Air kolam renang begitu tenang saat Matteo menyelam kembali ke permukaan, menepis sisa air di wajahnya dengan tangan, lalu mendongak pelan. Pandangannya menangkap sosok Zenia di teras samping rumah, di bawah cahaya sore yang hangat memantulkan kilau lembut pada rambut cokelat mudanya. Wanita itu duduk di bangku kayu panjang, memeluk seekor kucing anggora putih di pangkuannya. Gaun pendek yang ia kenakan berwarna krem, jatuh longgar di tubuhnya, tapi tetap memperlihatkan lekuk halus yang selama ini Matteo pura-pura tidak perhatikan.
Dia tidak tahu kenapa dadanya berdebar begitu keras. Mungkin karena Zenia tidak pernah terlihat seperti itu sebelumnya. Biasanya wanita itu selalu mengenakan pakaian sopan, dengan ekspresi datar, dingin, dan terlalu tenang. Tapi kali ini, di bawah cahaya matahari sore, Zenia tampak begitu seksi dan cantik sekali.
Matteo menelan salivanya pelan. Pandangannya mengikuti gerak lembut tangan Zenia saat membelai bulu kucing itu. Cara wanita itu tersenyum kecil saat hewan itu menggesekkan kepala di lengannya, membuat Matteo menggigit bibir bawahnya sendiri tanpa sadar.
“Wanita itu...” gumamnya dalam hati, suara pikirannya berat dan bergetar. “...mantan istri Papa, tapi—”
Ia menghentikan pikirannya sendiri, memukul air dengan kasar seolah hendak menenggelamkan godaan yang datang dari dalam dirinya. Namun, bayangan Zenia tak pergi. Semakin ia mencoba berpaling, semakin kuat keinginan itu menekan dadanya.
Zenia sendiri tidak menyadari tatapan Matteo dari kejauhan. Ia sedang mengangkat kucing itu tinggi-tinggi, membelai wajahnya pada bulu lembutnya. Tawa kecil lolos dari bibirnya, suara ringan yang jarang sekali terdengar di rumah itu sejak kematian Carlo.
Matteo menggenggam tepi kolam, keluar perlahan. Air menetes dari tubuh tegapnya, membentuk garis yang mengikuti otot di d**a dan perutnya. Ia mengambil handuk, mengeringkan rambutnya dengan asal, tapi pandangannya tetap tertuju ke arah wanita muda itu.
Zenia baru menyadari keberadaannya ketika Matteo berjalan mendekat. Langkah kaki berat itu membuatnya menoleh. Ia sempat kaget melihat lelaki itu hanya mengenakan celana renang, tubuhnya basah dan beruap oleh panas sore.
“Aku kira kamu sudah pergi tadi,” ucap Zenia pelan, memeluk kucingnya lebih erat, mencoba terdengar tenang.
“Kenapa harus pergi?” Matteo menjawab santai, mengambil posisi berdiri di depan Zenia, cukup dekat hingga Zenia bisa mencium aroma garam air kolam dan sabun maskulin dari kulitnya. “Rumah ini milikku sekarang.”
Zenia menatapnya sebentar, lalu kembali menunduk, mengelus bulu kucingnya. “Aku tidak pernah bilang sebaliknya.”
Matteo menyipitkan mata. “Tapi kamu bertingkah seperti masih jadi nyonya rumah.”
Wanita itu mengangkat wajahnya. Pandangannya tidak berani menatap langsung, tapi nada suaranya tegas. “Aku hanya berusaha menjaga tempat ini tetap teratur, seperti yang Carlo mau.”
Nama itu membuat Matteo mengeraskan rahangnya. “Carlo sudah mati,” katanya dingin. “Dan kamu tidak perlu terus bertingkah seolah kamu masih punya tempat di sini.”
Zenia menarik napas pelan. Ia tahu, sejak awal Matteo membencinya. Anak lelaki itu tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya menikahi seorang wanita muda yang seumuran dengannya. Tapi Zenia juga tidak punya pilihan. Ia menikah demi membayar utang keluarganya—dan Carlo tahu itu. Lelaki tua itu tidak pernah menyentuhnya, bahkan memperlakukannya dengan hormat, seolah tahu Zenia tidak mencintainya.
“Kalau kamu mau aku pergi, bilang saja,” katanya pelan. “Tapi beri aku waktu untuk membereskan semuanya. Aku tidak akan tinggal di sini lebih lama dari yang perlu.”
Matteo menatapnya, tapi tidak menjawab. Ada sesuatu dalam suara wanita itu yang menusuk dadanya. Bukan rasa kasihan—lebih seperti sesuatu yang menyalakan bara yang tidak seharusnya ada.
Ia memperhatikan leher Zenia yang bergerak naik turun setiap kali menelan ludah, bahunya yang sempit, kulitnya yang pucat karena terlalu lama berdiam di rumah. Semua itu seperti menampar pikirannya yang berusaha tetap waras.
“Kau pikir Papa mencintaimu?” Matteo tiba-tiba bertanya, suaranya rendah. “Atau hanya kasihan?”
Zenia diam. Jemarinya mengusap lembut kepala kucing di pelukannya, berusaha tidak terpancing.
“Aku tidak tahu apa yang Papamu rasakan,” jawabnya akhirnya. “Tapi dia memperlakukanku dengan baik. Lebih baik dari siapa pun yang pernah aku kenal.”
Matteo tersenyum miring. “Kamu pintar sekali menjawab.”
“Dan kamu terlalu suka menguji,” balas Zenia tanpa menatapnya.
Matteo tertawa pendek, tapi tawanya sumbang. Ia melangkah makin dekat, cukup hingga ujung handuk di pundaknya hampir menyentuh lutut Zenia. Wanita itu memejamkan mata sejenak, menahan diri untuk tidak mundur.
“Lucu sekali,” kata Matteo lirih. “Papa tidak pernah menyentuhmu, kan?”
Pertanyaan itu seperti cambuk. Zenia terdiam kaku, matanya membulat sedikit, lalu buru-buru berdiri sambil memeluk kucingnya.
“Aku tidak mau bicara tentang hal itu.”
“Tentu tidak mau,” Matteo melangkah setapak mendekat lagi. “Karena kamu tahu kalau semua orang di luar sana menganggap kamu cuma gadis miskin yang menjual dirinya pada orang tua kaya. Tapi lucunya, kamu bahkan tidak sempat menikmati hasilnya.”
Zenia menatapnya dengan pandangan getir. “Aku tidak butuh uang itu. Aku hanya... tidak punya pilihan.”
Matteo menahan napas sejenak. Kata-kata itu terdengar terlalu jujur. Tapi otaknya menolak untuk percaya.
“Tidak punya pilihan?” katanya sinis. “Kamu selalu punya pilihan. Kamu bisa menolak.”
“Aku menolak, dan keluargaku akan tidur di jalan,” jawab Zenia cepat, suaranya bergetar. “Papa-mu tahu itu. Itu sebabnya dia menawarkannya. Menikah, bukan membeli. Dia tidak pernah memaksaku untuk apa pun.”
Keheningan menguasai mereka beberapa saat. Matteo merasa dadanya berat. Ada amarah, tapi juga rasa bingung yang tidak bisa ia kendalikan. Ia ingin menyalahkan Zenia, tapi setiap kali menatap wajah tenang wanita itu, ada sesuatu yang menahan lidahnya.
Kucing di pelukan Zenia menggeliat kecil, lalu meloncat turun dan pergi ke arah taman. Zenia memutar tubuhnya, tapi Matteo menahan lengannya. Sentuhan itu spontan—dan keduanya membeku.
Matteo bisa merasakan hangat kulit Zenia di telapak tangannya, lembut dan tipis, membuat jantungnya berdetak terlalu cepat.
“Lepaskan,” bisik Zenia.
Namun Matteo tidak langsung menuruti. Matanya menatap mata Zenia yang lembut, penuh tekanan, tapi juga ada sesuatu yang lain di sana—takut, marah, dan entah apa lagi.
“Kamu tahu, Zenia,” ucap Matteo pelan, hampir seperti gumaman, “semakin aku melihatmu, semakin aku tidak mengerti kenapa Papa bisa menahan diri.”
Zenia menarik tangannya kasar dan mundur dua langkah. “Karena dia bukan kamu,” katanya dingin.
Matteo terdiam. Kata itu seperti tamparan keras yang tidak terlihat. Zenia berbalik, melangkah cepat masuk ke rumah, meninggalkan Matteo berdiri di halaman dengan d**a membara.
Ia memejamkan mata, menghembuskan napas kasar, lalu menatap langit sore yang mulai berubah warna menjadi jingga kemerahan. Di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini dikubur mulai hidup pelan-pelan—keinginan, obsesi, rasa bersalah, semuanya bercampur jadi satu.
“Zenia … aku ingin kau memenuhi hasratku. Lihat saja nanti. Kau akan menjadi pemuas hasratku, baby.” Tutur Matteo menyeringai tajam.