Bab 12. Karena Takut

1301 Kata
Jessica memandangi langit-langit rumah sakit, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu, sahabatnya itu benar. Bukankah tujuannya kembali ke Indonesia memang sederhana—ia ingin Junior mengenal ayah kandungnya, Levin? Hal itu itu hendak dilakukannya karena ia takut, benar-benar takut jika waktunya di dunia ini sudah tidak banyak, mengingat penyakit yang sedang dideritanya tidak bisa sembuh total. Namun entah kenapa kini, setiap kali Jessica membayangkan pertemuan itu, rasa was-was menyerang seperti badai yang tak terelakkan. Bagaimana jika Levin menolak atau tidak mau mengakui Junior sebagai anaknya? Sebab, pria itu hanya memandangnya sebagai w************n. "Jes, kamu melakukannya dulu karena terpaksa." Suara Bella bergema di benak Jessica. Ya, ia ingat itu semua. Dulu, ia memang terpaksa berpura-pura mengkhianati Levin dengan menyewa pria lain. Alasannya, ia hanya tidak mau Levin tenggelam dalam kesedihan jika suatu saat harus kehilangan dirinya. Tetapi, apakah Levin akan percaya jika ia jujur sekarang? Apakah pria itu mampu memaafkan kebohongan tersebut? Hatinya seperti terbelah dua. "Jessica, sudah saatnya kamu jujur." Bisikan Bella tadi masih terus menguat dalam pikirannya. Jessica bingung, apa yang harus dikatakannya pada Levin? Ia tak yakin, karena ia merasa, Levin yang sekarang tak seperti Levin yang ia kenal dulu. Dingin, penuh luka dan jelas menyimpan dendam atas semua kesalahpahaman itu. Apa ia mampu meyakinkan pria tersebut? Apa dia akan peduli? "Bel, ini tidak sesederhana itu," lirih Jessica, lebih kepada dirinya sendiri. "Kak Levin benci banget sama aku, Bel." Apa pun yang terjadi, Jessica tahu, ia harus mencoba. Namun, rasa takut ini begitu mencekik. "Itu hanya karena Kak Levin belum tahu fakta yang sebenarnya." Suara Bella terdengar lembut namun tegas, seperti sedang berusaha menenangkan badai di hati sahabatnya. "Awalnya aku juga terkejut, Jes. Aku syok dengan apa yang kamu lakukan. Tapi aku yakin, kamu punya alasan tertentu. Bertahun-tahun aku mencari kabar tentang kamu, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Baru setahun belakangan ini aku tahu semuanya." Jessica menundukkan kepala, merasakan beban yang selama ini ia pikul. Bella melanjutkan, “Aku percaya sama kamu, Jes. Aku selalu percaya." "Itu karena kamu sudah mengenal aku sejak lama. Kita bersahabat," ujar Jessica. "Apa bedanya sama Kak Levin? Dia juga mengenal kamu. Bahkan, kalian hampir menikah. Dia punya hak untuk tahu kebenaran ini." Lagi-lagi, Bella meyakinkan Jessica jika semuanya akan baik-baik saja. Darah Jessica seakan berdesir mendengar ucapan sahabatnya. Pikiran itu kembali mengalir deras—haruskah Levin tahu? "Kamu itu wanita yang kuat, Jes," lanjut Bella dengan suara yang sedikit gemetar. "Kamu bahkan rela melakukan apa pun demi kebahagiaan Kak Levin, walaupun aku tahu itu semua bertentangan dengan hati kamu. Aku tahu perasaan kamu pasti sangat sakit 'kan, Jes? Kamu mengandung anak Kak Levin—Junior, dan memilih untuk melahirkan serta membesarkannya sendirian. Bahkan nyawamu kamu pertaruhkan untuk itu." Mata Jessica mulai memanas, mengenang semuanya. Sedangkan Bella, menatapnya dengan sorot mata penuh keyakinan. "Itu pengorbanan yang luar biasa, Jes. Kak Levin harus tahu. Dia harus tahu." Jessica terdiam, tidak mampu membalas kata-kata itu. Semua perasaan yang terkubur tiba-tiba menyeruak ke permukaan, menghantam hatinya tanpa ampun. "Apalagi Junior mengidap penyakit kelainan jantung yang sangat berbahaya. Bagaimana kalau Kak Levin terlambat tahu semuanya? Apa kamu pernah memikirkan itu, Jes?" tanya Bella dengan nada serius, mencoba mengguncang hati sahabatnya. Jessica memalingkan wajah, rasa takut dan cemas mulai menyergap. "Tapi, gimana kalau Kak Levin nggak percaya dengan semua ucapan aku, Bel?" Ia menjawab dengan suara lirih, nyaris berbisik. Ketidakpastian itu menghantui pikirannya. Jessica tahu, Levin orang yang keras kepala, bagaimana jika mantannya itu menganggap semua ini hanya kebohongan? "Itu terserah Kak Levin," balas Bella dengan tegas, sorot matanya tajam namun hangat. "Tapi yang pasti, kamu sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya. Aku yakin, Kak Levin akan mau mendengarkan," katanya dengan penuh keyakinan, seakan memindahkan separuh kepercayaannya kepada Jessica. Jessica menghela napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang masih bergelayut di benaknya. "Ya sudah, nanti aku akan coba jelaskan. Semoga saja Kak Levin mau mengerti dan percaya sama aku." Ia menggigit bibirnya, takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Ia menunduk, memeluk diri sendiri seakan mencari kekuatan. "Aku sama sekali nggak berharap dia kembali sama aku, karena aku tahu Liona yang pantas untuk Kak Levin," gumamnya dengan suara bergetar. "Aku cuma berharap dia percaya dan mau menerima Junior sebagai anaknya. Setidaknya kalau itu terjadi, aku bisa pergi dengan tenang." Matanya mulai memanas, bayangan wajah polos Junior melintas di benaknya. Tidak ada yang lebih Jessica inginkan selain melihat anaknya tumbuh dengan kepercayaan dan kasih sayang ayahnya, meski ia harus menelan kepedihan ini sendirian. "Jes, kamu ini bicara apa, sih? Umurmu masih panjang. Kamu akan melihat Junior tumbuh, sukses dan menjadi seseorang yang membanggakan. Kita juga akan terus bersama, kamu harus janji. Nggak akan ada lagi perpisahan seperti dulu," ucap Bella, suaranya bergetar. Air matanya jatuh, perlahan menuruni pipinya. Jessica merasakan ada kehangatan sekaligus ketakutan dalam perkataan sahabatnya, seperti Bella sedang memaksakan diri untuk percaya pada sesuatu yang bahkan ia sendiri meragukannya. Jessica terdiam. Namun, dalam keheningan itu, ada begitu banyak yang tersirat. Matanya mulai basah, tetapi ia mencoba sekuat tenaga untuk menyembunyikan semua emosi itu. Sampai akhirnya, tak ada lagi yang bisa menahan rasa sedih di antara mereka. Keduanya saling berpelukan erat, seperti ingin menahan waktu agar berhenti untuk sesaat—menikmati kebersamaan, meskipun ada keraguan yang menggantung di udara. *** Malam hari, dengan langkah berat, Levin akhirnya memutuskan memenuhi undangan Leon untuk makan malam di sebuah restoran. Hatinya bercampur aduk, berpikir pasti Liona ada di sana. Mengingat hubungannya dengan tunangannya itu sedang jauh dari kata baik. Cemburu buta Liona terhadap Jessica yang kini telah kembali dan menjadi sekretarisnya, selalu memicu pertengkaran di antara mereka. Liona memang belum terlalu bisa menyikapi masalah secara dewasa, membuat Levin pun enggan untuk menemuinya untuk sementara waktu. Namun, Levin mencoba mengesampingkan kerisauan itu. Demi menghargai persahabatannya dengan Leon dan Bella, ia memilih untuk tetap datang. Beberapa menit kemudian, Levin tiba di restoran tersebut. Langkah pertamanya penuh kehati-hatian, seakan bersiap menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, pemandangan yang ia temui justru di luar dugaannya. Tidak ada Liona di sana. Hanya Leon dan Bella, bahkan tanpa anak mereka. Levin berdiri sejenak, merasa bingung. "Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?" tanyanya dalam hati. Tetapi, Levin memilih menahan segala pertanyaan itu. Untuk saat ini, lebih baik ia duduk dan melihat kemana malam ini akan berjalan. "Maaf, aku terlambat," ucap Levin dan langsung saja mendudukkan dirinya di hadapan pasangan suami istri itu. "Hai, Kak Levin." Bella menyapa dengan senyum lembut. "Nggak kok, Kak. Kak Levin sama sekali nggak terlambat, kita juga baru sampai." Leon yang duduk di sebelah Bella menambahkan, "Iya, benar. Kami juga baru sampai dan belum memesan makanan." Levin mengangguk pelan, berusaha menata ekspresinya. "Oke. Jadi, makan malam ini hanya kita bertiga saja?" tanyanya sambil menatap kedua sahabatnya itu, walau di balik nada tenangnya, pikirannya mulai bertanya-tanya. Namun, sebelum ia melanjutkan pertanyaan itu, Bella sudah menebak. "Apa Kakak pikir ada Liona?" ucap Bella, cepat menanggapi. Levin tertegun, lalu menganggukkan kepalanya, yang disambut senyum tipis dari Bella. "Tenang saja, Kak. Nggak ada Liona. Sebenarnya, makan malam ini karena ada hal lain," ujar Bella, nadanya terdengar sedikit ragu. Levin menyipitkan mata dengan tatapan penuh selidik. "Hal lain apa?" tanyanya, kini lebih serius. Rasa bingung mulai menyelusup di hatinya. Bella menundukkan kepala sejenak, seperti mengumpulkan keberanian, sebelum mengangkat wajahnya lagi. "Kak, maaf ya. Dan aku harap Kakak nggak marah," ucapnya dengan hati-hati. "Jadi sebenarnya ... makan malam ini idenya aku, karena ada seseorang yang mau ketemu Kak Levin dan mau bicara." Levin langsung menegakkan punggungnya. "Seseorang? Mau bicara apa?" tanyanya, nadanya campuran antara penasaran dan waspada. Kepalanya dipenuhi asumsi yang berlomba-lomba mencari penjelasan. Tetapi sebelum Bella atau Leon sempat menjawab, suara yang sangat familiar menyusup masuk ke dalam pendengarannya. "Aku yang mau bicara sama Kak Levin." Levin mendadak memalingkan wajah, menoleh ke sumber suara yang kini mencuri perhatiannya. Dan di sana, berdiri seseorang yang selama ini selalu mengusik hati dan pikirannya. Dadanya terasa menegang, hampir membuat napasnya tertahan. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN