Malam itu, rumah Ancelotti yang biasanya sunyi berubah menjadi hiruk pikuk. Musik berdentum keras, lampu-lampu berwarna menari di langit-langit tinggi, dan orang-orang berdatangan mengenakan pakaian mewah, membawa aroma parfum mahal yang menusuk hidung. Rumah yang dulu dijaga penuh kehormatan oleh Carlo kini seolah kehilangan rohnya, berganti menjadi arena pesta tak beraturan yang membuat Zenia hampir muak melihatnya.
Zenia berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan pakaian yang membuatnya merasa terhina. Gaun pelayan berwarna hitam dengan celemek putih kecil di bagian depan, rok yang terlalu pendek hingga membuatnya ingin menutupinya dengan tangan. Matteo memaksanya mengenakan itu — katanya, hanya untuk malam ini, agar “terlihat lucu” di antara tamu-tamunya. Tapi Zenia tahu, itu bukan sekadar lelucon. Matteo sedang menghukumnya dengan cara yang paling menyakitkan: merendahkan harga dirinya.
Tangannya gemetar saat ia mengancingkan kerah baju itu. Di matanya yang berkaca, ada amarah yang menumpuk, tapi juga rasa malu yang menyesakkan d**a.
Matteo muncul di pintu kamar tanpa mengetuk, menyandarkan tubuhnya pada kusen dengan senyum tipis di bibirnya. “Bagus,” katanya ringan. “Ternyata kau bisa juga patuh padaku. Hahahah… Jalang memang harus patuh pada Tuan rumah.”
Zenia menatapnya tajam, wajahnya tegang. “Kau pikir ini lucu, Matteo?”
Matteo melangkah mendekat, matanya menatap Zenia dari atas ke bawah. “Aku pikir ini pantas,” ucapnya dingin. “Kau ingin rumah ini tetap ‘terjaga’? Maka kau harus tahu tempatmu. Malam ini, kau melayani tamuku. Tidak lebih.”
Zenia menahan napasnya. Suaranya nyaris pecah, tapi ia tidak ingin memberi Matteo kepuasan melihat dirinya menangis. “Carlo tidak akan pernah memperlakukan siapa pun seperti ini.”
Matteo berhenti sesaat, menatapnya lebih dalam, lalu tersenyum miring. “Carlo terlalu baik. Itu sebabnya banyak orang menungganginya. Tapi aku bukan Carlo, Zenia. Aku hanya memastikan semua orang tahu siapa yang berkuasa sekarang.”
Zenia tak menjawab. Ia tahu percuma berdebat. Ia tahu Matteo tidak akan berhenti sebelum ia menyerah. Jadi ia hanya menunduk, meremas celemeknya, lalu berjalan keluar kamar menuju aula tempat pesta berlangsung.
Begitu keluar, sorak-sorai menyambutnya. Musik menghentak. Beberapa pria yang berdiri di dekat bar menatapnya dengan pandangan yang membuat kulit Zenia merinding. Salah satu dari mereka, dengan jas abu-abu dan gelas di tangan, bersiul pelan. “Siapa ini? Pelayan baru, Matteo?”
Matteo tertawa kecil dari kejauhan, meneguk minumannya sambil menatap Zenia tanpa niat membantu. “Ya,” katanya lantang, “pelayan pribadi rumah ini. Anggap saja… bagian dari hiburan malam ini.”
Suasana berubah. Semua mata menoleh ke arah Zenia. Beberapa wanita tertawa kecil, menutup mulutnya pura-pura sopan. Beberapa pria lainnya mulai menggoda.
Zenia menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang mendidih di dadanya. Tapi ia tahu, kalau ia melawan, Matteo akan mempermalukannya lebih jauh. Jadi ia menegakkan kepala, mencoba bersikap seolah tak terganggu, lalu berjalan ke meja, mengambil nampan berisi gelas-gelas wine, dan mulai berkeliling.
Langkahnya gemetar di awal, tapi perlahan ia belajar mengatur napas. Ia menatap lurus ke depan, tidak membiarkan tatapan-tatapan liar menyentuh harga dirinya. Namun setiap kali ada tawa keras, atau siulan menggoda, dadanya kembali sesak.
Salah satu tamu, seorang pria bertubuh besar, menghentikan langkahnya. Ia menaruh tangannya di meja dan bersandar, menatap Zenia dari dekat. “Hei, manis, kau pelayan atau malaikat yang tersesat di pesta ini?” katanya dengan suara serak.
Zenia tidak menjawab. Ia menaruh gelas di hadapan pria itu dengan tangan gemetar. Tapi sebelum ia bisa melangkah pergi, pria itu menyentuh pergelangan tangannya. “Hei, jangan buru-buru. Duduklah sebentar. Kita bersulang.”
Zenia menatapnya, matanya dingin. “Lepas tangan Anda,” katanya dengan suara rendah tapi tegas.
Pria itu justru tertawa keras. “Lihat ini, pelayan galak. Padahal dia hanya jalang miskin yang menjadi pelayan dan butuh uang.”
Tawa-tawa lain mengikuti. Zenia merasakan wajahnya panas. Ia menarik tangannya kuat-kuat, tapi genggaman pria itu tetap kuat. Sampai akhirnya suara Matteo terdengar dari belakang.
“Cukup,” katanya dengan nada datar, tapi semua yang mengenalnya tahu nada itu tidak main-main. “Jangan sentuh pelayanku tanpa izin.”
Semua menoleh. Matteo berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi aura di sekitarnya mencekam. Ia berdiri di antara Zenia dan pria itu, menatap tajam. “Aku bilang, lepas.”
Pria itu, yang kini mulai sadar siapa Matteo sebenarnya, tertawa gugup lalu melepaskan tangannya. “Santai, Matteo, aku cuma bercanda.”
Matteo tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu dingin selama beberapa detik sebelum berbalik ke arah Zenia. “Lanjutkan tugasmu,” katanya pelan, namun Zenia mendengar nada dingin dan licin di balik kata-katanya — seolah Matteo menikmati permainan ini, menikmati melihatnya terhina tapi juga dilindungi hanya sejauh yang dia mau.
Zenia menunduk, mengangguk pelan, lalu melanjutkan tugasnya, menahan semua rasa sakit dan kemarahan di dadanya.
Pesta berlangsung hingga larut malam. Musik makin keras, tawa makin kasar, dan aroma alkohol memenuhi udara. Zenia masih berdiri tegak, dengan sisa tenaga yang menipis, menahan pandangan sinis orang-orang yang berlalu-lalang.
Dan di ujung ruangan, Matteo berdiri, matanya tak pernah lepas dari Zenia. Ada sesuatu di tatapan itu — bukan sekadar kekuasaan, tapi juga perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan. Antara ingin menghancurkannya dan tidak sanggup benar-benar membiarkannya jatuh.
Ketika pesta akhirnya berakhir, Zenia masih berdiri di ruang tamu, menatap ruangan yang berantakan. Gelas pecah, sisa minuman menetes di lantai marmer, dan aroma asap rokok menempel di udara.
Matteo berjalan mendekat, melepas jasnya, menatap Zenia yang masih diam. “Kau belajar sesuatu malam ini?” katanya pelan.
Zenia mengangkat kepala perlahan, menatapnya tajam. “Ya. Aku belajar bahwa kau tidak punya hati.”
Matteo tertawa kecil, tapi tawanya hambar. “Mungkin,” jawabnya ringan, lalu menatapnya lama, seolah ada sesuatu yang bergetar di balik tatapan itu. “Tapi jangan pernah lupa, Zenia. Kau bisa marah sesukamu, tapi pada akhirnya, kau masih di bawah kekuasaanku. Karena aku adalah Tuan-mu sekarang.”
Zenia menatapnya lama. Tidak ada air mata, hanya tatapan keras yang nyaris membeku. “Mungkin sekarang,” katanya dingin, “tapi suatu hari, aku akan membuatmu menyesal memperlakukan aku seperti ini. Dan kau— menjijikan!”
Matteo terdiam sejenak. Lalu bibirnya kembali melengkung tipis. “Kita lihat nanti. Dan ingat, kata penyesalan tidak ada di kamusku.”
Ia berbalik, melangkah pergi, meninggalkan Zenia sendirian di tengah ruangan yang porak poranda — rumah yang dulunya penuh cinta, kini hanya menyisakan luka dan harga diri yang dirobek dalam diam.
Dan malam itu, Zenia bersumpah dalam hati: dia tidak akan kalah akan membuat si sialan itu menyesal kemudian hari.
***