Tentu saja Bella tahu tentang kepulangan Jessica, tetapi ia memilih untuk merahasiakannya atas permintaan sahabatnya itu tersebut. Dengan tatapan penuh arti, Bella melirik ke arah Leon yang lantas mengangguk perlahan, tanda persetujuan yang sulit tertebak.
"Kak Leon, apa maksud semua ini? Apa Kakak juga tahu soal ini?" tanya Liona dengan nada suara yang mulai meningkat.
Karina ikut menginterogasi, namun bicaranya lembut," Bella, Leon, apa benar Jessica sudah kembali ke Indonesia?"
Dengan kepalanya yang mengangguk pelan, Bella menjawab, "Iya, Ma, memang benar. Bahkan, aku yang menjemputnya di bandara."
Kecurigaan mulai muncul, Liona bertambah gusar. "Jadi benar? Jangan-jangan selama ini, Kak Bella juga tahu di mana keberadaan Jessica. Iya? Kak Bella hanya pura-pura marah atas kelakuannya, tapi sebenarnya sengaja menyembunyikan dia dari kita semua!"
Bella hanya bisa menatap Liona dengan ekspresi campur aduk—sebuah raut wajah yang berusaha menyembunyikan kecemasan dan penyesalan. Keheningan yang menggantung sejenak memecah ruangan itu, seakan-akan setiap kata yang terlontar menambah berat beban yang harus mereka pikul.
"Cukup, Liona! Kamu tidak berhak bentak-bentak istriku seperti itu!" Leon yang merasa tidak suka, langsung menegur adiknya.
"Memangnya kenapa, Kak? Istri Kakak itu sudah salah, jangan terus dibela dong," tukas Liona dengan sangat kesal.
"Sudah, cukup! Kenapa kalian malah jadi berdebat seperti ini? Begini saja, Bella tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu, Liona, jangan asal menuduh atau bersikap arogan seperti itu kalau kamu belum tahu kenyataannya. Papa juga tahu kamu mencintai Levin, tapi tidak seperti ini caranya. Dan kamu, Leon, diam dulu sebentar." Ucap Lexi dengan nada bijak, membuat semuanya terdiam.
Bella menarik napas dalam sebelum mulai berbicara, "Ma, Pa, Liona, aku minta maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud menyembunyikan semuanya dari kalian. Aku juga baru tahu tentang keberadaan Jessica beberapa bulan terakhir ini dan Mas Leon tahu itu. Karena aku memang nggak pernah menyembunyikan apa pun lagi dari suamiku." Suaranya sedikit bergetar, mencoba tetap tenang meskipun perasaannya bergolak.
Liona memotong cepat, nadanya tinggi dan emosional, "Tapi kenapa, Kak? Kenapa Kakak harus menyembunyikannya dariku? Aku ini calon istri Levin. Kakak tahu 'kan, kembalinya Jessica pasti akan membuat Kak Levin kembali mengingat masa lalunya yang buruk! Kakak tahu 'kan, bagaimana aku berjuang selama ini untuk mendapatkan Kak Levin?!"
Bella merasa hatinya mencelos mendengar Liona yang terlihat tidak bisa menerima penjelasannya. Ia memandang adik iparnya sejenak, melihat bagaimana frustasi gadis itu. Tetapi di sisi lain, Bella tahu, ia tidak bisa membenarkan sikapnya. Perasaannya campur aduk, rasa bersalah, rasa ingin dimengerti, sekaligus kekuatan untuk tetap tegas menjaga apa yang benar menurutnya.
Bella menatap Liona yang kini duduk di tengah ruang keluarga dengan ekspresi penuh emosi. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk meredakan suasana. "Liona, dengarkan aku. Jessica kembali ke sini karena pekerjaan, bukan untuk mengejar cinta Kak Levin kembali. Kamu harus percaya sama aku. Aku bisa menjamin, Jessica sudah benar-benar ikhlas melihat Kak Levin bahagia sama kamu. Lagi pula, dia yang waktu itu memilih pergi meninggalkan Kak Levin. Kita semua tahu itu." Suaranya bergetar, mencoba meyakinkan dan menenangkan Liona.
Namun, Liona hanya mendengus pelan, dengan mata yang memancarkan kekecewaan. "Halah, sudahlah Kak. Nggak usah banyak alasan," tukasnya dingin. Kalimatnya tajam, menusuk.
Leon berbicara dengan suara yang tegas namun menenangkan, "Liona, aku tidak suka kamu berbicara seperti itu terhadap kakak ipar kamu! Apa yang Bella katakan itu benar dan aku tahu itu."
Kata-kata Leon sejenak menggantung di udara, tetapi semua bisa melihat, Liona tidak berniat membiarkan siapapun membujuknya lebih jauh.
Dengan suara yang bergetar namun penuh penekanan, Liona berkata, "Terserah kalian saja. Tapi, alasan aku meminta kalian semua berkumpul di sini bukan hanya untuk mendengar semua ini. Aku ingin kalian tahu, aku dan Kak Levin akan menikah secepatnya. Bukan tahun depan, tapi segera!" Dia menatap keluarganya dengan tatapan penuh ketegasan sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan ruangan dalam kesunyian.
Bella menatap punggung Liona yang perlahan menjauh dan menghilang, rasa bersalah dan frustrasi bercampur menjadi satu dalam benaknya.
Sementara Leon menggelengkan kepalanya, memecah kesunyian. "Anak itu," gumamnya pelan. "Masih saja belum bisa bersikap dewasa." Ada nada keletihan dalam suaranya yang biasanya tenang.
Lexi yang terdiam, akhirnya angkat bicara dengan lembut, "Biarkan saja. Liona butuh waktu untuk menenangkan diri."
Bella beralih menatap Lexi yang mencoba menjaga ketenangan di tengah badai emosi ini. Dalam hati, ia berharap waktu benar-benar akan menyembuhkan luka-luka yang belum tersuarakan di antara mereka.
Menarik napas panjang, Bella mencoba menenangkan hati yang sempat diliputi rasa bersalah. "Ma, Pa, aku minta maaf. Ini semua kesalahan aku. Tapi, aku sama sekali nggak bermaksud seperti yang Liona katakan," ucapnya lirih, berusaha meredam gejolak di dadanya.
Karina memandang lembut, ada sorot pengertian di matanya. "Bella, Mama tahu kamu tidak punya maksud seperti itu. Tapi, wajar kalau saat ini Liona merasa kecewa. Dia hanya takut kehilangan Levin," katanya dengan suara yang menenangkan.
Bella mengangguk pelan, meski hati masih terasa berat.
"Ya sudah, kamu tidak usah terlalu memikirkannya, ya. Kamu juga tahu bagaimana sikap Liona. Nanti Mama akan bicara sama dia," tambah Karina, membuat Bella sedikit lega.
"Iya, Ma. Terima kasih banyak, ya Ma," ucap Bella tulus, meski perasaannya masih terasa seperti awan gelap di hatinya.
Sedangkan Leon yang duduk di samping Bella, mengusap lembut pundaknya, memberikan kenyamanan yang di butuhkan sang istri di saat seperti ini. Bella tahu, suaminya itu mencoba meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
Keesokan harinya, rasa khawatir Jessica mulai mereda. Kondisi anaknya yang masih berada di rumah sakit, sudah sedikit membaik. Meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan dan rasa khawatir sebagai seorang ibu, ia akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja. Sementara Junior-anaknya, ia percayakan pada pengasuh dan ia tahu, ada perawat dan juga dokter yang selalu siap mengawasi di rumah sakit.
Meski langkahnya terasa berat, Jessica tahu bahwa ini semua demi masa depan yang lebih baik. Bagaimanapun juga, ia sudah terikat dalam pekerjaan yang krusial untuk mengumpulkan biaya pengobatan sang anak. Ditambah lagi, tabungannya semakin menipis. Dengan beban yang menggelayut di bahunya, ia tetap mencoba menunjukkan kinerja optimal.
Pagi itu, saat Levin memasuki perusahaan, matanya yang tajam sempat bertemu dengan Jessica yang sudah duduk serius di depan layar laptopnya.
Merasakan gelombang ketegangan, Jessica segera berdiri, memberikan hormat yang penuh kekakuan. "Selamat pagi, Pak Levin," sapanya dengan suara yang berusaha setenang mungkin.
Namun, Levin, dengan aura yang dingin, tidak memberi respons apa pun. Ia bahkan dengan tajam memalingkan wajahnya, seolah mendapati sesuatu yang tidak berkenan di hadapannya dan melangkah lebih cepat menuju ruangannya. Dengan desisan pelan, Levin meninggalkan jejak ketidakpedulian yang menusuk hati Jessica.
"Ck, terserah kamu saja. Aku cuma mau menunjukkan rasa hormat karena posisiku sebagai bawahmu," gumam Jessica dengan nada yang lirih, kecewa bercampur amarah.
Baru saja ia mencoba duduk kembali, terdengar deringan telepon yang memecah kesunyian, seakan menambah beban pikiran yang sudah berat. Telepon di meja kerjanya itu seolah menjadi simbol lain dari tantangan yang harus dihadapi. Jessica menarik napas dalam, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan datang melalui sambungan itu.
Ketika Jessica menerima panggilan yang ternyata dari Levin, dia sudah menduga ada sesuatu yang tidak biasa. "Apa lagi yang diinginkan Levin kali ini?" gumamnya sambil bergegas menuju ke ruangan CEO.
Begitu berada di dalam ruangan, tangan Jessica dengan kasar ditarik oleh Levin dan dalam sekejap, tubuhnya terdorong ke arah pintu yang telah tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Levin dengan cepat menutup tirai pada dinding kaca ruangan itu, memastikan tidak ada yang bisa menyaksikan adegan yang akan terjadi.
"Maaf, Pak Levin, apa yang Anda inginkan?" tanya Jessica, mencoba menutupi kegugupannya.
Levin menatap Jessica dengan pandangan yang mengintimidasi. "Kamu lupa? Aku sudah berbaik hati memberikanmu kesempatan untuk menemani anakmu di rumah sakit dan meninggalkan pekerjaanmu, walaupun kamu baru bekerja di sini. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Jadi, tugasmu sekarang adalah melayaniku."
Tanpa menunggu respons, Levin mulai menciumi leher Jessica dengan nafsu, membuat wanita itu merasa merinding dan jijik. Jessica mengerang pelan, bukan karena kenikmatan, tetapi karena rasa muak dan keberatan yang mendalam.
"Bagaimana ini bisa terjadi padaku?" pikir Jessica dalam hati, saat air matanya mulai menetes, merasa terhina dan terpojok tanpa jalan keluar.
Levin, sang CEO yang dia kagumi karena pencapaiannya dan bahkan pernah ia cintai, kini berubah menjadi monster yang mengancam kehormatan dan kebebasannya.
Bersambung …