Bab 15

757 Kata
Zenia berdiri di ruang tamu, tangannya terkepal, wajahnya memerah. Kabar bahwa Matteo berniat mengadakan pesta besar di rumah Ancelotti membuat darahnya hampir mendidih. Rumah ini bukan sekadar bangunan mewah. Ini adalah simbol kenangan Carlo, suaminya yang baru saja meninggal, ayah yang selama hidupnya begitu melindungi keluarga dan rumahnya. “Dia tidak bisa melakukan ini,” gumam Zenia keras, suara bergetar karena kemarahan. “Ini rumah Carlo, bukan arena permainan Matteo!” Matteo muncul dari tangga dengan langkah panjang dan mantap. Matanya menatap tajam pada Zenia, bibirnya melengkung tipis, seolah menunggu reaksi. “Apakah aku mendengar seseorang tidak senang dengan rencanaku?” kata Matteo, suaranya datar, namun ada nada dingin yang menusuk. Zenia menatapnya lurus, napasnya masih berat. “Pesta? Di rumah ini? Kau… kau tidak punya hak untuk menodai kenangan ayahku, rumah ini! Carlo menjaga rumah ini dengan begitu hati-hati, dan kau… kau hanya anak muda yang baru masuk, mau seenaknya merusak semuanya!” Matteo tersenyum tipis, langkahnya mendekat. “Matamu berbicara lebih keras daripada mulutmu, Zenia. Kau marah, tapi kau tahu… kau tidak punya hak untuk melarangku.” Zenia menahan napasnya. Kata-kata Matteo selalu seperti pisau tajam yang menusuk, menyinggung semua luka batin yang belum ia sembuhkan. “Tidak punya hak? Kau benar-benar tidak tahu batas!” Matteo mengangkat alis, matanya menyipit. Ia melangkah lebih dekat lagi, dan tanpa aba-aba, menjepit kedua pipi Zenia dengan jarinya. Zenia terkejut, matanya membesar, napasnya tercekat. “Diam sebentar, Zenia,” kata Matteo pelan, namun setiap kata terasa berat, penuh kendali. “Kau hanyalah istri muda yang dipungut Carlo. Kau pikir kau bisa melarang anak kandungnya melakukan apa yang ia mau di rumahnya sendiri?” Zenia menahan napas, tubuhnya menegang. Ia merasa seperti diseret ke dalam arena yang sama sekali bukan miliknya. “Hanya karena aku istri Carlo tidak berarti aku tidak berhak menjaga rumah ini,” balas Zenia, suaranya keras tapi gemetar karena takut dan marah bersamaan. Matteo melepaskan jepitan jarinya dari pipi Zenia perlahan, namun tatapannya tetap menusuk. “Ah, Zenia… kau memang berani bicara, aku akui itu. Tapi keberanianmu tidak cukup. Rumah ini… adalah milikku sama seperti anak-anak Carlo yang lain. Dan kau? Kau hanya penghuni sementara.” Zenia menghempaskan tangannya ke pinggul, berdiri tegap. “Penghuni sementara? Jangan lupa, aku adalah istri Carlo! Dan aku memiliki hak untuk menjaga rumah ini tetap seperti yang suamiku inginkan!” Matteo tersenyum tipis, pandangannya penuh tantangan. “Kau memang keras kepala. Aku suka itu. Tapi keras kepala tidak selalu menang, Zenia. Kadang, orang harus tunduk pada kenyataan, bukan pada perasaan.” Zenia menatap Matteo lama, hatinya membara. Semua kata-kata itu, semua sikap sombong dan dominan Matteo, membuatnya ingin menentang, ingin membuktikan bahwa ia bukan sekadar istri muda yang bisa diperintah begitu saja. Tapi di sisi lain, Zenia tahu, Matteo selalu punya cara untuk membuatnya tersudut — secara psikologis, secara emosional. Angin sore berhembus pelan, masuk dari jendela yang terbuka. Zenia menundukkan kepala, mencoba menenangkan dirinya. “Kau tidak bisa begitu saja memutuskan segalanya, Matteo. Rumah ini penuh kenangan. Kau tidak bisa mengubah semuanya hanya karena kau ingin bersenang-senang.” Matteo menyeringai, matanya menyipit. “Kenangan? Zenia, kenangan tidak bisa menahan dunia. Aku akan membuat pesta itu. Dan kau… kau akan belajar menyesuaikan diri. Seperti semua yang lain. Entah kau mau atau tidak.” Zenia menatapnya, hatinya campur aduk. Ia merasa dikuasai, tapi di saat yang sama, ada api perlawanan yang tak bisa padam. Ia tidak akan membiarkan Matteo mengambil alih sepenuhnya. “Kalau kau pikir aku akan diam saja… kau salah besar,” kata Zenia dengan nada dingin tapi penuh tekad. Matteo melangkah mendekat, berdiri sangat dekat dengan Zenia, matanya menatap lurus ke matanya. “Aku suka perlawananmu,” katanya pelan, nyaris bergumam. “Tapi jangan lupa siapa yang memiliki kekuatan di sini. Aku bukan orang yang mudah menyerah. Dan kau… kau hanyalah bagian dari permainan ini.” Zenia menelan ludah, merasakan ketegangan yang luar biasa. Ia menatap Matteo, ingin membalas dengan kata-kata pedas, tapi hatinya sedikit gemetar karena sadar bahwa Matteo benar-benar memegang kendali — setidaknya untuk saat ini. Dan di saat itu, kedua jiwa yang keras kepala itu berdiri berhadap-hadapan di ruang tamu yang penuh cahaya sore, masing-masing merasakan panasnya konflik yang tidak hanya soal pesta atau rumah. Ini adalah pertarungan psikologis, pertempuran ego dan emosi, di mana tidak ada yang ingin mundur. Matteo, dengan senyum tipisnya, akhirnya berbalik, meninggalkan Zenia di tengah ruangan, membuatnya berdiri sendiri, terengah, marah, dan sekaligus bingung dengan perasaannya sendiri. Dan Zenia tahu — ini baru permulaan. Permainan mereka baru saja dimulai, dan tidak ada pihak yang benar-benar bisa merasa aman. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN