Jessica merasa jantungnya berdegup kencang, saat mendengar kabar dari pengasuh anaknya di seberang telepon. Ada sesuatu yang serius. Ia harus segara pergi dan pikirannya panik, sambil meraih tasnya dengan tangan gemetar.
Namun, langkah Jessica terhenti ketika suara dingin Levin yang baru saja keluar dari ruangannya, memanggil dari belakang, "Kamu mau ke mana?" Suaranya tegas, menahan pergerakan Jessica. "Kamu baru saja masuk kerja dan sekarang mau kabur, hah?"
Jessica menoleh, mencoba mengatur napas meski gugup. "Maafkan saya, Pak Levin. Tapi, saya harus pergi sekarang. Ada hal yang benar-benar urgent dan ini sangat penting," ucapnya, berharap Levin akan membiarkannya pergi.
Namun, raut wajah Levin justru berubah kaku, tanpa sedikit pun rasa empati. "Saya tidak peduli," jawabnya ketus. "Sepenting apa pun masalah kamu, tidak ada yang lebih penting daripada pekerjaan di perusahaan ini! Sebentar lagi ada rapat, kamu harus segera mempersiapkan bahan untuk meeting."
Ada rasa putus asa yang menghantam. Jessica mencoba mencari kata-kata yang dapat meredam situasi, namun lidahnya terasa kelu. "Pak Levin, saya mohon. Tolong biarkan Billy yang menyelesaikan semuanya untuk sementara. Saya janji, saya akan segera kembali setelah urusan saya selesai," katanya penuh harap.
Levin menyipitkan mata, wajahnya diliputi amarah. "Kamu berani membantah perintah bos kamu? Apa kamu pikir, perusahaan ini akan berhenti beroperasi hanya karena masalah pribadi kamu?"
Jessica tertegun, kata-kata Levin terdengar menyengat telinganya. Dalam hatinya berkecamuk. Saat ini, Junior sangat membutuhkannya, tetapi pekerjaan ini adalah sumber penghidupan mereka. Bagaimana ia bisa menjelaskan tanpa membuat semuanya lebih buruk? Pilihan yang tak adil ini menguji batas kesabarannya, tetapi waktu terus berjalan. Jessica harus mengambil keputusan sekarang—apapun yang terjadi, ia tidak bisa membiarkan anaknya sendiri menghadapi masalah itu tanpanya.
"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf," ucap Jessica dengan nada yang bergetar. Tidak ada niatan untuk melawan, namun kaki-kakinya bergerak dengan cepat terdorong oleh perasaan panik yang menggumpal di d**a. Wajahnya pucat, matanya yang berkaca-kaca menandakan kegelisahan yang amat sangat.
Levin, dengan marah, berteriak menahan gadis itu, "Jessica, berhenti! Tunggu!"
Namun, Jessica tidak menggubris. Seolah-olah ada magnet yang menariknya menjauhi pria itu, langkahnya semakin cepat hingga ia menyelinap masuk ke dalam lift. Levin hanya bisa terpaku, rasa frustasi memuncak seiring dengan gerakan lift yang membawa Jessica menjauh darinya.
"Apa yang sebenarnya mau Jessica lakukan? Kenapa dia sangat terburu-buru? Berani sekali dia mengabaikanku!" umpat Levin seraya mendengus keras. Wajahnya merah padam, campuran amarah dan kekecewaan yang mendalam.
Levin tidak tinggal diam, ia berlari menuju lift khusus orang penting perusahaan, bertekad untuk tidak membiarkan Jessica lepas dari pandangannya. Adegan pengejaran dimulai, dengan Levin yang terus mendesak, menyalip lorong demi lorong.
Di luar perusahaan, Jessica dengan tergesa-gesa memanggil taksi. Tangan Levin hampir saja menyentuh bahu mantan kekasihnya itu, sebelum berhasil menghilang di dalam taksi yang melaju kencang, meninggalkannya dalam kehampaan dan kebisingan kota yang tak henti-hentinya. Ia tampak gelisah, langkahnya cepat seolah tak ingin disela oleh siapapun.
"Pak Levin, Anda mau ke mana?" tanya Billy yang baru saja kembali, entah dari mana.
Levin berhenti sejenak, tatapannya tajam tetapi tidak berbicara lebih banyak. "Di mana kunci mobil?" tanyanya akhirnya dengan nada mendesak.
Billy hanya terpaku sejenak, tidak segera menjawab.
"Kunci mobil mana?!" bentak Levin tiba-tiba, membuat asistennya sedikit terkejut. Rasanya seperti angin badai datang, penuh ketegangan.
"Pak Levin mau ke mana? Biar saya saja yang antar." Billy menawarkan bantuan, merasa ini lebih bijak.
Namun, Levin menepis tawaran asistennya itu dengan cepat. "Tidak perlu, kamu handle rapat satu jam lagi," ucapnya tanpa memberi ruang diskusi. Sorot matanya tajam, penuh tekad yang tidak dipahami. "Cepat, mana kunci mobilnya!" desaknya, membuat jantung Billy sedikit berdebar.
"Oh iya, Pak," sahut Billy gugup, segera merogoh saku celana dan memberikan kunci mobil kepada tuannya.
Tanpa banyak bicara, Levin merampas kunci mobil itu dari tangan Billy dan berjalan menuju ke mobil. Dari gerak-geriknya yang terburu-buru, Billy tahu ia punya sesuatu yang mendesak, tetapi tidak tahu apa. Asistennya tersebut hanya bisa memandang kepergiannya dengan kebingungan.
Billy menggaruk tengkuknya, meski tidak ada yang gatal di sana. "Apa yang sedang terjadi? Pak Levin mau ke mana?" tanyanya dalam hati.
Billy benar-benar tidak mengerti perilaku Levin akhir-akhir ini, sikapnya yang uring-uringan membuat pria tersebut sulit dipahami. Jessica—wanita yang selama ini ia cari, bukankah sudah kembali? Tetapi, mengapa tampaknya masih ada sesuatu yang begitu berat dan menghantui dalam hidup Levin? Ada cerita yang terpendam, sesuatu yang Billy rasa tidak akan mudah dibongkar begitu saja.
***
Levin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan membabi buta, kejar-mengejar bayang taksi yang sebelumnya ditumpangi oleh Jessica. Kendati sempat merasa kehilangan jejak, serpihan keberuntungan menghampirinya saat taksi itu terjebak di lampu merah.
Wajah Levin tersungging senyum licik. "Aku akan mengetahui semua gerak-gerikmu, Jessica. Kamu tidak akan bisa lari dari pengawasanku," gumamnya penuh kepuasan.
Hingga beberapa saat kemudian, taksi berhenti tepat di depan rumah sakit. Membuat Levin yang ikut memberhentikan mobilnya, merasa jantungnya tiba-tiba berdesir.
"Rumah sakit? Untuk apa Jessica ke sini?" Kekhawatiran dan penasaran mendadak menggelayuti benak pria itu.
Tanpa menunda, Levin segera memarkir mobilnya dan dengan lincah ia mengikuti langkah Jessica yang tergesa-gesa menuju ruangan IGD. Perlahan, ia mencuri pandang melalui pintu setengah terbuka, hanya untuk melihat Jessica yang sudah berada di samping seorang anak dan wanita dewasa, lantang dan jelas perasaan khawatir terpancar dari wajahnya.
Levin bersembunyi di balik dinding, hatinya dipenuhi kebimbangan. Rasa penasaran juga menggerogotinya, ingin tahu kisah penuh yang belum terungkap.
"Sus, bagaimana kondisi Junior?" tanya Jessica dengan sangat panik.
"Maaf, Bu Jessica. Tadi sewaktu saya mau mengantar Den Junior ke day care, tiba-tiba saja Den Junior pingsan. Tapi, dokter sudah memberikan pertolongan dan dokter juga mau bertemu dengan Bu Jessica," terang Reni, kekhawatiran jelas terpampang di wajahnya.
"Iya, Sus. Sekarang, Sus Reni bisa lihat sendiri 'kan, keadaan Junior nggak seperti anak-anak yang lainnya. Dia masih kecil tapi harus menanggung beban seberat ini. Kalau saya bisa menggantikannya, biar saya saja yang menanggung semuanya," ucap Jessica dengan air mata menetes. "Kasihan kamu, Nak," ucapnya, seraya mengelus pipi sang putra yang sedang tidur.
"Bu Jessica, Ibu yang sabar ya. Saya yakin Den Junior akan sembuh. Den Junior membutuhkan Ibu di sampingnya. Ibu adalah ibu yang hebat," kata Reni, berusaha menguatkan.
Kata-kata itu terasa menenangkan di tengah situasi genting ini. Jessica hanya bisa mengangguk perlahan sambil mencoba mengumpulkan kekuatan. "Terima kasih, Sus. Saya titip Junior sebentar, ya. Saya mau temui dokter dulu," ucapnya, menyerahkan kepercayaan kepada Reni untuk menjaga anaknya yang sedang berjuang di ruangan UGD.
"Iya, Bu. Jangan khawatir. Saya pasti akan menjaga Den Junior dengan baik," balas Reni dengan nada yang meyakinkan.
Ada sedikit rasa lega di d**a Jessica setelah mendengar itu, meski tetap saja rasa cemas seperti duri yang menusuk perlahan-lahan tanpa henti. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah pergi dari ruangan. Langkahnya berat, setiap tapak kaki terasa memikul beban dunia. Jessica mencoba mengabaikan segala ketakutan yang terus membisikkan kemungkinan buruk. Ia hanya ingin memastikan, Junior mendapatkan perawatan terbaik.
Namun, baru saja Jessica hendak keluar dari ruangan, suara dingin dan penuh sarkasme menghentikan langkahnya, "Oh, jadi kamu buru-buru pergi seperti itu karena terjadi sesuatu dengan anak harammu?"
Kalimat itu menusuk seperti pedang tajam. Jessica langsung tersentak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia terkejut melihat kehadiran Levin dan tak menduga, pria tersebut bisa berbicara seperti itu.
Bersambung …