudah merasa puas? Apa lagi yang kamu inginkan dariku, Levin?" tanyanya dengan suara yang bergetar, penuh emosi. Levin tersenyum sinis. "Apa ucapanku belum cukup jelas? Aku ingin kamu berada di sini, bekerja untukku, agar aku bisa terus-menerus menyiksamu sesuka hati," balasnya, tanpa belas kasihan. "Tapi itu tidak mungkin, Levin. Aku sudah terikat kontrak kerja di Perusahaan AB Group. Bagaimana mungkin aku bekerja untukmu di sini?" Jessica membalas dengan nada tegas meski hatinya hancur. Mereka berdua berdiri dalam ketegangan, dengan Jessica terperangkap dalam kebrutalan dan ketidakberdayaan yang mendalam. "Dasar bodoh! Kamu pikir, aku tidak bisa memaksamu berada di sini?" kata Levin dengan nada sinis. Jessica tahu, pria di hadapannya memiliki kuasa mutlak atas dirinya, sanggup berbuat apa saja sesuka hati. Meski begitu, haruskah ia menyerah begitu saja? Memikirkannya saja sudah membuatnya merasa tercekik. Langkah apa yang harus diambil selanjutnya, hanya membuatnya semakin terperangkap dalam dilema. "Levin, sekali lagi aku mohon, lepaskan aku!" suara Jessica terdengar lirih, penuh keputusasaan. "Semuanya sudah berlalu, aku sudah minta maaf dan kamu sudah membalas dendammu. Apa lagi yang kamu inginkan dariku?" Air mata Jessica mengalir perlahan, penuh dengan rasa memohon. Tetapi, Levin hanya menyeringai sinis, kekejamannya tak terbendung. "Jangan pernah bermimpi! Sampai mati pun, aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi!" katanya tegas, suaranya dingin menusuk tulang. "Dan air matamu itu, tidak akan pernah mengundang rasa iba dariku." Jessica merasa hancur. Setiap kata Levin bagaikan pukulan berat menghantam jiwa raga. "Tapi kenapa, Levin? Apa belum cukup bagi kamu?" tangisnya semakin menjadi, seraya ia jatuh berlutut. "Sejak kita bertemu, kamu terus menyiksaku. Bahkan, kamu meminta aku untuk melayanimu dan aku sudah melakukannya." Tanya dan rayuan yang penuh kesedihan itu, terdengar di antara isak tangisnya yang memilukan. Levin menatap Jessica dengan pandangan yang membara, seolah-olah mata itu dapat membakar jiwa seseorang. "Sudah aku katakan, Jessica, aku tidak akan diam sampai di sini saja! Aku akan membalas semua perbuatanmu di masa lalu," ucapnya dengan nada yang tegas dan dingin. Jessica, dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba membela diri, "Levin, dulu aku terpaksa melakukan itu-" Namun, Levin memotong kalimatnya dengan sebuah gelombang tangan yang dingin, tak ingin mendengarkan alasan apapun dari Jessica. Levin menekan lebih jauh, suaranya menyeruak seperti racun. "Sudahlah, kamu tidak memiliki pilihan lain! Bekerja untukku di sini atau kamu akan kehilangan segalanya!" Ancaman itu seperti petir yang menyambar hati Jessica, membuatnya terpaku di tempat. Jessica terguncang, bibirnya bergetar, "Apa maksudmu, Levin? Kamu mau membuatku Kehilangan pekerjaan?" Suaranya terdengar lemah. Levin tersenyum dengan sinis. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau." Dia kemudian kembali ke kursi kebesarannya, posisinya yang tinggi meninggikan rasa kekuasaannya. Dalam keputusasaan, Jessica menyadari bahwa ia berada di tepi jurang. Bekerja untuk Levin berarti menghadapi setiap hari yang lebih menyerupai neraka daripada kehidupan. Namun, dengan hati yang hancur, ia tidak memiliki banyak pilihan. "Baik, Levin. Aku akan mengikuti kemauanmu," kata Jessica dengan suara yang getir, sambil memikirkan masa depan suram yang akan dihadapinya. Levin menatapnya dengan senyum kemenangan yang lebar. "Pergi dan ingat, kapan pun aku membutuhkan dan apapun yang aku mau, kamu harus siap." "Baik, Pak Levin. Saya permisi," ucap Jessica, kembali berbicara formal layaknya bawahan dan atasan semestinya. Namun di dalam hati, segalanya tidak sesederhana itu. Jessica mencoba menatap Levin sekali lagi, mencari entah apa—dalam raut wajah pria itu, tetapi mantannya tersebut hanya mengibaskan tangan, isyarat baginya untuk segera keluar dari ruangan. Dadanya serasa sesak, namun ia menahan dirinya. Menahan air mata yang nyaris tumpah kembali, menahan segala sesak yang merongrong hati. Kemudian, ia pun bergegas pergi sebelum rasa sakit itu menghancurkan pertahanannya. "Apa ini balasannya untukku? Memang semua salahku dan aku pantas menerima perlakuan ini dari Levin." Pikiran itu terus menghantui Jessica, seakan mencubit setiap inci kesadarannya, membuat langkahnya terasa begitu berat. "Bu Jessica, ayo, saya antar. Tempat duduk Anda ada di sebelah sana." Suara Billy yang tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunan Jessica. Wanita itu menoleh cepat, mungkin terlalu cepat, sedikit kaget. "Oh, iya. Terima kasih, Pak," sahut Jessica sambil berusaha menguasai diri, menyembunyikan perasaan yang masih mengacau di dadanya. "Sama-sama, Bu," jawab Billy dengan ramah, lalu menambahkan, "Semoga Bu Jessica betah bekerja kembali di sini. Jujur, saya baru dua tahun bekerja dengan Pak Levin, jadi tidak tahu persis apa yang terjadi sebelumnya. Yang saya tahu, Pak Levin sendiri yang meminta Anda kembali bekerja di sini." Ia berbicara hati-hati, seolah takut salah bicara. "Tentu saja dia memintaku untuk kembali berada di dekatnya dan tujuannya itu untuk balas dendam. Kamu Jangan berpikir ada hal yang lain, Pak Billy," batin Jessica, kembali terdiam. "Bu Jessica. Bu!" Billy kembali membuat Jessica tersadar dari lamunannya. "Oh, iya, Pak Billy. Maaf. Memang benar saya pernah bekerja di sini. Terima kasih banyak ya, lebih baik Anda lanjutkan saja pekerjaan Anda," ujar Jessica. "Baik, Bu. Tapi tolong, jangan panggil saya 'Bapak', panggil saya Billy saja," pinta asisten Levin itu dengan nada hangat. "Ya sudah, oke kalau begitu. Tapi, kamu juga panggil saya Jessica saja, tanpa embel-embel 'Bu'," balas Jessica sambil tersenyum tipis. "Oh, tentu, Jessica. Ya sudah, saya permisi dulu ya," pamit Billy sambil menoleh sekilas. Jessica mengangguk, menatap Billy yang mulai menjauh, meninggalkannya di tempat yang dulunya pernah ia kenal, namun kini terasa begitu asing dan dingin. Dalam diam, pikiran Jessica melayang pada Levin dan Junior. "Apakah sekarang sudah saatnya, aku bicara sama Levin tentang Junior? Tapi, gimana kalau dia nggak percaya sama aku?" gelisahnya dalam hati. Jessica bisa merasakan bagaimana getirnya pandangan Levin, seolah ia hanyalah wanita rendahan yang tak lebih dari sekadar mainan bagi lelaki-lelaki lepas. Kekhawatiran itu menyesakkan dadanya, menyisakan rasa takut yang tak terkatakan. Sebelum memulai pekerjaannya, Jessica menghubungi Manajer Perusahaan AB Group untuk memastikan. Dan benar saja, ia sudah dipindahkan ke Perusahaan Anggara. Alasannya? Jelas karena permintaan Levin yang mempunyai kekuasaan, tanpa bisa dibantah. Jessica tertegun. Bagaimana mungkin pria tersebut bisa begitu seenaknya memutuskan tanpa sedikit pun bertanya pendapatnya? Namun, apa lagi yang bisa ia perbuat? Ia hanya bisa menundukkan kepala dan menerima. Pilihan ini sudah diambil, meskipun berat. Dalam hati Jessica, ada sedikit penyesalan karena salah, sudah memutuskan untuk kembali ke tanah air. Tapi sekarang sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Ia berusaha menguatkan diri. "Jessica, kamu harus kuat. Hidup nggak selalu mudah, tapi kamu pasti bisa melalui semua ini. Ini juga demi Junior." Jessica mencoba menyemangati dirinya sendiri, meskipun hatinya terasa penuh beban. Dengan napas panjang, Jessica mulai mengarahkan perhatiannya pada pekerjaan, mencoba mengalihkan rasa sesak itu. Namun, baru saja ia membenamkan diri dalam pekerjaannya, ponselnya berdering. Nama Sus Reni, pengasuh anaknya, muncul di layar. Tanpa menunda, ia segera menjawab panggilan itu. "Apa? Baik, saya akan segera ke sana." Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN