Bab 5 | Ngidam Unik

1989 Kata
Ini adalah Minggu ke enam belas kehamilanku. Perutku sudah terlihat sedikit membuncit, aku kini suka berdiri di depan cermin dan melihat perubahan anatomi tubuhku. Bukan hanya perut, b****g juga payudaraku terlihat membesar. Aku menyukain itu semua. Hari ini Edward menugasi ku banyak sekali pekerjaan, entah karena aku sering kali izin tidak masuk kantor, atau entah karena apa. Sudah hampir empat jam aku duduk di depan komputer. Ku buka tutup minuman yang ku bawa. Habis. Aku beranjak bangun, aku menyibakkan rambutku, ku urut tengkuk yang terasa pegal karena seharian duduk dengan kepala tegak. Dari perutku sesekali mulai terasa gerakan mungil. Aku tersenyum sambil mengusap perutku. "Waktunya minum s**u, Nak." Aku bergumam seolah berbicara dengan bayiku. Aku mengambil gelas dan menuangkan beberapa sendok s**u bubuk ke gelas. "Yah, air panasnya kok habis." aku mengguncang-guncang kan dispenser di hadapanku. Aku mencari OB yang bertugas di dapur, tidak ada. "Di ruangan ku masih ada air panas," Seseorang berkata dari belakang "Hah! Astaga, Pak Edward!" Aku terkejut mendapati Edward berada di dapur. "Ada apa Bapak di dapur kantor? Biasanya.." "Seluruh OB hari ini mogok kerja, minta dinaikkan gaji." Jawabnya datar, "Oo.. " jawabku singkat. Aku mengurungkan niat membuat s**u. Aku meletakkan gelas di atas meja dapur dan kembali ke meja kerjaku. "Nanti saja ya, Nak. Mama lanjutkan dulu pekerjaan Mama. Bos Mama galak, suka gigit! " aku berbicara ke bayi yang ada dalam perutku, seraya berjalan meninggalkan Edward, "Tapi Mama kamu suka kalau saya gigit." tiba-tiba suara Edward menjawab. Aku meletakkan segelas s**u hangat yang tadi tidak jadi ku seduh di atas meja dapur. Mukaku memanas, aku menundukkan kepala karena malu dengan perkataan Edward barusan. "Jangan lupa bawa proposal untuk ke Semarang ke ruangan saya, saya tunggu sekarang." Perintah Edward, aku merapatkan gigi, menahan marah dengan Edward, dia tau bahwa proposal itu belum sepenuhnya selesai ku susun. "Iya, Baik Pak." Jawabku malas. Aku melangkahkan kaki ke atas meja kerjaku yang nyaris penuh oleh file. Setelah proposal yang diminta Edward ada di tanganku, aku berjalan masuk. Aku masuk setelah mengetuk pintu dan terdengar jawaban Edward dari dalam ruangan. Aku berjalan mendekati meja kerja Edward. Di atas mejanya sudah tersaji segelas s**u yang tadi tidak jadi ku seduh karena persediaan air habis. "Duduk," pinta Edward, aku mengangguk dan duduk. "Sambil saya periksa proposal ini, kamu minum susunya. Saya akan sedikit lama." Edward meraih proposal yang ke letakkan di mejanya. Ia mulai membuka beberapa lembar proposal yang ku susun, sementara aku meminium perlahan s**u hangat buatan Edward, dan meneguknya perlahan. Hangat sekali. Edward memang tau cara membuat s**u hangat yang pas. Berbeda seperti Romi, beberapa kali ia membuatkan ku s**u hangat, tapi terlalu panas, membuat mulutku terasa terbakar. Apa-apaan aku, bisa-bisanya aku membandingkan Romi dan Edward! Aku menggeleng-gelengkan kepala berusaha menghilangkan pikiran tentang Edward. Bagaimanapun Romi adalah suami terbaik! Protes ku dalam hati. Edward mengangguk-anggukkan kepalanya, "Sejauh ini kerjamu bagus, hanya saja pada perincian pembiayaan, kamu harus bertanya ke bagian keuangan, jangan sampai ada yang tidak valid," Edward mengkoreksi hasil kerjaku, aku meletakkan gelas s**u yang ku pegang, "Baik, Pak. Kebetulan kemarin saya sudah temui Bu Fani pada bagian keuangan, ia akan membawa resume nya besok." Jawabku menjelaskan, Edward mengangguk, lalu kembali membaca proposal ditangannya, "Kamu memang berbeda, Ra. Cantik, dan pintar." Puji Edward sambil matanya terus membaca. Aku berusaha tidak mengambil hati dengan pujian Edward, aku kembali meminum s**u yang sudah tidak terlalu hangat karena ruangan Edward cukup dingin, sehingga minuman hangat akan lebih cepat dingin. Edward meletakkan berkas ditangannya, lalu menatapku yang sedang menyeruput segelas s**u. Aku salah tingkah dibuatnya, tapi aku pura-pura tidak perduli. "Minum pelan-pelan, kalau lapar, di lemari ada beberapa snack," Aku hanya menanggapi omongan Edward dengan anggukan. "Proposal ini sudah cukup bagus, hanya ada beberapa yang harus di revisi, terutama yang tadi saya jelaskan, tentang perincian keuangan. Karena ini hal yang..." Edward menjelaskan, aku menatapnya dalam, tidak sepenuhnya mendengarkan omongannya, Edward memang lelaki yang pintar, ia bisa memimpin dan memajukan perusahaannya di usia yang masih terbilang muda. "Ra? Kamu mendengarkan ku?" Edward menyadarkan lamunanku, aku tertangkap basah tidak memperhatikan pembicaraan Edward. "Oh, i-iya. Maaf, ak-aku, ini, hm, anu, aku.." aku terbata-bata menjawab, "Aku bisa salah mengartikan bila kamu terus menatapku seperti itu," Edward berkata sambil tersenyum, aku menyembunyikan wajah merahku, "okey, sudah saatnya jam makan siang." Edward melihat jam tangannya. Sepertinya ia tau aku sedari tadi melamun dan tidak menyimak penjelasannya, aku masih merasa malu karena tertangkap basah menatapnya. "Baik, Pak. Saya permisi dulu." Aku buru-buru beranjak bangun, karena aku merasa wajahku memerah karena malu, "Hm, terimakasih Pak sudah membuatkan saya s**u hangat." Aku kembali membalikkan badan dan sedikit menundukkan badan mengucapkan terimakasih. "Kamu berhutang satu cappucino, besok." Jawaban Edward membuatku kesal, ada saja jawaban Edward yang membuatku kesal. "Dasar!" Bisikku menggerutu, Edward tertawa melihat wajahku yang dilipat. "Apa kamu bilang?" Tanyanya pura-pura tidak faham, "Saya permisi, Pak." Aku tidak menjawab dan permisi pergi meninggalkan Edward. "Tunggu. Ikut saya, bawa proposal untuk ke Semarang tadi, Kita akan bahas beberapa hal sambil makan siang." Baru beberapa langkah aku pergi, Edward kembali menahan ku, aku mendengus kesal. Ada saja alasan Edward untuk mengajakku berdua. Seandainya dia tau, aku benci bila aku merasa nyaman saat dengannya. Bahkan, semenjak hamil, aku menyukai wangi parfum yang Edward gunakan, aromanya lembut, ada sedikit aroma coklat aku sangat suka. Akkhir-akhir ini aku sangat tergila-gila dengan wangi parfum itu. Aku menyukainya, sangat! Aku sempat berfikir mencarikan Romi parfum yang sama seperti Edward, agar keinginanku yang aneh ini bisa terpenuhi. Tapi Romi punya selera yang berbeda dengan Edward, aku takut Romi curiga bila aku tiba-tiba menyarankan nya berganti perfum. Aku duduk di samping Edward yang sedang mengendalikan laju mobil. Ini kesempatanku untuk menghirup parfume Edward. Aku diam, menikmati wangi dari tubuh Edward. Aku suka. Sudah dari kuliah aku mengenal wangi ini, tapi tidak pernah aku begitu tergila-gila seperti sekarang. "Kamu sakit? Sesak nafas?" tanya Edward karena aku terlihat beberapa kali menarik nafas dalam. "Hah? Ti-Tidak. Aku.. aku hanya.. " Aku kaget bingung mencari alasan yang pas. Aneh, biasanya ibu hamil suka dengan wewangian yang dipakai suami, tapi aku malah menyukai wangi Edward. "Kamu ngidam apa selama hamil?" Edward bertanya memecah hening. Pertanyaan yang pas, "Hm.." aku meliriknya ragu untuk menjawab. "Kalau saja aku bisa bantu carikan.." tawar Edward, "Aku, hm, aku, sebenarnya aku.. aku suka sekali bau parfum mu. " jawabku jujur sambil menunduk menyembunyikan wajahku, "Menyukai wangi, apa itu termasuk ngidam? Hm, biasanya ibu hamil itu kan ada makanan yang dia ingini.." "Aku juga tidak tau, kenapa aku bisa menyukai parfum mu. Kalau makanan, semuanya sama saja.." "Haha!" tawa Edward pecah, "hai bocah mungil, kamu pintar memilih ternyata. Ngidam yang unik!" Edward mengelus perutku. Aku kaget melihatnya. Aku menangkis tangan Edward dari perutku, Edward memang menyukai anak-anak, apalagi melihat anak bayi, dia sangat suka. Tapi bukan berarti ia bisa mengelus perutku seenaknua, "Tolong yang sopan, Pak!" Aku marah. Walaupun ada debaran aneh di dadaku. Mungkin karena Edward mantan pacarku. Saat pacaran, aku pernah mengajaknya menemui sepupuku yang baru melahirkan. Saat itu, ia tidak beranjak dari ruang bayi. Melihat bayi-bayi dengan senyum yang tak surut. Edward memutarkan mobilnya ke dalam rumahnya, "Katamu kita akan membahas proposal, tapi kenapa di rumahmu?" Aku bertanya bingung saat mobil Edward sudah masuk ke halaman rumahnya. "Di rumahku wangi. Wanginya sama seperti yang ku pakai. Kamu akan suka. Aku tidak mau, anak ku berliur." "Ap.. apa?! Anakmu?! " Aku perotes, "Maaf, maksudku, anakmu." Edward tersenyum iseng. Aku memukul pundaknya. Ia tertawa. Aku masuk ke rumah Edward. Masih belum banyak berubah, penataan ruangnya masih sama. Aku ingat, semua penataan ini ide ku. "Bi, tolong siapkan makanan yang ku pesan tadi pagi ya," Edward berbicara ke seorang perempuan paruh baya. "Baik tuan." Jawab Bibi, Edward sepertinya sudah merencanakannya, buktinya dia sudah memesan makanan sejak pagi ke bibi. Aku duduk di sebuah ruangan bercat putih. Edward memang suka warna putih. Aku duduk di sampingnya, Aku memejamkan mata, mencium wangi ruangannya yang lembut. Wanginya senada dengan parfum Edward, tapi aku lebih suka wangi yang dipakai Edward, lebih lembut. Duarrrr....! Suara petir dari luar terdengar kencang. "Astaga! Petir Ward! Aku takut! " aku memeluk Edward refleks. Aku takut petir, aku trauma karena pada saat masih kecil ada salah satu temanku mati terpanggang petir saat ia main layang-layang di tanah lapang. Dan aku menyaksikan semua. Edward memeluk tubuhku. Aku tersadar, berusaha menjauh. Tapi ia makin mendekap tubuhku. Ia menarik tubuhku lebih mendekat ke arahnya. "Sebentar saja Ra. Aku mohon." Bisik Edward. Aku melakukan kesalahan yang akhirnya membuatku tidak bisa berbuat apa-apa, lagi-lagi, aku berhasil dikuasai dengan nafsu Edward yang beringas. Aku tidak bisa menolak, karena tangan kanan Edward merangkul ku. Sementara tangan kirinya sudah bertamasya jauh. Hingga membuat badanku serasa mendidihn Aku memejamkan mata. Ada air mata yang menetes, jauh dari hatiku yang paling dalam aku masih mencintai Edward, tapi disaat aku merasakan itu aku merasa menjadi istri yang tidak baik. Kalau saja Edward bisa menerimaku, menemaniku saat itu, mungkin aku akan memilihnya menjadi suamiku. Andai-andai itu selalu muncul, aku pernah berjanji untuk mencintai hanya Romi, tapi aku selalu tidak bisa menolak perlakuan Edward. "Kamu tetap istimewa, Ra. Aku tidak bisa memberikan hatiku untuk wanita lain." Edward memelukku kencang, membuatku sulit bergerak. Aku masih diam, bingung harus berbuat apa. Memberontak tidak ada gunanya, karena dekapan Edward lebih kencang dari tenagaku. "Kamu kenapa? Menangis? Ada apa?" Edward memegang daguku dan mendapati air mata di pipiku. Ia mengusapnya pelan, aku merasa bodoh. Ya Tuhan, perasaan apa ini? Kenapa aku menangis? Gerutuku dalam hati "Aku mencintaimu, mengabaikanmu adalah kesalahan yang besar, tidak akan pernah bisa ku maafkan. Maafkan aku, aku menyesal.." Edward berkata bergetar, Edward memajukan wajahnya, mengulum bibirku lembut, perlahan ia menjadi ganas namun tetap lembut. Tangan kanannya mengusap perutku, sambil terus ke bawah. Sampai akhirnya menyusup ke rokku. Tangannya mennyibakkan pahaku. Sampai ia menemukan bagian tengahku yang masih tertutup celana dalam. Aku menggeliat, resah dengan Edward, dan ada rasa lain yang menguasai, aku jijik dengan diriku sendiri, Edward semakin lancang. "Please, izinkan aku. Aku hanya ingin denganmu,.l" ucap Edward bergetar. Aku kembali melahap bibir Edward. Jari jemarinya menyusuri belahan milikku menari indah di sana. Ia sudah mendapatkannya dengan cepat. Menggelitik bagian sensitifku beberapa kali, sampai akhirnya jari tengahnya ia loloskan habis ke dalam yang basah. "Edward, sudah, cukup.." Ia menarik keluar jarinya, lalu memasukkan lagi ritmenya indah sekali, membuatku tidak karuan. "Seprti ini saja, biarkan aku, aku berjanji tidak akan meminta lebih.." ia terus mengeluar masukkan jari tengahnya, " ah.. Uh, Ward, aduh...." Aku menggenggam sofa ya ku duduki, Mulut Edward tidak berhenti mengecup leherku, tangan kanannya memelukku yang sudah bergerak tidak terkendali, sementara tangan kirinya bergerilya di bawah, jarinya sudah masuk lebih dalam "aah. Uh, sedikit lagi.." Edward membuatku gila. Edward mempercepat ritme tangannya, badanku menegang, pahaku menggapit jari Edward yang ada di dalam. "aaah... " Lenguhku panjang. Aku melengkungkan badanku. Rasanya geli yang tidak dapat ku tahan. Edward perlahan menarik jari tengahnya yang berlumuran cairan yang mengalir, Aku buru-buru merapihkan bajuku. Edward terlihat gelisah. Aku tau dia menahan nafsunya. Tapi dia berjanji tidak meminta lebih dariku. Aku merasa kikuk dan bersalah, "Ward, maaf, aku.. " "Gak apa-apa. Aku mengerti. Kamu ke meja makan duluan ya, nanti aku menyusul.." Aku mengangguk dan berjalan ke ruang makan. Aku menunggu Edward di meja makan. Aku melihat jam tangan di tanganku, waktu istirahat tinggal setengah jam lagi. Edward lama sekali.. Aku bangun dan berjalan ke ruangan tempat kami menunggu. Edward tidak ada, Aku melihat sekeliling, tidak terlihat Edward.. Aku berjalan ke kamarnya. Aku sudah hafal dengan rumah Edward. Aku sudah beberapa kali ke sini saat masih menjalin hubungan. Pintu kamar Edward tidak tertutup, masih terbuka sedikit. Aku mendorongnya pelan. Aku kaget, aku mendapati Edward sedang memainkan senjatanya sendiri. "Ra, ah.. Come on honey.." Aku melihatnya mengejang. Ada cairan yang keluar dari k*********a. Aku menutup pintunya perlahan. Maafkan aku Ward, terimakasih sudah mengerti. Bisik ku dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN