Leon menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum berbicara. Ia tahu, Levin tidak akan mengakui apa yang jelas terlihat dari cara pria itu bercerita tadi. Namun ia juga tahu, di balik semua penolakan, perasaan Levin terhadap Jessica belum sepenuhnya hilang. Sahabatnya itu hanya terlalu terluka untuk menghadapi kenyataan, setelah apa yang pernah terjadi di masa lalu.
"Levin, aku tahu kamu membenci Jessica karena dulu dia tidak datang di hari pernikahan kalian," kata Leon, mencoba mencari celah di pikiran Levin. "Dia pergi tanpa penjelasan, aku mengerti rasa sakit itu. Tapi … apa kamu pernah berpikir, mungkin saja ada alasan tertentu di balik semuanya?"
Levin mengangkat wajahnya, tatapannya dingin seperti pedang yang baru diasah. "Alasan apa? Itu hanya omong kosong. Sudah jelas dia berkhianat. Dia lebih memilih bersama laki-laki lain tepat di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia kami, hari pernikahan kami!" Suaranya bergetar, campuran amarah dan keputusasaan.
Leon ingin membalas, ingin menjelaskan sesuatu, tetapi Levin tak memberi kesempatan.
"Dan sekarang, setelah dia kembali ke kota ini, dia malah sibuk dengan laki-laki lain lagi. Kamu tahu, dia sudah punya anak dan aku yakin, anak haram itu adalah hasil dari hubungan terkutuk mereka, tanpa pernikahan. Bagaimana aku bisa menerima ini? Bagaimana aku bisa memaafkan dia?"
Leon terdiam, memandang sahabatnya penuh simpati. Namun di sisi lain, ia juga melihat jelas luka yang masih menganga di dalam diri Levin. Bukan sekadar amarah—itu adalah sakit hati yang belum pernah benar-benar sembuh.
"Dasar w************n!" ucap Levin dengan nada penuh amarah, matanya menusuk tajam.
Dalam hati, Leon merasakan pergolakan batin. Ia tahu jika Levin benar-benar sudah salah paham. Rasanya, ingin sekali ia mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya, sesuatu yang sudah diceritakan Bella padanya sebelumnya. Tetapi, Bella sudah mewanti-wanti agar ia tidak mengatakan apa pun, setidaknya hingga saatnya Jessica sendiri yang menjelaskan semuanya pada Levin. Leon menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak di dadanya.
"Tunggu. Kenapa kamu begitu yakin jika Jessica punya alasan tertentu? Apakah kamu tahu sesuatu?" tanya Levin tiba-tiba, ia menatap curiga, seolah bisa membaca pikiran sahabatnya.
"Aku tidak bilang yakin," jawab Leon santai, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. "Aku hanya bilang, mungkin. Tapi, ya sudahlah. Percuma juga, 'kan? Kamu tetap memilih membenci Jessica tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun lagi."
Levin memalingkan wajah, ekspresinya keras. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semuanya sudah jelas."
Pembicaraan ini seperti dinding tebal yang tidak akan pernah bisa ditembus. Levin sudah menutup pintunya rapat-rapat.
Leon hanya bisa mengangguk pelan, menekan rasa frustasi yang menggantung di dadanya. "Oke, kalau begitu," katanya akhirnya, mencoba mengalihkan topik sebelum suasana semakin memanas. "Aku sudah selesai bekerja. Sekarang, aku mau menjemput Bella di restoran. Kebetulan tadi dia ke sana bersama Liam juga. Kamu mau ikut, atau pulang?" tawarnya, setengah berharap Levin mau sedikit melonggarkan egonya.
Namun Levin tampak diam, tak menjawab, membiarkan Leon larut dalam kebisuan yang membebani suasana.
"Aku pulang saja," sahut Levin akhirnya.
"Ya sudah, ayo pergi," ajak Leon, lalu keduanya pun jalan berdampingan keluar dari Perusahaan Alexander Group.
Meskipun Levin masih belum mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini, namun menceritakan hal tersebut kepada Leon, menurutnya sudah sedikit mengurangi beban di hatinya.
***
Setelah menjemput istri dan anaknya di restoran, Leon kembali mengemudi menuju ke rumah sakit. Memang sebelumnya, Bella sudah mengatakan bahwa ia ingin menjenguk Junior-anak sahabatnya, yang sedang menjalani perawatan intensif di sana.
Setibanya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang rawat inap Junior. Di sana, terlihat Jessica dan seorang pria dewasa yang belum mereka kenal, sedang menemani Junior. Mereka tampak berbicara, bercerita, seperti mencoba saling menguatkan dan menghibur.
Ketika Bella masuk, ia segera meminta maaf, "Maaf ya, ganggu kalian," ucapnya dengan nada lembut dan penuh rasa hormat.
Jessica yang tengah duduk langsung berdiri, menyambut kedatangan sahabatnya. Ia tersenyum kecil dan menjawab dengan ramah, "Apaan sih, Bel? Sama sekali nggak ganggu, kok. Makasih ya, kamu sudah datang ke sini. Kak Leon dan Liam juga, terima kasih banyak." Ada rasa syukur yang tulus dari suaranya, kehadiran mereka memang berarti baginya.
"Iya, sama-sama, Jes. Maaf ya, kami baru sempat jenguk Junior," sahut Bella. Lalu, ia tampak menatap ke arah pria yang duduk dekat Junior, dengan nada penasaran bertanya, "Oh ya, ini siapa?"
Pria itu langsung berdiri dengan sikap ramah dan sopan, lalu mengulurkan tangannya kepada Leon terlebih dulu. "Perkenalkan, saya Noel," katanya dengan nada percaya diri yang tidak berlebihan. "Saya teman Jessica sewaktu di Amrik dan kebetulan, saya baru saja kembali ke Indonesia."
"Oh, iya! Saya Leon," ujar Leon, lalu melirik dua orang yang dicintainya dan memperkenalkan mereka juga. "Ini istri saya, Bella, sahabat Jessica. Dan ini Liam, putra kami." Perkenalannya penuh dengan kebanggaan.
Sementara itu, Liam yang berdiri di samping orang tuanya, tak mau ketinggalan. "Halo, Om, aku Liam! Anaknya Papa Leon dan Mama Bella," serunya dengan nada penuh antusiasme.
Noel yang sudah mendengar banyak cerita tentang Liam, menyambutnya dengan hangat. "Halo juga, jagoan. Oh, jadi kamu ya, Liam, yang kemarin Junior ceritakan? Katanya, kamu kakak yang tampan dan hebat," ucapnya sambil mengangguk-angguk.
Liam tersenyum hangat. "Iya, Om. Aku Liam. Aku senang bisa bertemu Junior. Sayangnya, sekarang dia lagi sakit. Semoga Junior cepat sembuh supaya kami bisa main." Liam menjawab penuh harap, sementara yang lain mengamini dengan doa dalam hati mereka.
Junior yang terbaring lemah, mengangkat wajahnya sebentar untuk memandang orang-orang yang mencintainya di ruangan itu. "Terima kasih ya, Kak Liam, Om, Tante, sudah datang menjenguk Juniol," katanya dengan suara serak.
Bella merunduk, memeriksa keadaan bocah kecil itu dengan penuh kelembutan. "Sama-sama, Sayang. Gimana? Apa kamu sudah merasa sedikit lebih baik sekarang?"
Dengan senyuman tipis, Junior mengangguk. "Iya, Tante. Juniol baik-baik aja, kok. Nggak usah khawatil, ya."
Mendengar itu, lega terasa memenuhi ruangan. "Syukurlah, Tante senang dengarnya. Junior itu anak yang hebat, Tante yakin, Junior pasti akan cepat sembuh."
"Iya, Tante. Juniol mau sembuh. Juniol nggak mau buat mama sedih terus," jawab Junior dengan penuh harap dan sangat pintar.
Bella mengusap lembut rambut Junior, ucapan anak kecil itu begitu menyentuh hatinya. "Junior memang anak yang hebat dan pintar," pujinya, menahan keharuan di wajahnya. Lalu, ia berbicara pada Jessica, "Jes, bisa kita bicara berdua di luar? Biar Mas Leon, Kak Noel dan Liam yang jaga Junior sebentar."
"Oh, iya, Bel. Bisa kok," sahut Jessica. "Noel, aku titip Junior ya. Dan Junior, Mama keluar sebentar ya. Mama mau bicara sama Tante Bella. Kamu nggak apa-apa, 'kan?
"Iya, Ma, nggak papa kok. 'Kan Juniol di sini ada temannya, nggak sendilian," sahut Junior dengan bijak, menenangkan hati Jessica yang langsung terasa lebih ringan.
Bersamaan dengan itu, Jessica dan Bella segera meninggalkan ruangan, beranjak ke kursi yang ada di depan ruang rawat itu.
*
"Bel, kamu mau bicara apa?" tanya Jessica, penuh rasa penasaran.
"Tadi, kata Mas Leon, Kak Levin datang ke kantornya," ujar Bella, membuat Jessica merasakan degup jantungnya yang berpacu cepat. "Dia cerita soal kamu," lanjut Bella dengan nada yang penuh arti.
"Cerita apa?" Jessica bertanya, suaranya gemetar, dihantui bayangan masa lalu yang menyesakkan d**a.
Tanpa membuang waktu, segera saja Bella menceritakan apa yang tadi sudah ia dengar dari Leon kepada sahabatnya itu.
"Aku yakin, sebenarnya rasa cinta itu masih ada di hati Kak Levin. Dia nggak ikhlas melihat kamu bersama laki-laki lain, tapi dia juga nggak bisa terima dengan apa yang terjadi lima tahun yang lalu," ujar Bella, wajahnya tampak prihatin. "Apa kamu sama sekali nggak berniat, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Kak Levin? Ini semua juga demi Junior, Jes," tambahnya, suaranya mendesak.
Mendengar itu, Jessica terdiam, seolah-olah tekanan batin yang telah dia pendam bertahun-tahun itu kembali menghimpit dadanya dengan ganas. Bukan hanya rasa takut dan kebingungan yang melanda, tetapi juga rasa bersalah yang kian menyiksa. Dengan semua kekuatannya, dia berusaha mencari kata-kata yang bisa menguraikan benang kusut perasaannya. Namun, semua terasa begitu rumit dan berat untuk dihadapi.
Bersambung …