Bab 6 | Bu Rita

2212 Kata
Kehamilanku sudah menginjak minggu ke delapan belas, dari minggu ke minggu kehamilanku semakin membesar, "Kamu terlihat cantik, sayang." Romi menatapku dari kepala sampai kaki. Aku tersenyum, "Tapi perutku sudah mulai membuncit, dan payudaraku menghitam," aku mengelus perutku, "Itu yang membuatmu sexy.." bisik Romi di telingaku. jawaban Romi membuatku merasa tenang, karena perubahan fisik selama hamil cukup membuat ku merasa tidak seperti sebelumnya. Romi membukakan pintu mobilnya. Malam ini Romi mengajakku ke rumah Bu Rita. Bu Rita adalah partner sekaligus salah satu penanam saham terbesar di beberapa perusahaan Romi dan Papanya. Bu Rita adalah pebisnis wanita yang sukses, Romi banyak menceritakan segala sesuatu tentangnya. "Apa Bu Rita sudah punya anak?" tanyaku kepada Romi yang sedang mengendalikan mobil, "Belum. Sudah lima tahun menikah, tapi belum ada keturunan.." jawab Romi, Aku mengangguk mengerti, "Ya sepertinya suaminya tidak segagah suamimu ini," Romi memicingkan senyum nakalnya, membanggakan dirinya sendiri. "Dasar kamu, " aku mencubit Romi. Romi tertawa, "Hei, kamu membuat adikku mengeras!" protes Romi sambil mengelus bekas cubitan ku. "Hanya dicubiiit, masa berdiriiii.." aku semakin gemas mendengar jawaban isengnya, "Karena kamu begitu sexy hari ini," Jawab Romi. Aku mengulum senyum, malam ini aku memakai terusan berwarna gelap, payudaraku yang membesar ku biarkan sedikit terbuka, memberi kesan sexy, menurut Romi. "Tapi sudah hampir dua minggu kamu tidak menyentuhku," aku memanyunkan bibirku. Padahal seandainya Romi tau, nafsu seks ibu hamil bisa berkali-kali lipat dari biasanya. Itulah mengapa aku sempat terbuai dengan sentuhan Edward, aku benar-benar merasa bersalah pada Romi. Aku tidak akan mengulanginya lagi, itu janjiku padanya. "Aku baca di artikel, kita gak boleh terus-terusan berhubungan seks sayang, tidak baik buat kehamilanmu." Aku masih diam, fikiranku masih melayang di kejadian siang itu, di rumah Edward. Dan mengingat Edward, yang menahannya. "Aku suka melihatmu memakai gaun ini, cantik sekali.." Perkataan Romi kali ini juga sama seperti yang Edward katakan. Dulu Edward pernah mengajakku ke sebuah pesta ulang tahun, saat itu aku mengenakan gaun berwarna agak lebih terang dari yang ku kenakan malam ini, "Apa aku cantik pakai gaun ini?" tanyaku saat itu, "kamu pakai gaun apa saja tetap cantik, tapi aku tetap menyukaimu saat kamu tidak pakai baju." Edward menggoda. Aku tersenyum mengingat jawaban nakal Edward. "Kenapa kamu senyum-senyum, Ra?" tanya Romi, aku tersadar dari lamunan ku. "Aku senang mendengar pujian mu.." jawabku berbohong. "Kalau begitu teruslah menjadi wanita tercantik yang ku miliki.." Tangan kiri Romi menggenggam tanganku. Aku tersenyum ke arahnya. *** Aku dan Romi melangkah masuk ke sebuah rumah mewah, besar. Dari awal kami masuk, sudah di suguhkan ruang tamu dengan warna emas yang mendominasi. Semua interior rumah Bu Rita terlihat mewah dan mahal. Dari sofa, guci, lemari, dan yang lainnya. Aku takjub melihatnya. Ibu Rita menyambut kami dengan senyum sumringah, Ibu Rita terlihat anggun malam ini. Dia mengenakan terusan merah marun. Badannya indah sekali, payudaranya besar, bokongnya padat. Ia terlihat begitu sempurna untuk wanita seusianya. "Bu, ini Ara. Istri ku." Romi memperkenalkan ku, "Ya. Kita pernah bertemu saat pesta pernikahan, bukan begitu?" Bu Rita mencium pipi kanan dan kiri ku, "Iya, benar.." jawabku pelan, "Sayang, nanti hati-hati." Ucap Bu Rita pada suami yang berdiri di sampingnya. "Iya sayang," Bu Rita mencium bibir suaminya di depan aku dan Romi. Aku menundukkan wajah karena merasa risih, belum pernah aku melihat dua orang berciuman secara langsung seperti ini, "Setelah makan malam, suamiku harus ke USA malam ini. Ada pekerjaan yang harus ia selesaikan." "Sayang sekali ya, Bu. Padahal kita sedang berkumpul. " ucap Romi. "Romi, saya titip Rita. Tolong jaga dia." Pak Mark berkata ke Romi, "Baik Pak, tenang saja." Jawab Romi mantap. Romi dan Bu Rita memang sering bersama, Pak Mark juga sangat mempercayai Romi. Kami duduk di sebuah meja makan yang besar, di atasnya tersaji banyak sekali makanan, rata-rata makanan Indonesia. Tidak lama, Pak Mark berpamitan akan pergi, seperti yang dikatakan Bu Rita tadi. Di luar hujan deras, aku berdoa semoga saja tidak ada petir. "Saya mengantar suami ke depan dulu." pamit Bu Rita. "Saya bantu bawakan barang-barangnya, Pak." Romi menawarkan diri. "Kamu tunggu di sini dulu ya sayang, aku bantu Pak Mark bawakan barang-barang.. Jus jeruknya diminum, bagus untuk kesehatan.." Bu Rita dan Pak Mark berjalan ke depan, Romi dibelakangnya membawa sebuah koper besar. Sambil membawa segelas jus jeruk yang sudah di sajikan aku berjalan ke ruang tengah rumah Bu Rita. Ruang tengah yang juga megah, ada televisi besar, dengan sofa yang cantik di hadapannya. Aku duduk di sofa itu, di atas meja di hadapanku ada beberapa majalah yang tersusun rapi. Aku membolak balik halaman majalah. Sebuah majalah dewasa, lebih banyak gambar lelaki gagah, dibandingkan tulisannya. Aku menunggu cukup lama di ruang tengah, tigabtumpuk majalah sudah ku buka, jus jeruk yang ku minum juga sudah tinggal sedikit. Aku mengetik chat ke Romi. Bertanya ia sedang apa, "...aku sedang di toilet. Sakit perut!" jawabnya. Pantas saja Romi lama. Romi kalau di toilet memang lama, entah apa yang ia lakukan di dalam. Aku beridir, dan berjalan perlahan, kali ini aku memilih untuk melihat-lihat foto yang tertempel di dinding rumah Bu Rita. Semuanya foto Bu Rita dan Pak Mark. Ada juga dua foto jadul dua anak kecil yang digabungkan, aku tebak itu foto Bu Rita dan Pak Mark saat kecil. Banyak sekali foto. Rata-rata berlatar belakang pemandanga di luar negeri. Beberapa negara sepertinya sudah pernah dikunjungi oleh Bu Rita. Wajar saja, karena beliau orang kaya, mudah sekali hanya untuk berkeliling dunia. Bu Rita kok gak masuk ke rumah lagi ya? Bukannya dia tidak ikut mengantar Pak Mark sampai bandara? Tanyaku dalam hati. Aku mulai tidak nyaman ditinggal sendiri seperti ini. Aku berjalan ke depan pintu masuk di depan ruang tamu. Aku membuka nya. Aku tidak melihat siapa-siapa di luar. Mobil hitam yang dipakai bu Rita masih ada. Sepertinya Pak Mark memakai taxi. Astaga! Mobil Bu Rita kenapa bergerak sendiri? Ada maling? aku terpekik dalam hati. Aku melihat mobil bu Rita bergerak. Aku mendekat perlahan, berhati-hati, aku takut ada seseorang yang berniat jahat. Tidak lama, lampu bagian tengah mobil di hidupkan, dari sana aku tersentak saat melihat bayangan Bu Rita sedang bergerak naik turun.. Ia sedang berhubungan intim di dalam mobil. Aku melihat gaun yang di kenakan Bu Rita sudah turun, rambutnya acak-acakan, Tapi dengan siapa? Apa mungkin Pak Mark? Tapi bukannya Pak Mark sudah pergi? Atau, memang belum pergi? Aku penasaran, dengan siapa Bu Rita bermain di dalam mobil. Berani sekali? Masih ada aku dan Romi di dalam rumah! Aku kembali masuk rumah, dan memilih untuk mengintip dari balik tirai jendela. Bu Rita nampak bersemangat bergerak. Vaginaku berdenyut menyaksikannya. Mungkin karena sudah seminggu aku dan Romi tidak melakukannya. Apalagi tangan lelaki itu terlihat beberapa kali meremas p******a Bu Rita. Lama aku terdiam, ingin sekali aku menelpon Romi, menceritakan apa yang sedang ku lihat, tapi ku urungkan, karena Romi juga pasti tidak bisa berbuat apa-apa. Sama sepertiku. Aku masih menunggu. Hingga aku melihat badan Bu Rita lunglai di atas badan lelaki itu. Lampu mobil kembali di matikan. Aku masih mengintip, penasaran, apa benar Bu Rita melakukannya dengan Pak Mark, suaminya. Tidak lama terlihat seorang lelaki turun dari mobil dengan badan terhuyung sebelum menjauhi mobil, ia tampak merapihkan bajunya, juga rambutnya. Samar. Aku tidak jelas melihat lelaki itu, tapi ia menuju pintu samping. Tidak lama Bu Rita yang juga sudah turun dari mobil menarik tangan lelaki itu dan mereka kembali berciuman. Aku jalan mendekati dua sejoli itu. Dadaku sesak. Aku mengenal lelaki itu. "Romi!" Aku seperti dihantam batu besar. Rasanya lemas, sakit, kesal. Aku tidak salah, lelaki yang sedang berciuman dan telah bercinta di dalam mobil bersama Bu Rita itu adalah Romi. Suamiku. Air mataku menetes. Suamiku. Ayah dari bayi yang ku kandung. Ternyata menghianatiku. Diusia pernikahan ku yang belum lama, di depan mataku Romi menghianatiku. Romi terlihat gugup dan melepaskan dekapannya ke Bu Rita. Ia mendekatiku. Tapi aku berjalan mundur masuk ke rumah Bu Rita. Menghindari Romi. "Ra, aku bisa jelaskan.. Ra, ku mohon.." Romi berusaha menjelaskan dengan suara gemetar. "Aku sudah lihat semua. Tidak ada yang perlu kamu jelaskan." aku berusaha setegar mungkin. Aku berjalan agak cepa masuk, dan mengambil tas milikku. "Ara, please.." Rengek Romi. Aku tidak perduli. aku melangkahkan kaki keluar dari rumah kolega yang juga selingkuhan suamiku itu. "Kita pulang ya.. " ucap Romi pelan memegang pundak ku. "Kita? Maksudmu aku dan kamu?" tanyaku menegaskan, aku menghardik tangannya yang menyentuhku. Romi mengangguk. "Tidak akan!" aku kembali melepas sentuhan tangan Romi. Aku berjalan cepat keluar. Melewati halaman rumah dan Bu Rita yang mematung karena kelakuannya ku ketahui. Romi mengejarku. "Romi, sudahlah. Aku mungkin memang punya kekurangan. Kita menikah juga karena di jodohkan. Aku tau... Aku faham!" "Ra, aku mencintaimu. Aku minta maaf. Aku ingin kamu mendengarkan penjelasanku." Aku berjalan cepat agar Romi tidak bisa mengejar ku, aku berjalan sampai ke pagar rumah Bu Rita, membuka pagar itu dan berdiri di bibir jalan. Aku melambaikan tangan. Menghentikan taxi yang akan melintas. "Ara, kamu lagi hamil. Berbahaya kalau pulang sendiri!" Romi kembali mencegahku, memegang pundakku erat. Aku tidak perduli. Aku masuk kedalam taxi dan mengunci pintunya. Romi mengetuk jendela berulang kali. Aku tetap diam. Dan meminta supir taxi untuk jalan. "Kita mau kemana, Bu?" tanya supir taxi itu. Aku mengusap air mataku. Aku tidak mau pulang ke rumah. Aku jijik. Aku memang baru mencintai Romi. Tapi aku berusaha untuk menerima dan mencintainya dengan sepenuh hati. Aku sadar, mungkin ini ganjaran untukku karena sudah hampir tergoda dengan Edward. Ganjarn karena aku memang istri yang tidak baik. "ke Villa Indah Cipta, Pak." Aku menjawab. Itu alamat rumah Edward, tidak ada lagi tempatku kembali , orang tuaku di Semarang, rumahku dulu sebelum menikah sudah di jual karena aku memilih hidup dengan suamiku. Aku merindukannya. Lima tahun kami menjalin hubungan, tapi Edward tidak pernah menghianatiku. Aku menyesal terlalu cepat mengambil keputusan untuk menerima lamaran Romi dan tidak mempertahankan Edward. Taxi membawaku ke rumah Edward. "Halo, " Jawab Edward saat ku telpon. "Apa kamu sibuk? " tanyaku langsung, "Sedikit. Aku sedang mengoreksi beberapa data untuk presentasi besok, sepertinya ada... " "Aku ingin kerumahmu," Aku memotong pembicaraannya. "Apa?" Edward terdengar kaget. Setelah menikah, aku selalu menghubungi Edward hanya bila ada keperluan pekerjaan saja. Mungkin Edward terkejut karena aku berniat ke rumahnya, malam hari. "Aku sebentar lagi sampai." "Baiklah. Aku tunggu di depan." Edward tidak banyak bertanya, Aku mematikan telepon. Di luar masih hujan deras. Petir menyambar. Aku membayangkan Romi pasti sedang asik dengan Bu Rita. Senjata Romi akan berdiri dan tidak bisa ia tahan bila hujan turun karena cuaca dingin. Aku mengusap perutku. Bayiku bergerak. Ia seperti memberiku semangat. Maafkan Mama dan Papa, Nak. Aku tidak bisa menahan tangis. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Aku sampai di depan rumah Edward. Aku membayar uang taxi. Terlihat Edward sudah menunggu dengn membawakan payung besar. Di pinggir jalan. Ia mengarahkan payungnya ke arahku. Aku menatapnya dalam. Aku berjalan mengikutinya masuk ke halaman rumah, "Aduh!" aku nyaris jatuh. Sepati hak tinggi yang ku kenakan menginjak batu. Edward menahan tubuhku. "Pegang payung ini, "Edward menggendongku masuk ke dalam, aku memegang payungnya. Kami masuk ke dalam rumah. Edward merebahkanku di atas sofa. Ia membukakan sepatuku pelan. Aku belum bisa berhenti menangis. Aku menyesal. "Kamu ganti baju dulu. Sebentar, aku ambilkan baju kaosku yang besar." Edward masuk ke dalam kamarnya dan kembali dengan membawa baju kaos putih miliknya. "Aku tidak punya baju wanita. Tapi ini sepertinya nyaman untuk kamu kenakan. Bajumu, biar ku minta Bi Inah untuk mencucinya." Aku mengangguk. Aku masuk ke dalam kamar tamu yang ia sediakan. Aku memakai baju kaos putih milik Edward. Hangat. Aku menyukai wanginya. Edward masuk ke dalam kamar. Aku duduk di pinggir tempat tidur. Edward duduk di sampingku. "Ada apa sebenarnya?" tanya Edward lembut. "Romi.. Suamiku.." Aku menangis kesal, "tadi aku melihatnya berhubungan seks dengan Bu Rita salah satu penanam saham di perusahaan nya.." "Maksudmu kamu melihat mereka? " tanya Edward, Aku mengangguk. Aku menceritakan semua yang ku alami. Edward terdiam mendengarkan. "Mungkin ini salahku. Aku sempat hampir tergoda denganmu..." ucapku pelan dan bergetar. "Tapi kamu bisa menahan semua. Antara aku dan kamu, aku lah yang berambisi ingin merasakan milikmu," Edward berkata pelan, "bukan kamu. Kamu sudah berhasil menjadi istri yang baik." Edward mengusap air mata ku yang terus mengalir. Aku mebangis. Edward memelukku. Entah apa yang ku tangisi. Kelakuan Romi yang menjijikkan atau karena aku terlalu menyesal tidak memilih Edward. Entahlah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN