4. Pelukan Hangat Sang Mimpi

1435 Kata
Sore itu angin berhembus dengan lembut, menciptakan ketenangan karena suara gemerisik dedaunan yang bergerak tersapa olehnya. Di lantai dua rumah sederhana dengan dinding berwarna abu muda, tampak seorang pria duduk menatap jauh ke depan, namun pandangannya terlihat kosong. Di tangannya memegang tumpukan surat undangan yang baru saja tiba, akan tetapi tangannya hanya terpaku di atas kertas tanpa berniat membuka atau memilahnya seperti rencana awal. Hingga terdengar langkah kaki mendekat, lalu segelas teh disajikan di meja besi yang ada di balkon lantai dua tersebut. “Melamun? Mikirin apa, hm?” Suara seorang wanita paruh baya menyapa, rambutnya dicepol sederhana, memakai daster batik khas kota solo. Kulitnya putih dan tampak bersih. Matanya teduh dan bibir yang natural itu menyunggingkan senyum. “Ibu,” ucap pria yang memegang undangan tadi, baru menyadari bahwa wanita yang melahirkannya itu kini sudah berdiri di dekatnya. “Sudah datang undangannya, Barra?” tanya ibu Barra. “Sudah Bu, baru tadi, lagi liat designnya,” jawab Barra sambil menatap tumpukan surat itu tanpa menaruh minat sama sekali. Ibunya tersenyum tipis, menarik kursi hingga suara besinya berderit beradu dengan lantai berwarna putih terang. “Ada yang mengganggu pikiran kamu? Enggak biasanya kamu bengong, ibu berdiri cukup lama lho di sana,” tunjuk sang ibu ke arah pintu dari lantai dua rumahnya. Pepohonan di sekitarnya lagi-lagi bergemerisik tertiup angin sore yang terasa hangat. Barra menunduk, “Aura,” ucapnya menggantung, “kemarin ibu lihat sendiri kan? Dia kelihatan jauh lebih kurus dibanding saat terakhir aku bertemu dengannya, ibu bilang kalau sudah melahirkan biasanya tubuh wanita bisa berubah jadi lebih berisi,” imbuhnya tanpa mau menatap mata sang ibu. Kini giliran ibu Barra yang menerawang jauh, mengingat betapa sopannya wanita itu dulu. Hubungan mereka sudah cukup lama, sesekali Aura datang ke rumahnya dan berbincang dengannya, dan dia begitu ramah, tutur katanya lembut dan cara dia tertawa begitu khas. Sorot matanya pun teduh dan menghangatkan hati yang melihatnya. Tapi kemarin ... semua seperti hilang. Tatapan mata yang kosong, kulit yang tampak lebih kusam dan tubuh yang kurus. Aura seperti orang yang tak pernah mencicipi perawatan diri, meski gurat kecantikan masih tersisa dari wajahnya. “Dan itu membuatmu ragu?” tanya sang ibu. “Eh ... enggak lho,” tukas Barra yang kemudian membuka lembaran surat undangan, otaknya memerintahkan untuk membacanya, namun hatinya berkata lain, matanya mengabur, tak dapat membaca satu pun kata yang tercetak dalam undangan berwarna navy dengan tinta emas itu. Ibu Barra menghela napas panjang dan bersandar di kursi besi itu, menatap anak lelakinya. “Ibu enggak menyangka dia kakak Leona, pasti ... ini sangat berat untukmu,” tutur ibunya. “Lima tahun ... butuh waktu lima tahun untukku membuka hati lagi, tapi ... kenapa harus adik dari wanita yang pernah mematahkannya?” tanya Barra seolah pada dirinya sendiri. Ibu Barra menatap sedih pada putranya, dia tahu betapa hancurnya Barra dulu ketika Aura memutuskan meninggalkannya untuk menikahi lelaki lain, dia juga sempat marah dengan Barra yang mengambil jawaban cepat dan berkata tidak siap. Tanpa merundingkan dengan orang tuanya lebih dahulu. “Apa ... kamu masih mencintainya Barra? Atau justru sekarang membencinya?” tanya ibu Barra. Barra menoleh ke arah sang ibu dan menggeleng kecil. “Entah ... tapi aku merasa, sedikit prihatin,” ucapnya pelan dan nyaris seperti gumaman, sayangnya mereka hanya berdua di sana, sehingga suaranya masih terdengar jelas di telinga sang ibu. Barra tampak mengembuskan napasnya kasar, “terlambat kalau aku mundur sekarang ya, Bu? Aku tiba-tiba ragu dengan pernikahan ini,” ucap Barra. “Barra, keragu-raguan juga adalah ujian menjelang pernikahan, coba kamu tanya hati kamu lagi. Lagi pula Aura juga sudah menikah, sudah memiliki anak. Jika kamu membatalkan pernikahan dengan adiknya, bukankah dia ikut merasa hancur karena sudah menyakiti hati adiknya?” Ucapan ibunya ada benarnya, Barra seperti merutuki dirinya sendiri yang berpikir bahwa dia bisa saja membatalkan pernikahannya, lalu melarikan diri lagi? Ke mana? Karena takdir akan selalu menemukannya seperti saat ini. “Pikirkan baik-baik ya, meski Leona bukan Aura, namun dia juga adalah perempuan yang baik, hanya saja kadang sedikit cuek,” kekeh sang ibu berusaha mencairkan suasana. Barra mengangguk kecil, membiarkan ibunya meninggalkannya seorang diri. Dia menatap mentari di ujung sana, senja mulai menghiasi langit, lalu dia menatap jarinya, ada cincin dengan nama Leona tersemat di jari manisnya. Cincin yang dipakaikan Leona ... di depan Aura. Kira-kira apa yang dirasakan Aura saat itu? Marah? Sedih? Atau justru senang? Saat kembali melamun, Barra melihat ponselnya yang berdering, ada panggilan masuk dari Leona yang diberi nama Calon Istri dengan emoji love merah di sampingnya. “Mas,” sapa Leona dari seberang sana. “Ya?” “Surat undangannya sudah datang?” tanya Leona. “Sudah,” jawab Barra, “kamu jadi ke sini?” tanya Barra. Terdengar gumaman di seberang sana, “kayaknya enggak bisa Mas, aku harus lembur, ada project baru dan harus aku selesaikan sebelum kita menikah,” ucapnya dengan suara penuh penyesalan. “Ya sudah enggak apa-apa,” jawab Barra. “Mas marah?” tanya Leona. “Enggak sama sekali, Singa kecilku,” ucap Barra dengan suara lembutnya, Leona terkekeh di seberang sana, “mau aku pesankan makan malam dari sini?” tanya Barra. “Enggak perlu Mas, ketua tim sudah pesan pizza, enggak apa-apa deh off diet hari ini,” ucap Leona. “Sudah kurus, jangan diet-dietan,” ucap Barra. “Tapi masih lebih kurus kakakku kan? Mas ingat kak Aura?” tanya Leona membuat jantung Barra nyaris berhenti berdetak. “Iya,” ucap Barra. “Dia kurus banget, kalau ditanya pasti jawabnya karena diet, tapi kata ibu sih dia kurus karena pikiran, Mas tahu suaminya—“ “Leona,” potong Barra. “Ah iya, kenapa Mas?” tanya Leona, Barra membasahi bibirnya, jemari menggaruk keningnya yang tak gatal, sungguh dia sedang labil dan tak mau mendengar cerita tentang Aura, dia takut hatinya kembali ragu. “Katanya mau lembur? Cepat selesaikan, jadi malam nanti bisa telponan,” ucap Barra. “Ah iya, ya sudah aku cuma mau bilang itu aja kok, maaf ya mas.” “Iya enggak apa-apa, semangat kerjanya,” tutur Barra. Leona memutuskan panggilan itu. Barra menatap ponsel yang wallpapernya adalah foto mereka berdua, Leona yang memilih foto itu untuk dijadikan wallpaper ponsel. Bisa dibilang Leona sangat mencintai Barra, dia selalu memuja dan memujinya. Barra menyukai perhatian Leona, tapi terkadang dia merasa Leona terlalu menggantungkan diri padanya. Barra memutuskan untuk memusatkan perhatian ke undangan saja, dia tak mau terus berkutat dengan perasaannya, dia berpikir selama Leona tak tahu bahwa dia dan Aura pernah menjalin hubungan kekasih, rumah tangga mereka akan aman nantinya. Lagi pula Aura tinggal jauh kan di Surabaya? Setidaknya mereka takkan sering bertemu kecuali pada event tertentu, dan Barra akan bersikap seperti kemarin, seolah tak mengenalinya. *** Aura memandang kalender meja di atas nakas samping ranjang, suaminya sudah tertidur pulas. Dua hari lagi dia akan mendapat tamu bulanan, dan entah mengapa malam ini dia merasa sangat b*******h? Padahal siang tadi Tharik sudah berbuat kasar padanya. Walaupun menjelang sore, sikap pria itu tampak melunak dan mengajaknya makan malam di luar bersama Zoya, dan itu membuat Aura yakin bahwa mungkin tadi siang Tharik sedang sangat stres sehingga melampiaskan amarah padanya. Aura mencoba menempel pada Tharik, mengusap perut suaminya yang tampak membuncit dengan lembut, jemarinya terus turun ke pangkal paha Tharik, membelai dari atas celana tidurnya. “Mas,” bisik Aura. “Hmmm,” deheman Tharik terdengar meski matanya terpejam, “mau malam ini, boleh?” ucap Aura. Tharik menarik tangan Aura menjauh. “Capek, kamu lakukan sendiri aja lah, sudah tahu caranya kan?” tanya Tharik dengan suara seperti gumaman, dia menarik selimut sampai dagunya dan memeluk bantal guling sambil berbaring miring memunggungi Aura. Aura mendengus, dia terlihat kecewa, dia pun berbaring miring memunggungi Tharik, berusaha meredam gairahnya dengan kantuk. Namun, ketika matanya terpejam, justru dia melihat wajah Barra. Tersenyum padanya, jemarinya lembut mengusap pipi Aura, lalu jemari itu menari di leher Aura, bibirnya mengecup leher itu hingga meninggalkan tanda kemerahan. Ciumannya turun ke daada Aura dan bermuara di miliknya, Aura menahan napas ketika merasakan jemari itu menyentuh miliknya. “Euhm,” lenguh Aura, dia memang melakukannya sendiri, namun dalam otaknya ... semua dilakukan Barra dan ketika dia mendapat pelepasannya, baru lah dia menyadari bahwa dia hanya merasakan sebuah kehampaan. Dia memiliki suami, namun mengapa dia membayangkan pria lain? Apakah dia sudah gila? Aura mengepalkan tangannya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dan air matanya jatuh tanpa bisa terbendung, dia menahan suara isakan agar tidak keluar dan membangunkan Tharik, dia tak mau suaminya marah lagi. Dibiarkan air mata itu terus mengalir, hingga dia lelah menangis, dan mimpi menyambutnya seperti pelukan yang hangat yang membuatnya lupa bahwa kehidupan pernikahannya tak bisa memberinya bahagia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN