2. Kehidupan Seorang Istri

1651 Kata
“Kamu langsung pulang ke Surabaya?” tanya Hanum, ibu dari Aura dan Leona. Hanum bercerai dengan suaminya Caraka ketika Aura dan Leona masih kecil. Mereka sepakat untuk membawa satu-satu anak mereka. Meski berat, Hanum kemudian memilih membawa Leona karena masih terlalu kecil untuk ditinggalkan pada ayahnya. Sejak saat itu Aura hampir tak pernah bertemu dengan ibunya, terlebih Caraka menikahi Kana, wanita yang dulu merupakan teman sekolahnya. Hidup Aura seperti tidak pernah tenang, dia seperti dijadikan babu saja di rumah sendiri. Ayahnya tak bisa membelanya, karena Kana berkata itu untuk masa depan Aura, agar Aura terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Ketika Aura beranjak SMA, dia pernah kabur ke rumah Hanum, namun melihat kondisi keuangan Hanum yang tidak sebaik ayahnya, membuatnya nekat kembali ke rumah lagi. Hanum hanya bekerja sebagai cleaning service untuk membiayai sekolah Leona, jika ketambahan Aura, maka dia akan bekerja sangat keras. Hanum memutuskan untuk tidak menikah lagi, dia hanya hidup berdua Leona selama ini, hingga dia memiliki tabungan dan membeli rumah tak terawat yang dengan tabungan dan usaha sampingan dia bisa merenovasinya. Kehidupannya mulai berubah sejak Leona bekerja, anaknya itu benar-benar membaktikan diri padanya, merenovasi rumah dengan lebih bagus dan memenuhi kebutuhan ibunya yang sudah pensiun. “Mas Tharik ada pekerjaan di sana, Bu,” ucap Aura setelah beberapa saat terdiam. “Kan long weekend,” tutur Hanum. Sejak Aura menikah, dia semakin jarang bertemu dengannya karena Tharik mengajaknya tinggal ke Surabaya. Dia hanya menemui ibunya setahun sekali saat lebaran dan itu pun Tharik jarang ikut serta. “Iya, tapi mas Tharik ada pekerjaan, maklum bu dia kan manager, jadi meski libur dia tetap kerja,” tutur Aura sambil membereskan bajunya dan memasukkan dalam koper. Hanum menghela napas panjang, “pernikahan Leona bulan depan, kamu menginap yang lama ya,” ucap sang ibu. Aura menunduk, melihat adiknya bertunangan dengan lelaki yang pernah dicintainya saja sudah membuatnya sangat tersayat, apalagi jika melihat mereka menikah? “Aku usahakan,” ucap Aura. Hanum memegang tangan putrinya, “ibu sebenarnya masih rindu sama kamu Ra, kamu tahu kan kita enggak punya banyak waktu bersama, tapi ibu tahu kalau kamu tertekan. Kamu semakin kurus, Nak. Jika ... Tharik menyakiti kamu, jika kamu enggak kuat bersamanya, kembalilah ke sini, kita bisa bangun usaha catering ibu lebih besar lagi, jangan takut. Kita pasti bisa biayain Zoya sekolah,” tutur Hanum yang entah mengapa justru membuat Aura menangis. Dia memeluk ibunya erat, “Aura juga rindu ibu, tapi sekarang baktiku pada suamiku, Bu.” “Ibu enggak akan ke mana-mana, kamu tahu kapan waktunya pulang kan? Jangan kembali ke rumah ayah kamu lagi, ke sini saja,” ucap Hanum membuat Aura menyesal. Seandainya dulu dia berani melangkah keluar setelah bekerja, dia berani tinggal bersama ibunya. Mungkin dia takkan salah memilih suami. Mungkin dia bisa menunggu Barra siap menikahinya. Tapi ... nasi sudah menjadi bubur, dia tak bisa memutar waktu mundur. “Lama banget!” sentak Tharik mendorong pintu kamar. Hanum menatap menantunya itu dengan pandangan tidak suka, Tharik pun sama. Ada rasa permusuhan di sana, yang entah mengapa mulai terasa sejak mereka menikah? “Iya Mas, ini sudah selesai,” tutur Aura. Dia pun menurunkan koper dari ranjang, ibunya menemani sampai depan. Driver taksi online sudah menunggu. Zoya berada di gendongan Aura. Sementara tangan sebelah menarik koper. “Tharik, kamu bawa dong kopernya!” sentak Hanum, Tharik yang tengah memainkan ponsel itu hanya mendengus dan menyeret kopernya dengan kasar. “Ra, enggak perlu pulang ya, di sini saja,” tutur Hanum ketika Tharik sudah memasukkan koper dalam bagasi. “Bu, enggak bisa, aku harus pulang, ibu tenang saja ... jika sudah keterlaluan, aku akan pulang ke sini bersama Zoya,” bisik Aura. Hanum pun menatap putrinya, lalu dari arah dalam Leona berlarian dengan membawa paper bag. “Kakak ishhh! Kok pulang cepat-cepat, ini dibawa untuk di jalan,” ucap Leona. “Lho ini makanan kesukaan kamu, kan?” “Iya, ibu mas Barra bawanya banyak banget,” ucap Leona. Aura hanya tersenyum tipis, ibu mas Barra dia bilang? Ya Barra yang dulu selalu mengisi hari-harinya, kini akan mengisi hari adiknya. “Ya sudah kakak pulang dulu ya,” ucap Aura. “Yang penting saat aku nikah, kakak datang!” gerutu Leona. Aura memeluk adiknya dan mengangguk, adik yang tak terlalu dekat dengannya, karena mereka terpisah sejak kecil. Mereka hanya sesekali mengirim pesan teks, tak terbangun chemistry akibat hal itu. Aura memasuki mobil itu dan melaju membelah jalanan menuju bandara. Tharik duduk di samping pengemudi, masih tampak sibuk mengirim pesan entah pada siapa? Karena Aura sama sekali tak mau tahu. Sepanjang perjalanan malam itu, mereka bahkan tak banyak berbicara. Tharik sibuk pada ponselnya, dan Aura sibuk menggendong Zoya. Mereka tiba di rumah ketika lewat tengah malam. Bahkan sesampai di rumah, Tharik langsung membawa mobilnya pergi. Aura hanya menghela napas panjang, rasanya berat sekali hidupnya, ditambah berat karena melihat kejadian hari ini. Dia memindahkan Zoya ke kamar anaknya, dia nyaman di rumah yang bisa dibilang cukup besar ini. Rumah yang didominasi warna putih bersih. Berada di kawasan perumahan elit, dengan fasilitas keamanan yang memadai, setiap minggunya akan ada senam gratis untuk para warga, bahkan ada tempat gym gratis yang terkadang Aura datangi jika benar-benar penat karena di tempat gym itu ada playground khusus anak juga. Secara finansial, Tharik memberikan Aura lebih dari cukup, meskipun terkadang jika Aura meminta dana lebih, Tharik akan marah dan menggerutu, namun tetap memberinya, seperti untuk acara pertunangan adiknya. Aura ingin membantu ibunya dan mengirimkan uang. Namun, untuk waktu, dia sangat jarang mendapatkan waktu Tharik, hubungan panas mereka hanya terjalin selama setahun. Setelah Aura hamil dan melahirkan, mereka sangat jarang tidur bersama. Bahkan dalam waktu dua bulan mereka terkadang hanya melakukan satu kali. Jika Aura meminta, Tharik akan berkata dia lelah karena bekerja dan dilanjutkan dengan marah-marah. Karena itu Aura hanya bisa menahan kesedihan dan kesepiannya saja. Aura dilarang bepergian tanpanya, jika pun pergi dengan temannya, dia harus mengirim update lokasi terkini agar Tharik bisa tahu dia berada di mana? Tharik berkata itu adalah bentuk dari rasa tanggung jawabnya sebagai seorang suami pada istrinya. Aura tak pernah menaruh curiga, terlebih sejak awal menikah dengan Tharik pun dia memang tak mencintainya, dia menghargai Tharik sebagai suaminya dan tentu berbakti padanya. Setidaknya kehidupan pernikahan ini masih lebih baik dibanding kehidupan sebelumnya bersama ibu sambungnya. Sementara Aura tidur di kamarnya yang dingin sendirian. Pria yang sudah tujuh tahun ini menjadi suaminya itu asik menyewa karaoke room, didampingi satu orang wanita yang biasa disebut Lady Court atau LC, berpakaian seksi, mini dress sepaha berwarna hitam. Bagian atas dan bawah tubuhnya yang besar dan menantang, make up yang cukup menor, namun anehnya pas dikenakan di wajahnya yang sensual. Dia tampak jauh lebih muda dari Tharik, namun dia memancarkan aura kedewasaan dalam setiap sentuhan dan kata-katanya. Dia memeluk tubuh Tharik dan bersandar di bahunya dengan nyaman, “Parfum baru ya? Enak banget wanginya?” ucap sang wanita yang diketahui bernama Anetta itu. Sudah dua tahun kebelakang Tharik menjalin hubungan dengannya, baik di karaoke room atau pun di luar. Biasanya Tharik memang suka menyewa LC untuk menemaninya karaoke, menghamburkan uang atau sekedar membeli minuman memabukkan dan itu hanya dilakukan di tempat karaoke. Berbeda dengan Anetta yang sering diajak check in ke hotel, bahkan menemaninya jika ada dinas luar, makanya tak heran jika dia begitu menyukai wanita seksi ini. “Kamu kok bisa-bisanya ingat,” ucap Tharik. “Aku selalu hapal aroma kamu, Mas. Kemarin dua hari enggak ketemu lho,” ujar Anetta merajuk manja. Dia kemudian menyapukan jemarinya di wajah Tharik, “cukur kumis segala, ganteng banget,” imbuhnya masih sambil mengerucutkan bibirnya. “Lebih ganteng enggak?” “Ganteng banget, ah aku kesel karena istri kamu lebih sering memandangi wajah ganteng kamu, Mas,” ucapnya membuat Tharik besar kepala. “Badan ini, duh enggak bisa bayangin deh pria segagah kamu, seganteng kamu, bisa menikahinya yang kerempeng,” sungut Anetta. Tharik, pria dengan kepribadian NPD, atau narcissistik personality disorder. Sebuah kepribadian di mana seseorang memiliki kebutuhan besar untuk dikagumi, rasa penting diri yang berlebihan, kurang empati dan cenderung memiliki sikap suka memanipulasi. Dia sangat senang dengan pujian, dan Anetta selalu bisa memenuhi kebutuhannya itu. “Tenang saja sayang, cintaku hanya untukmu. Dia itu hanya pelengkap dalam hidupku, kamu sudah pernah aku ceritain kan kalau aku nikahin dia hanya karena aku merasa sudah waktunya berumah tangga, dan agar gampang mutasi ke sini,” ucapnya. Anetta mencumbunya di ruangan itu seperti tak peduli jika memang ada kamera pengawas yang menangkap adegan yang mereka lakukan. “Kadang aku sebal, aku kasih dia uang, bukannya dipakai untuk perawatan, tapi dikirim untuk orang tuanya, susah kalau anak broken home, punya dua ibu dan keduanya harus dikirim uang setiap bulan. Sementara dia pakai baju lusuh, malu aku ngajaknya juga,” sungut Tharik. Anetta tersenyum miring dan menghisap aroma di bahu Tharik, mengusap perutnya yang buncit karena terlalu banyak makan, namun tidak diimbangi dengan olah raga. “Itu karena dia merasa sudah laku, sudah menikah. Coba aja kalau dia jadi janda, pasti dia bisa glowing karena mau menarik laki-laki lain.” “Jadi janda? Jangan harap, seumur hidup dia harus sama aku,” ucap Tharik. “Kamu pasti sangat menyayanginya?” tanya Anetta. “Sayang? Cih! Dia hanya pelengkap dalam hidupku Anetta, lagi pula bisa apa dia tanpa uang dariku?” kekeh Tharik. Anetta tersenyum manja, “Mas, mau dong parfum yang kayak kamu pakai, ini harum banget lho, mahal pasti,” ucapnya menggelayut manja pada Tharik, hal yang nyaris tak pernah dilakukan oleh Aura sepanjang pernikahan mereka. “Besok kita beli ya, lumayan mahal tapi kalau untuk kamu, enggak masalah. Kita beli yang aroma manis khas perempuan cantik dan seksi,” ucap Tharik menjawil manja bagian sensual dari Anetta, membuat senyum wanita itu terkembang, dia mengecup pipi Tharik dan meninggalkan bekas lipstiknya sambil tersenyum miring. Dalam hati dia berkata, “lelaki tua bangka haus pujian, aku cuma butuh uang kamu tahu, baru masuk aja sudah langsung pamit kok boro-boro bisa memuaskan, cih!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN