Bab 9. Apakah Itu Cemburu?

1173 Kata
Jessica mencoba menggenggam erat sisa-sisa ketegarannya, namun kesedihan yang menyelimuti hatinya tak terelakkan hingga air mata pun mengalir membasahi pipinya. Levin yang merasakan Jessica hanya besikap pasrah, akhirnya mengakhiri ciumannya dan memandang wanita di hadapannya itu dengan tatapan penuh kegetiran. Air mata Jessica jelas terlihat, membuat perasaannya tak menentu. "Keluar dari sini sekarang juga," bisik Levin dengan suara serak, penuh keberatan. Jessica terkejut, hatinya berkecamuk. Bukan hanya rasa sakit yang menggelayuti, tetapi juga kebingungan. Apa ini tidak salah, Levin mengusirnya? Namun, bukankah Ini kesempatan bagus untuk ia lepas dari mantannya tersebut? "Pak Levin, jika Anda membutuhkan sesuatu terkait pekerjaan, saya selalu siap membantu. Karena saya adalah sekretaris Anda," ujar Jessica dengan nada tenang, mencoba mempertahankan posisinya. "Keluar sekarang! Atau aku akan berubah pikiran," ucap Levin dengan tegas, suara dinginnya menusuk hingga ke tulang sum-sum. Jessica pun tergesa-gesa meninggalkan ruangan, menahan air matanya yang kembali menyeruak. Ia mengusap matanya, mencoba meredakan kekacauan di hatinya. Rasa takut menggelayuti, khawatir bila terlihat oleh karyawan lain, yang pastinya akan bertanya dan membuka peluang bagi gosip yang dapat menghancurkan reputasi yang sudah ia bangun dengan susah payah di perusahaan tersebut. Hanya tinggal sendirian, Levin mengepalkan tinju, lalu berulang kali memukul tembok yang membuat ruas jarinya berdarah. "b******k! Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan emosi saat melihat Jessica?" umpatnya dalam hati, tak menyadari emosinya telah tercampur dengan nafsu sesaat yang membakar. Perasaannya bergejolak, membuatnya tak mampu fokus menjalani rutinitas pagi ini. Ia terduduk di atas sofa yang empuk, menyandarkan tubuh lelahnya, sambil memijat pelipis yang terasa seolah-olah dihantam palu. "Apa aku terlalu kejam? Tapi ini adalah balasan atas luka yang pernah dia berikan padaku," gumam Levin, menyimpan dendam yang membara. Bertahun-tahun rasa sakit itu mengendap dan sekarang, ia bertekad untuk membuat Jessica merasakan secercah dari deritanya. * Di meja kerjanya, Jessica berusaha bersikap tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, wajahnya yang muram seperti langit yang hendak hujan, memberikan isyarat bahwa masker ketenangannya telah pecah, menguak gelombang emosi yang tak bisa ditahan lagi. "Apa yang sedang terjadi dengan hidupku saat ini?" gumamnya dalam hati, suara keputusasaannya bergema dalam d**a yang berat. "Rasanya aku nggak sanggup lagi, ya Tuhan .... Apa aku harus aku menyerah? Apa aku harus meninggalkan perusahaan ini dan meminta bantuan Bella?" Jessica bergumam lirih, namun hatinya menolak gagasan itu keras-keras. "Enggak! itu nggak boleh. Aku sudah terlalu banyak merepotkan Bella, bahkan mengakibatkan dia mendapatkan salah paham dari Liona." Tiba-tiba, suara Billy memecah lamunan pahit Jessica. "Jessica, are you oke?" tanyanya, muncul begitu saja di hadapannya, membuat Jessica tersentak kaget. "Billy? Sejak kapan kamu di sini?" Jessica berusaha keras untuk terlihat tenang dan mengendalikan rasa guncangnya. "Ya, saya oke, kok." "Kamu tidak perlu menyembunyikan apapun dari saya," kata Billy lembut, matanya menatap dalam ke dalam mata Jessica, mencari tahu apa yang sedang mengganggunya. "Ada masalah? Atau saudara kamu belum sembuh dari sakitnya, jadi kamu terlihat begitu tertekan?" Mendengar kata-kata Billy, Bella tersentak dan juga bingung. "Saudara? Siapa yang bilang sama kamu kalau saudara saya sedang sakit?" tanyanya penasaran. "Ya, dari Pak Levin lah, Jes," ujar Billy. "Kata Pak Levin, kemarin kamu buru-buru pergi tanpa pamit. Dan ternyata karena saudara kamu sedang sakit, jadi akhirnya kamu meminta izin dan Pak Levin meminta saya untuk menghandle semua pekerjaan di hari itu. Bagaimana sekarang kondisi saudara kamu?" tanyanya dengan penuh perhatian. "Apa? Jadi Levin nggak bilang sama Billy yang sebenarnya? Dia malah bilang aku merawat saudaraku yang sakit, padahal aku di rumah sakit untuk Junior, anakku. Kenapa di depan aku, dia dengan lancang menuduh Junior sebagai anak haram? Sedangkan di depan orang lain, dia menutupinya dengan cerita palsu. Apa sebenarnya mau Levin?" Perasaan Jessica bercampur aduk, rasa sakit yang dialaminya seperti belati yang terus menerus menusuk dadanya dan tak ada satupun orang yang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Jessica melamun cukup lama, sampai suara Billy memanggilnya dan menyentak pikirannya kembali ke ruangan. "Jes, Jessica," panggilnya lembut. Jessica terkaget. "Eh, iya Bil, maaf," ucapnya cepat, mencoba menutup kegugupannya. Billy menghela napas sejenak, lalu tersenyum tipis. "Jes, kok kamu malah melamun lagi? Ya sudah, kalau kamu memang tidak mau cerita sekarang, no problem. Tapi kalau nanti kamu membutuhkan teman atau bantuan, bilang saja ya. Bagaimanapun kita ini 'kan teman kerja, tidak ada salahnya saling mendengar dan membantu, 'kan?" ujarnya, nada suaranya penuh pengertian. Jessica tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan ribuan pertanyaan yang berputar di benaknya. "Terima kasih banyak ya, Bil, atas tawaran kamu. Terima kasih juga karena kemarin kamu sudah membantu menghandle pekerjaan saya. Maaf, saya jadi merepotkan kamu, padahal saya baru bekerja di sini," ucapnya, matanya berbinar mengapresiasi kemurahan hati Billy yang tak pernah habis. "Iya, sama-sama. Senang bisa membantu," sahut Billy dan tersenyum. Tiba-tiba, keakraban mereka terusik. Levin, yang baru keluar dari ruangannya dengan harapan menenangkan diri, terhenti oleh pemandangan yang tidak ia duga. Wajahnya berubah muram, urat-urat di lehernya menegang seolah hendak meledak. "Apa kalian ini tidak punya pekerjaan, sampai di jam kerja pun kalian punya waktu untuk mengobrol?" tukas Levin dengan nada yang meninggi, menegur dua bawahannya itu. Terdiam sejenak, Billy cepat-cepat membela Jessica, "Maafkan saya, Pak Levin. Saya kebetulan lewat, jadi singgah sebentar dan menyapa Jessica. Ini bukan salah Jessica," ucapnya dengan nada bersalah. Jessica yang tak kalah cepatnya menimpali, "Tidak, Pak. Ini semua kesalahan saya. Bukan Billy yang harus disalahkan." Suaranya lantang, memenuhi ruangan, menyatakan tanggung jawab atas kejadian itu. Levin menghela napas keras, rasa frustrasi terpancar jelas. "Ck, kompak sekali saling membela. Jika kalian tidak mau bekerja kagi, lebih baik kalian pergi dari sini!" serunya dengan nada dingin yang menyesakkan. Billy menundukkan kepala. "Saya minta maaf, Pak. Saya janji, hal ini tidak akan terulang," katanya lirih. Dia mengucapkan selamat tinggal pada Jessica sebelum berlalu pergi, meninggalkan kesunyian yang merebak. Sedangkan Jessica hanya bisa duduk kembali, meresapi kata-kata Levin yang menusuk hati dan melanjutkan pekerjaannya dengan beban pikiran yang berat. Sementara itu, Levin melangkah cepat meninggalkan tempat tersebut. Langkahnya terasa berat, seperti dibebani oleh sesuatu yang bahkan dia sendiri tak bisa pahami. Ada rasa yang menggelitik di dadanya sejak tadi, sebuah kegelisahan yang tak mampu ia beri nama. Apakah itu cemburu? Saat melihat Jessica dan Billy begitu dekat tadi, ia tak yakin. "Kenapa aku harus peduli? Itu bukan urusanku," batinnya, namun bayangan senyum Jessica pada Billy kembali terlintas, membuatnya merasa ada sesuatu yang menusuk pelan di dalam hatinya. Ia mencoba mengusir perasaan itu, tetapi tak tahu harus mulai dari mana. *** Setelah seharian bergulat dengan pekerjaannya yang terasa begitu melelahkan, kini Jessica bisa menarik napas lega karena akhirnya ia bisa pergi meninggalkan perusahaan. Tentu saja tujuan utamanya adalah langsung menuju ke rumah sakit, untuk bertemu dan mengetahui kondisi anaknya yang sejak tadi selalu ia pikirkan. Jessica mempercepat langkahnya menuju pintu keluar perusahaan. Ketergesaannya bahkan membuatnya lupa memesan taksi online. Tidak apa, ia berpikir, cukup mencari taksi di depan gedung saja. Namun, ketika langkahnya baru saja sampai di luar, Jessica terhenti. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di sana, tak jauh dari tempatnya berdiri, seseorang menunggunya dengan senyuman yang begitu hangat, begitu familiar. "Hai, Flower. Apa kamu sudah mau pulang?" suara itu menyapa, membuat hati Jessica sejenak berguncang. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN