Matteo bersandar di kursi, menatap Zenia tanpa berkata lama. Lalu ia memecah keheningan itu lagi. “Kau tahu,” katanya perlahan, “kalau bukan karena wasiat ayahku, kau sudah kuusir sejak hari pertamaku kembali ke rumah ini.”
“Aku tahu,” jawab Zenia singkat. “Kau tidak perlu mengingatkanku seperti itu. Lagian aku itu masih tanggung jawab ayahmu, dia yang menikahi ku. Dan setelah dia meninggal dia melarangku pergi dari sini.”
“Aku hanya ingin memastikan kau tidak lupa di mana posisimu.”
Zenia mengangkat pandangan, menatap tepat ke mata Matteo. “Aku tidak lupa. Aku cuma tidak suka diperintah seperti budakmu yang bisa kau suruh-suruh.”
Matteo menunduk sedikit, menatapnya dari balik bulu matanya yang tebal. “Tapi sekarang kau melakukannya, dan menuruti apapun yang aku suruh.”
Zenia menarik napas. “Karena aku menghargai tamu ayahmu.”
Ucapan itu membuat Matteo terdiam beberapa detik. Ia tidak tahu kenapa ada rasa aneh muncul di dadanya—sesuatu antara marah dan kagum yang tidak ia inginkan, karena jawaban si jalang satu ini.
Ia menatap wanita di depannya itu dengan seksama. Gaun abu-abu yang Zenia kenakan menonjolkan garis bahunya, tapi bukan itu yang mengganggunya. Tatapan mata wanita itu—dingin tapi jujur, membuat Matteo sulit berpaling.
Pelayan menyingkir perlahan dari ruang makan, meninggalkan keduanya dalam diam. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan menemani ketegangan yang menebal di udara.
“Apa kau tidak takut padaku?” Matteo akhirnya bertanya.
“Haruskah aku takut?”
“Biasanya orang takut pada seseorang yang bisa membuat hidup mereka hancur.”
Zenia menatapnya datar. “Hidupku sudah hancur sejak lama. Kau tidak bisa menghancurkan sesuatu yang sudah retak dari awal.”
Kata-kata itu memukul Matteo lebih keras dari yang ia sangka. Ia memutar garpu di tangannya, menatap makanannya tanpa benar-benar melihat. Dalam hati, sesuatu mulai bergetar.
Ia datang ke rumah ini untuk menyingkirkan Zenia, untuk membuatnya menyerah. Tapi setiap kali wanita itu berbicara, setiap kata justru membuatnya ragu akan niatnya sendiri.
Matteo bersandar kembali di kursinya, lalu meneguk air putih dari gelas kristal di depannya. “Kau wanita aneh,” katanya pelan. “Bukan seperti yang kukira.”
Zenia hanya menatapnya tanpa bicara. Di balik ketenangannya, dadanya terasa sesak. Ia tahu Matteo datang dengan niat buruk, tapi di balik ketajaman ucapan lelaki itu, ada sesuatu yang lain. Luka, mungkin. Atau kesepian yang disembunyikan di balik gengsi dan dendam.
Matteo meletakkan gelasnya perlahan. Ia menatap Zenia lagi, lebih lama kali ini. “Baiklah,” katanya datar. “Kau ingin tetap di sini? Silakan. Tapi jangan berpikir kau bisa hidup seperti seorang ratu. Aku akan pastikan setiap langkahmu di rumah ini harus melewati izinku.”
Zenia menatapnya tajam, tapi suaranya tetap rendah. “Aku tidak minta izin untuk melakukan apa yang aku mau, Matteo. Aku hanya minta ruang untuk tidak saling membenci.”
Matteo mencondongkan tubuh, mata mereka bertemu di tengah meja panjang itu. “Kalau kau ingin tetap di sini,” katanya dengan nada nyaris berbisik, “kau harus belajar menerima bahwa aku yang memegang kendali.”
Zenia tidak menghindar. “Kendali bukan berarti kuasa atas segalanya.”
Keduanya saling diam, saling menatap, tanpa ada yang mau mundur. Lilin di meja bergoyang karena angin dari jendela yang terbuka sedikit.
Untuk pertama kalinya, Matteo merasakan sesuatu yang tidak pernah ia alami sebelumnya—rasa ingin menaklukkan yang justru berbalik membuatnya gelisah.
Dan Zenia, dalam diamnya yang lembut, tahu betul: badai yang akan datang di rumah besar itu bukan lagi antara harta dan warisan, tapi antara dua hati yang berusaha membuktikan siapa yang lebih kuat menahan dorongan yang perlahan berubah arah.
Matteo berpikir sejenak. ‘Apakah di atas ranjang wanita ini masih keras kepala? Kalau iya! Begitu menarik sekali!’