Bab 7. Dia Bukan Anak Haram

1289 Kata
Jessica mendekat, menatap Levin yang berdiri tak jauh darinya. Rasanya, amarah dan rasa sakit mulai mengumpul menjadi satu. Kenapa harus ada penghinaan di saat seperti ini? Apa Levin tidak mengerti betapa sulitnya situasi yang sedang ia hadapi? Andaikan saja Levin tahu, siapa anak yang disebut anak haram itu, apa yang akan dia rasakan? Malas berdebat, Jessica memilih untuk menghindar dari Levin. ia berpikir, untuk apa melibatkan diri dalam percakapan penuh amarah, apalagi ada hal yang lebih penting daripada menanggapi sindiran kosongnya. Namun, seperti biasa, Levin tidak pernah bisa diam. Suaranya dingin saat meluncurkan tuduhan menyakitkan, "Kamu sama sekali tidak membantah? Ternyata dugaanku benar. Menghilang selama lima tahun, akhirnya kembali dengan membawa anak haram. Untuk apa? Apa kamu pikir aku akan merasa simpati atau bahkan memberikanmu pengampunan? Itu tidak akan pernah terjadi!" Jessica mengepalkan tangan, berusaha menahan gemuruh di dalam dadanya. "Cukup, Pak Levin!" ucapnya dengan nada tegas, tetapi tetap terkendali. "Dia memang anak saya. Tapi dia bukan anak haram. Jadi, saya minta Anda jangan sembarangan berbicara." Levin tertawa dingin, penuh sinisme yang begitu Jessica kenal. "Oh ya? Kalau bukan anak haram, jadi apa namanya? Bukannya kamu tidak punya suami? Jadi, apa lagi namanya kalau bukan itu?" Kembali, Jessica menatap sang mantan tajam, mencoba mengabaikan rasa pedih yang menguar setiap kali pria itu membuka mulut. "Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya. Jadi, jangan pernah ikut campur!" Ia merasakan suaranya semakin naik, tetapi ia harus tetap berdiri tegak. Tidak ada pilihan lain. "Saya sudah menuruti apa pun kemauan Anda. Anda bebas melakukan apa saja kepada saya, untuk balas dendam sekalipun, lakukan saja. Tapi saya mohon, jangan pernah melibatkan anak saya. Anda tidak akan pernah mengerti," tegas Jessica dengan nada bergetar, menahan luka yang rasanya kian mengiris hati. Di balik kata-kata itu, ia hanya ingin satu hal. Perlindungan bagi buah hatinya. Sebab, bagi seorang ibu, apa pun bisa ia hadapi, kecuali ketika anaknya yang tak bersalah diseret ke dalam kekacauan ini. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Jessica berlalu dengan amarah membara, meninggalkan Levin yang tertegun di tempat. "Ada apa sebenarnya? Kenapa Jessica sangat marah? Atau, ucapanku sudah keterlaluan?" Levin membatin, pikirannya kacau, mencoba mencari tahu apa yang ia lewatkan. "Atau mungkin Jessica pernah menikah? Tapi kenapa, sejauh ini semua informasi yang aku miliki mengatakan dia masih single? Kenapa aku bisa melewatkan informasi ini?" batinnya bergemuruh. Namun kali ini, ia membiarkan Jessica pergi tanpa mengejarnya. Dengan hati yang penuh kebingungan, Levin merogoh saku celana dan mengambil ponselnya, menghubungi seseorang. "Saya membutuhkan bantuan," ucapnya setelah panggilan tersambung. Tanpa membuang waktu, Levin segera menjelaskan apa yang ia butuhkan kepada orang di ujung telepon. Begitu mendengar konfirmasi bahwa orang tersebut mengerti, ia langsung memutuskan panggilan tersebut. Dalam benaknya, ada tekad yang membara untuk mengetahui seluruh kebenaran di balik semua ini. "Bagaimana mungkin, aku bisa melewatkan mendapatkan informasi yang sedetail ini? Kenapa aku bisa kecolongan?" gumamnya, mencoba menyusun kepingan-kepingan teka-teki yang berserakan di kepala. Tetapi Levin yakin, mulai sekarang, ia tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi lagi. Akhirnya, ia meninggalkan rumah sakit, mengingat ada begitu banyak pekerjaan yang menunggunya di perusahaan. *** Pada hari pertama Jessica bekerja di perusahaan Anggara, hatinya terbelah antara tugas dan kebutuhan anaknya yang sedang tidak baik-baik saja dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Detik demi detik berlalu dengan berat, karena Jessica merasa tercabik harus memisahkan diri dari sang buah hati yang sedang berjuang melawan sakitnya. Untungnya, atas kebaikan hati Levin kali ini yang tak mempersulitnya, Jessica mendapatkan izin untuk mendampingi sang putra. Sebuah kelegaan menyelubungi hatinya, namun diiringi oleh luka yang tak kunjung sembuh. "Maafkan Mama, Sayang. Karena Mama belum bisa menyatukan kamu dengan ayahmu," bisik Jessica lirih, tangannya lembut mengelus rambut sang anak yang terbaring lemah. Kesalahpahaman tragis di masa lalu membuat ayah kandung Junior membenci Jessica dan kini, rasa takut meracuni hatinya. Jessica begitu khawatir mempertemukan keduanya, terlalu takut untuk menyibak luka lama yang mungkin saja belum sembuh. Dalam diam, air mata mulai menetes di pipi Jessica, setiap tetes menggambarkan perjuangan dan ketakutannya. Tanpa Jessica sadari, tiba-tiba Junior membuka matanya—matanya yang dalam seolah mampu menembus jiwa. "Mama, kenapa Mama nangis? Apa Mama sedih karena Juniol sakit?" kata Junior dengan suara yang hampir tak terdengar. Kata-kata polos itu menambah bobot di hati Jessica. Meski dunia terasa runtuh, dia mencoba tersenyum melalui air matanya, berharap bisa menjadi kekuatan bagi Junior yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Mereka berdua, terdiam dalam pengharapan dan kasih sayang, mencari kekuatan dalam diam yang rapuh itu. Mengusap air matanya, Jessica mencoba menampilkan senyuman. Ia harus kuat, demi anak yang sangat dicintainya. "Nggak, Sayang, Mama nggak sedih kok. Kamu udah bangun? Gimana keadaan kamu sekarang? Masih sakit?" tanyanya, berusaha membuat suaranya terdengar biasa saja. Junior mengangguk kecil, senyumnya polos namun menenangkan. "Juniol baik-baik aja kok, Ma. Juniol nggak sakit. Maaf ya, Juniol udah bikin Mama sedih. Mama jangan sedih lagi," katanya dengan suara lembut dan pelat. Jessica merasa sesak mendengar kata-kata tersebut. Anak sekecil itu, begitu mengerti, begitu dewasa dalam keterbatasannya. Ia mencoba menenangkan gejolak di dadanya dan berkata dengan lembut, "Nggak, Sayang, Mama nggak sedih. Yang penting Junior harus kuat, ya. Junior harus bertahan, karena Junior satu-satunya yang Mama punya." Tatapan mata Junior bertemu dengan Jessica, penuh kepastian kecil yang hampir membuat Jessica lupa akan kelemahan anaknya. "Iya, Ma. Juniol janji, Juniol akan kuat. Juniol mau sehat supaya bisa tumbuh besal dan nanti bisa jaga Mama," ucapnya dengan nada tegas namun polos, kata-kata itu membuat ibunya tersenyum bangga sekaligus menahan tangis. Jessica tak bisa menahan diri lagi. Ia memeluk bocah kecil yang lahir dari rahimnya itu dengan erat, membiarkan rasa hangat mengalir ke dalam dirinya. "Mama, Juniol sayang banget sama Mama. Mama jangan sedih ya," bisik Junior saat berada di dekapan ibunya. Suaranya serak, tetapi Jessica memaksakan diri untuk membalas, "Iya, Sayang. Mama juga sayang banget sama Junior. Mama akan selalu bahagia, asalkan Junior selalu ada di dekat Mama," jawabnya, berusaha terdengar ceria meski hatinya penuh haru. Junior adalah alasan Jessica bertahan, alasan wanita itu terus mencoba, meskipun dunia seakan tak berpihak padanya. *** "Liona, ini sebenarnya ada apa, Sayang? Tumben sekali kamu sampai meminta kami semua untuk datang ke sini," tanya Karina, saat keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga. Leon yang terlihat sedikit kesal, langsung angkat bicara," Iya. Kamu tahu 'kan, ini malam minggu? Aku baru saja mau pergi menghabiskan waktu bersama istri dan anakku, tapi kamu malah meminta kami datang ke sini. Apa ini benar-benar penting, Liona?" Nada bicaranya terdengar tajam. Bukan tanpa alasan, Leon bersikap seperti itu. Ia ingat betul jika adiknya suka mengada-ngada, menciptakan masalah yang tidak penting seolah-olah sangat penting. "Mas, kamu jangan bicara seperti itu, dong," ujar Bella, mencoba menenangkan suasana. "Aku yakin, Liona pasti punya alasan tertentu untuk meminta kita datang." Liona mendesah pelan, tetapi tatapannya tetap tenang. "Nah 'kan, Kak Bella aja ngerti. Kenapa sih, Kak Leon selalu aja protes? Lagi pula, kalian juga sudah lama nggak main ke sini. Lihat tuh, Liam aja santai-santai dari tadi," ucapnya dengan nada sedikit meremehkan, sambil melirik keponakannya yang tampak tak terpengaruh situasi di ruang keluarga itu. Lexi, ayah Liona, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi mereka, akhirnya membuka suara dengan tegas, "Sudah, cukup ributnya. Liona, cepat katakan. Apa sebenarnya yang mau kamu bicarakan?" Liona menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum berbicara. Namun, matanya kemudian beralih ke arah Bella, wajahnya serius. "Sebelum aku bilang sesuatu, aku mau tanya dulu sama Kak Bella," kata Liona dengan nada penuh kewaspadaan. "Kak, apa Kakak tahu kalau Jessica, wanita yang dulu mengkhianati Kak Levin dan pergi begitu saja, sudah kembali ke sini sekarang?" Kata-katanya langsung memotong suasana seperti pisau. Semua yang ada di ruangan itu langsung membeku, saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut. Liona tetap memandangi Bella, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan segalanya. Sementara itu, sorot mata Bella mulai goyah, seolah sedang mencari jawaban yang sulit untuk diungkapkan. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN