Part 7 - Permintaan Pertama

3293 Kata
Beberapa jam telah berlalu sejak pemotretan berakhir. Nadira sudah kembali ke kediamannya dan kini, dengan gusar dia berjalan bolak balik di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu apartemennya. Tangan kanannya mengetuk-ketukkan benda berbentuk persegi pipih pada telapak tangan kirinya. Sesaat sebelumnya, dia baru kembali menghubungi sahabatnya, Meta, hanya untuk menerima kabar bahwa gadis itu masih tidak mendapatkan titik terang dimana keberadaan Gisna. Nadira juga tadi sempat mampir ke kediaman Gisna dan bertanya pada beberapa tetangga disana. Tapi para tetangga jelas mengatakan bahwa Gisna, Ibu Lisna dan Bik Minah sudah lama tidak tidak tinggal di sana karena ikut tinggal bersama Gisna di kediaman suaminya. Yang berarti kediaman Lucas. Nadira mengerang pelan. Tangannya tanpa sadar mengacak rambut hitam panjang lurusnya. Ya Tuhan, dimana kamu Na. tanyanya dalam hati. Meskipun jauh dalam hatinya Nadira yakin kalau Gisna itu baik-baik saja dan kini pergi bersama dengan ibunya. namun tetap saja, sebelum dia mendapatkan kabar yang pasti mengenai keberadaannya dan kondisi bayinya. Ia masih tidak tenang. Lebih dari itu, dia sebenarnya merasa bersalah. Karena dialah yang menjadi sumber penderitaan dan kesedihan yang saat ini sahabatnya itu rasakan. Mengingat dialah yang sudah membawa wanita medusa itu dalam kehidupan sahabatnya yang tenang. (Yang belum tahu, ini adalah sebagian cerita di Bukan Ibu Pengganti) Nadira terduduk di atas sofanya. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Ia melirik pintu. Erhan. Satu-satunya yang bisa memberikannya informasi saat ini hanya tetangganya itu. Pria yang juga merupakan sepupu dari suami sahabatnya. Tapi… Nadira menggelengkan kepala. Pada akhirnya ia kembali menyalakan layar ponselnya dan menghubungi satu nama. Ganjar. Pria yang merupakan kekasih sahabatnya Meta yang juga Nadira tahu kini bekerja untuk Erhan. “Ya?” Ganjar langsung mengangkat teleponnya pada dering kedua. “Loe beneran gak tahu dimana Gisna, Gan?” tanya Nadira to the point. Terdengar Ganjar menarik napas panjang di kejauhan sana. “Kalo gue tahu, gue bakalan bilang sama Meta, Ra. Sumpah demi Allah, gue gak tahu dimana Gisna.” Jawab pria itu sungguh-sungguh. “Kalo Erhan? Masa iya bos loe gak tahu? Loe gak nanya sama dia?” Ganjar terdengar mendengus. “Sekalipun gue nanya sama dia, meskipun dia tahu emang loe pikir dia bakal ngasih jawaban sama gue?” Nadira menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. “Ya udah kalo gitu. Thanks.” Ucapnya seraya menutup sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di atas sofa dengan kasar. Kepalanya kembali menoleh kea rah pintu. Sial! Dia memang tidak punya pilihan lain selain bertanya langsung pada Erhan. Nadira kembali menarik napas panjang. Ia bangkit dari duduknya dengan niatan baru. Tapi baru selangkah ia menuju pintu, ia kembali menahan diri. Tapi empat permintaan? Nadira mengerutkna dahi. Apa yang akan pria itu minta dari Nadira sebagai ganti informasi yang akan didapatnya? Haruskan ia mengabulkan empat permintaan itu? Tapi bagaimana jika permintaan pria itu tidak masuk akal? Diluar nalar? Nadira kembali berjalan mondar-mandir seraya sesekali mengacak rambutnya. Apa demi mendapatkan informasi mengenai Gisna, ia harus mengabulkan empat permintaan tetangganya itu? Nadira kembali menggelengkan kepala. Kalau pria itu hanya satu permintaan darinya, oke, Nadira rasa itu masih masuk diakal. Tapi empat? Bagaimana jika pria itu meminta hal yang aneh-aneh? Nadira tidak begitu mengenal pria itu. dan kesan pertamanya pada Erhan tidak lain adalah menganggap pria itu pria playboy yang suka tebar pesona dan mengarah ke c***l? Tanya Nadira ragu. Ya. Pria itu tampak seperti pria c***l. Ia tahu dari bagaimana cara pria itu memandangnya tadi siang di ruang ganti. Ia bukan gadis polos yang tidak bisa mengartikan tatapan penuh hasrat dari seorang pria. Dan ia bisa melihat itu dari tatapan Erhan. Bagaimana jika Erhan memang pria yang c***l?' seketika Nadira memeluk tubuhnya. Tapi di saat bersamaan, dia juga sadar bahwa dirinya memberikan respon pada pria itu. dia bisa merasakan gelenyar aneh saat Erhan berada di dekatnya dan ia tahu bahwa itulah yang disebut dengan gairah. Bagaimana bisa Nadira mengabaikan hal itu. Semua wanita normal sepertinya akan merasakan hal yang sama seperti yang kini dirasakannya. Erhan Levent. Selain parasnya yang tampan, dia juga memiliki postur tubuh yang tinggi. Bahkan tubuh Nadira yang terbilang tinggi pun masih berada di bawah pria itu. Dan postur tubuhnya? Erhan tak memiliki tubuh tinggi besar seperti atlet angkat besi. Tidak juga memiliki tubuh seperti sepupu-sepupunya. Pria itu memiliki ukuran tubuh model pria professional. Ramping namun berotot di tempat yang tepat. Bahkan sekilas, Nadira sempat membayangkan jika mungkin pria itu memiliki roti sobek di perutnya. Ya Tuhan. Nadira menggelengkan kepalanya keras-keras. Bagaimana bisa dia mengalihkan pikirannya pada hal seperti itu di saat seperti ini? Ia kembali menggelengkan kepalanya keras-keras. Berusaha menghilangkan pikiran kotornya. ' “Gila!” umpatnya seraya menepuk kepalanya sendiri. Tapi lagi-lagi, kepalanya diisi dengan bayangan tangannya yang menyentuh d**a Erhan, mengusapnya perlahan sampai pada perutnya yang memiliki roti sobek. Lalu berpindah pada lengannya yang kokoh dan berotot. Terus mengusapnya ke atas sampai menyentuuh bahu pria itu yang bidang. Lehernya yang berbulu kasar yang akan menggelitik permukaan tangannya. Rahangnya yang seksi yang membuat Nadira ingin menyentuhkan pipinya disana. Dan tiba-tiba Nadira membayangkan tangan pria itu memegang pinggangnya. Menarik tubuhnya mendekat dan merasakan hangat tubuh pria itu. Nadira terbelalak seketika. “Ampuun!” ia menggertakan giginya dan kembali duduk di atas sofa. Ya Tuhan, apa yang ada di dalam kepalanya? Tanyanya pada diri sendiri. Nadira wanita dewasa. Dan dia adalah seorang model. Melakukan pemotretan dengan banyak pria bukan hal yang aneh baginya. Menyentuh mereka pun sudah hal yang biasa dalam pekerjaannya. Tapi kenapa? kenapa baru kali ini sosok pria begitu mempengaruhi nya? Padahal diantara semua pria yang pernah ia lihat roti sobeknya, ia sama sekali tidak pernah melihat milik Erhan. Tapi kenapa dia bisa membayangkannya? Lagi-lagi Nadira menggelengkan kepala. Ia menyurukkan wajahnya ke atas bantal sofa dan mengerang. Ia bangkit dari acara mengerangnya dan berjalan menuju kamar. Mengambil sweater rajut yang pertama kali ia temukan di gantungan pakaiannya dan berjalan cepat meninggalkan unitnya. Selesaikan ini sekarang, Nadira. Jika tidak, kau tidak akan pernah mendapatkan informasi mengenai Gisna. Ucapnya pada diri sendiri. Nadira menekan bel yang ada tepat di samping pintu apartemen Erhan. Mengetukkan kakinya pada lantai marmer di bawahnya dengan sikap tak sabar. Ia bisa mendengar suara langkah kaki diseret dan pegangan pintu diputar. "Siapa?" Tanya suara dari dalam sampai akhirnya pintu terbuka dan pemilik rumah tampak mengenakan training berwarna abu tua tanpa mengenakan atasan muncul dari baliknya. Nadira terbelalak, terkejut karena fantasinya tadi menjadi nyata. Erhan dan roti sobeknya. Sementara di hadapannya Erhan tampak menahan senyum di wajahnya "Hallo, tetangga. Merindukanku, hmm?" Tanyanya dengan nada genit. Ia meneguk minuman yang ada di tangan kanannya namun sebelah matanya mengedip ke arah Nadira. Mau tak mau Nadira menelan ludah. "Rindu-rindu, rindu ndasmu." Jawab Nadira ketus setelah berhasil menetralkan degup jantungnya. 'Ya ampun, Ra. Jangan norak deh. Lo tuh sering lihat cowok topless di drama, di film bahkan di lingkungan kerja. Masa lihat Erhan segini aja udah baper'. Gerutu Nadira dalam hati. 'Tangan loe, tolong ya kondisikan. Jangan coba merayap kemana-mana'. Desisnya lagi di kepalanya. Namun melihat bulu-bulu halus di d**a pria itu entah kenapa membuat tangan Nadira begitu geli ingin menyentuhnya. "Jadi, mau masuk?" Undang Erhan ramah. Ia membuka pintunya lebih lebar seolah memberi pilihan untuk Nadira apakah ia akan masuk atau tidak. Nadira menggelengkan kepalanya keras. Tawaran pria itu menggiurkan, tentu saja. Hanya saja Nadira tidak yakin kalau dia tidak akan menyerang Erhan jika ia memutuskan untuk masuk. Ya Tuhan. Ia dan otak mesumnya. Tegurnya pada diri sendiri. Nadira berdehem pelan untuk menetralkan suaranya sebelum menjawab. "Disini saja." Dengan datar. Erhan mengedikkan bahu. "Baiklah." Jawabnya seraya bersandar di kusen pintu. Tak tampak risih sama sekali meskipun tak mengenakan atasan. "Ada perlu apa?" tanyanya ingin tahu. Nadira menggigit bibir bagian dalamnya. Matanya mencoba mencari pemandangan lain yang ia rasa aman. Kepalanya mulai galau, bimbang antara mengatakan maksud kedatangannya atau tidak sama sekali. Satu sisi ia merasa takut akan permintaan Erhan. Namun disisi lain ia juga ingin tahu dimana keberadaan Gisna. "Mmm... Itu. Anu.." ia mulai merasa salah tingkah. "Ya?" Erhan melipat tangannya di atas d**a dan kembali menyeruput minumannya dengan santai. "Tentang pertanyaanku.." Nadira bingung harus mengarahkan tatapannya kemana. "Pertanyaan yang mana?” tanya Erhan dengan ekspresi wajah menggoda. “Yang tadi siang.” Ucap Nadira, mulai kesal karena jelas Erhan ingin mempermainkannya. Erhan tampak tersenyum dan memandang Nadira dengan tatapan geli. "Jadi, sekarang kau berubah pikiran?" tanyanya dengan nada menantang. "Sebenarnya apa permintaanmu?" Tanya Nadira dengan nada meninggi karena kesal. Terlebih sikap santai pria itu yang berbanding terbalik dengan kegugupannya membuatnya semakin kesal. Padahal pria itu tidak melakukan apapun selain berdiri di sana dan meminum minuman kalengnya. Tapi kenapa malah Nadira yang salah tingkah karenanya? "Hmm.. tergantung.” Jawab pria itu seolah sedang berpikir. “Mungkin aku bisa merincikan empat permintaanku dari sekarang.” Lanjutnya. “Tapi aku takut berubah pikiran dilain waktu. Jadi aku tahan permintaanku sampai aku benar-benar memiliki permintaan yang pas. Permintaan yang akan aku sesuaikan dengan situasi dan kondisi.” Ucapnya lagi yang membuat Nadira terbelalak tak percaya. “Jadi, bagaimana? Empat-empat, cukup?” tanyanya. “Atau kau punya permintaan lain lagi?” tantangnya. “Pertanyaanmu dan permintaanku akan bersifat akumulatif, Sayang. Semakin banyak pertanyaanmu, semakin banyak permintaanku. Tapi tenang, aku orang baik. Aku juga tahu system diskon. Setidaknya, enam pertanyaanmu kuberi bonus satu pertanyaan.” Ucapnya lagi dengan senyum manis terkembang di wajahnya. Mata Nadira kembali membulat lebar. Ya Tuhan, empat permintaan pun belum tentu bisa ia penuhi, apalagi lebih dari itu. "Tidak-tidak.” Tolaknya cepat. “Cukup empat saja. Jadi apa permintaan pertamamu?" Tanya Nadira. "Jangan memintaku melakukan hal yang aneh-aneh. Dan jangan memberikanku permintaan yang hanya akan mempermalukanku." Potong Nadira sebelum Erhan mengucap sepatah katapun. Erhan kembali tersenyum. "Tentu saja tidak.” ucapnya dengan nada menenangkan. Malah aku yakin, permintaanku akan menguntungkan dan menyenangkan bagi kita berdua." Ucapnya seraya mengedipkan sebelah mata dengan gaya menggoda. Nadira memicingkan mata. "Jangan memikirkan yang aneh-aneh." Ancam Nadira seraya menyilangkan lengan di depan d**a. "Apapun yang ada dalam kepalaku, itu urusanku, tetangga. Jadi...?" Erhan menggantung kalimatnya. Nadira masih saja menatapnya curiga. 'Tenang, Ra. Belum tentu apa yang ada dalam pikiranmu tentangnya itu sama. Bisa saja itu hanya pikiranmu saja yang kotor'. Nadira bermonolog dalam hati. "Baiklah. Beri aku jawaban, dan aku akan mengabulkan empat permintaanmu." Jawab Nadira pada akhirnya. Erhan tersenyum kemudian mengulurkan tangan. "Deal?" Tanya pria itu. Nadira turut mengulurkan tangan. "Deal." Jawabnya tegas dan menjabat tangan pria itu. Namun setelah beberapa saat, pria itu tidak juga melepas tangannya. "Erhan. Lepaskan." Ucapnya dengan lantang. Namun bukannya melepaskan tangan Nadira. Erhan malah menarik tangan itu sehingga tubuh gadis itu menempel pada tubuhnya. “Apa kau sadar, ini untuk pertama kalinya kau menyebut namaku.” Ucap pria itu tepat di telinga Nadira. Nadira terbelalak, napasnya berubah memburu ketika merasakan hangatnya napas pria itu menyentuh kulitnya. Dan tubuhnya tiba-tiba merasakan panas yang bertumpu di satu titik di bawah perutnya. “Le-lepaskan.” Nadira mendorong d**a pria itu seraya melangkah mundur. Erhan membiarkannya begitu saja tanpa melepaskan genggaman tangannya. "Tenang, Sayang. Aku bahkan belum mengesahkan perjanjian ini." Ucapnya dengan santai dan kembali menarik tangan Nadira, lebih kuat dari pada sebelumnya sehingga Nadira kembali menabrak tubuh pria itu. nadira dibuat semakin terkejut karena kali ini pria itu berhasil meraih kepalanya dan mengecup bibr Nadira singkat. "Stempel ala orang dewasa." Jawabnya dengan santai sebelum melepaskan Nadira. Nadira yang masih terkejut kini membelalakkan matanya memandang Erhan. "Kau..." desisnya marah. "Kau masih ingin jawabannya kan?" Erhan kembali bertanya, masih dengan senyum di wajahnya. Nadira kalah, ia menelan ludah kemudian mengangguk. "Masuklah, aku akan memberikan jawabanmu." Lanjut pria itu lagi seraya menahan pintu supaya Nadira bisa masuk. Namun Nadira mematung. Ia memandang Erhan seraya menggelengkan kepala. Erhan terkekeh. "Ayolah, tetangga. Aku tidak akan memakanmu." Ucap Erhan seraya engedikkan kepalanya meminta gadis itu masuk ke dalam unitnya. Nadira masih memandangnya dalam diam. Ia tidak bisa berpikir. Ia tahu ia bisa saja mundur saat ini. Tapi jika ia melakukan itu, ia tidak akan mendapat jawaban apapun dari Erhan. Nadira menarik napas panjang dan akhirnya melangkah masuk ke dalam unit apartemen pria itu. Di belakangnya ia bisa merasakan Erhan menutup pintu. Nadira berjalan dengan cepat menuju ke tengah ruangan. Memberi jarak antara dirinya dan pria itu supaya pria itu—ataupun dirinya—tidak lagi melakukan hal-hal yang macam-macam. Erhan berjalan menjauh meninggalkan Nadira sendirian dan masuk ke salah satu pintu tertutup yang ada disana. Sementara di saat bersamaan, Nadira memperhatikan ruangan. Apartemen yang ditinggali pria itu tidak lebih besar seperti miliknya. Bahkan desainnya juga tidak jauh berbeda. Ruangan itu memiliki dua buah kamar dengan satu kamar mandi di luar dan pastinya, sama seperti di unitnya, satu kamar memiliki kamar mandi di dalam. Pantrynya sama dengan milik Nadira, dan bahkan tampaknya memiliki perabotan yang lebih lengkap daripada miliknya. Dan ruang tengah sekaligus ruang tamunya juga sama luasnya, meskipun milik Erhan tampak lebih luas karena hanya ada satu sofa panjang disana. Tanpa ada meja kaca di depan sofa seperti di unitnya. Belum selesai meneliti ruangan, Erhan yang sebelumnya masuk ke dalam salah satu pintu kini sudah kembali. Tangan yang tadi memegang gelas kini sudah berganti dengan sebuah benda pipih. Anehnya, pria itu sama sekali tidak repot-repot mengenakan pakaian. 'Ya ampun. Apa pria itu tidak risih sama sekali? Mentang-mentang punya tubuh yang bagus terus dia ingin memamerkannya begitu saja?'. Lagi-lagi Nadira bermonolog dalam hati. Erhan duduk di satu-satunya sofa di ruangan itu. menawari Nadira untuk duduk, namun Nadira menolaknya dengan menggelengkan kepala. Tidak, berada dekat dengan Erhan tidak baik untuk kesehatan mentalnya. Pria itu mengedikkan bahu. Menyalakan ponsel dan mengetikkan sesuatu di layar sebelum meletakannya di atas meja dengan mode loudspeaker yang terdengar keras di telinga Nadira. Deringan ketiga, panggilannya tersambung, dan sebuah suara yang Nadira kenal menjawab dari seberang sana. "Na, kamu dimana?" Erhan mengangkat satu telunjuknya ke arah Nadira, sebagai tanda satu pertanyaan sudah diajukan. Terdengar kekehan Gisna di seberang sana. "Kamu bercanda?” Tanya Gisna. “Kan kamu tahu kalo aku ada di Bandung." Erhan tersenyum ke arah Nadira dan mengedipkan sebelah mata. "Gimana keadaan kamu sekarang?" Erhan mengangkat jari tengahnya. Dua pertanyaan. "Baik, Alhamdulillah. Kamu?" "Selalu baik dong." Erhan lagi-lagi menyeringai jahil. "Gimana kabar keponakan aku di kandungan kamu?" Erhan mengangkat jari manis nya. Tiga pertanyaan. "Bayinya juga baik. Alhamdulillah." "Alhamdulillah. Ya udah, aku Cuma mau nanya itu aja. Jaga bayinya baik-baik ya. Kamu juga jaga kesehatan." "Iya, kamu juga." Jawab Gisna dengan suaranya yang lemah lembut seperti biasa. Erhan menutup teleponnya dan kembali memandang Nadira. Ia mengangkat jari kelingkingnya. "Dan untuk pertanyaan keempat.” Ucapnya dengan nada manis. “Apakah kami menyembunyikannya? Tentu saja Iya. Kau baru saja mengklarifikasinya." Jawab Erhan santai. Ia bangkit berdiri dan kembali mendekati Nadira. "Jadi, apa ada pertanyaan kelima dan selanjutnya?" tantangnya. Matanya tertuju langsung pada mata Nadira. Nadira kembali dibuat gugup dan kembali menelan ludahnya. Terlebih ia melihat ada sesuatu dalam tatapan Erhan saat pria itu berjalan semakin mendekat. "Ti-tidak ada." Jawab Nadira gugup. Ingin sekali ia memukul mulutnya sendiri. Kenapa ia harus tergagap di saat seperti ini. "Baiklah.” Jawab Erhan seraya mengedikkan bahu. “Kalau begitu, permintaan pertama." Pria itu semakin mendekat ke arah Nadira. Berdiri menjulang di hadapannya. Membuat Nadira mau tak mau mendongak ke arahnya. Secara tiba-tiba pria itu meraih pinggang Nadira dengan tangan kirinya, dan menariknya mendekat sehingga bagian bawah tubuh mereka beradu. "A-apa yang kau lakukan?" Nadira memandang Erhan panik. Lengannya menahan d**a Erhan sehingga tubuh bagian atas mereka tak perlu menyatu. Erhan mendekatkan kepalanya dan berbisik di telinga Nadira. "Permintaan pertama," ucapnya dengan begitu lirih. Napasnya menyentuh sisi telinga Nadira, membuatnya kembali merasa geli dan merasakan sensasi lain di saat bersamaan seperti yang ia rasakan beberapa saat lalu. “aku akan menciummu kapanpun aku mau dan dimanapun.” Suara pria itu terasa begitu dekat dengan telinga Nadira, seolah antara bibirnya dan telinga Nadira sama sekali tidak ada jarak Nadira terbelalak. Berusaha mendorong pria itu supaya menjauh. Namun belum sempat ia mengutarakan keberatannya, Erhan sudah memerangkap mulutnya. 'Tidak!' Nadira berusaha menghindar dan menggelengkan kepala. Namun tangan bebas pria itu malah meraih wajahnya dan menahan kepalanya untuk tidak bergerak. Awalnya, pria itu mengecupnya lembut. Sebelum kemudian dengan perlahan membelai bibir Nadira dengn ahli. Bibir Erhan yang terasa manis terus bergantian mengulum bibir atas dan bawahnya. 'Tidak,’ Tolak Nadira dalam kepalanya. ‘Ini ciuman pertamaku'. Tolaknya. Nadira ingin bersuara, namun saat ia membuka mulut, pria itu malah memasukkan lidahnya ke mulut Nadira dan menyentuhkannya dengan lidah Nadira sendiri. Nadira terbelelak, terkejut, tapi kemudian seketika merasa lemas. Kakinya seolah berubah menjadi agar-agar. Tangannya yang berada di d**a pria itu terasa tersengat listrik. Erhan memainkan lidahnya di dalam mulut Nadira dengan lihai. Rasa manis yang ia tahu merupakan rasa kopi kini langsung terasa oleh lidah Nadira. Nadira menutup mata, dan menyerah. Membiarkan Erhan melakukan apapun yang ia tahu sudah ahli ia lakukan. Ia bahkan tidak tahu siapa yang mengerang saat itu, yang ia tahu, ia merasa lemas dan apa yang dilakukan pria itu padanya membuatnya menginginkan lebih. Entah sejak kapan, namun kini tangan tangan Nadira melingkari leher pria itu. menyusupkan jemarinya ke dalam sela rambut Erhan yang hitam dan tebal. Meremasnya dan bahkan menarik kepala pria itu semakin mendekat. Nadira juga tidak tahu sejak kapan punggungnya menempel di dinding pantry. Karena yang bisa ia rasakan saat ini, sebelah kakinya terangkat melingkari pinggang pria itu. bagian bawah tubuhnya bisa merasakan sebuah benda keras yang menekan perutnya. Dan bahkan tangan kanan pria itu kini mengusap paha Nadira yang hanya mengenakan hotpans. Namun kemudian, saat Nadira merasaka seluruh tubuhnya memanas, Erhan malah melepas ciumannya dan membuat Nadira merasa kehilangan. Nadira menatap Erhan dengan pandangannya yang sudah berkabut, Erhan pun memandangnya dengan cara yang sama. Napas mereka berdua pun sama-sama terengah. Dan Nadira merasa denyutan jantungnya terasa begitu kencang sampai menyakiti telinganya. Erhan meletakkan keningnya di kening Nadira tanpa melepaskan tangannya dari pinggang dan paha Nadria. Nadira pun hanya bisa memejamkan mata. Lalu perlahan, ia bisa merasakan bibir Erhan menyusuri pelipisnya, mengecup pipinya dan sekejap mengecup sudut bibirnya sebelum bergeser menciumi rahangnya dan turun menuju lehernya. Nadira memiringkan kepala ke satu sisi, membiarkan Erhan leluasa menyentuh permukaan lehernya dan menghirup wangi tubuhnya. Kepala pria itu bergerak naik turun, rambut-rambut wajahnya membuat Nadira merasa geli namun juga b*******h di saat bersamaan. Bahkan sesuatu yang hangat terasa basah di bawah sana. Erhan menggigit kecil daun telinganya dan Nadira benar-benar dibuat terlena. Dan bibir pria itu kembali terarah ke bibirnya, hingga mereka kembali bertarung mulut dan lidah untuk waktu yang cukup lama. Bermenit-menit setelahnya, Nadira memukul-mukul tempat tidurnya. Kepalanya tersembunyi di balik bantal. Ia berteriak kencang meskipun teriakannya ia redam di balik bantal. Demi Tuhan, Nadira tidak tahu apa yang sudah merasukinya tadi. Kenapa dia mau-mau saja dicium oleh Erhan. Dan bukan hanya sekali, tapi tiga kali. Meskipun yang pertama hanyalah sebuah kecupan singkat. Dan ciuman kedua di awali dengan penolakan. Tapi ciuman ketiga? Ya ampuuuunnn... Nadira lagi-lagi berteriak. Ciuman ketiga ia tidak bisa mengatakan bahwa ia tidak menikmatinya. Iya malah membalas ciuman pria itu meskipun tidak selihai pria itu. Dan Erhan, entah darimana pria itu belajar mencium sedahsyat itu. Nadira bahkan bertekuk lutut karena sapuan bibir dan lidahnya. Dan apa tadi yang dikatakan pria itu? "Sudah kubilang kita kan sama-sama menikmatinya." Ucap pria itu dengan bisikan pelan di telinganya. Hanya dengan bisikan seperti itu pun, Nadira benar-benar tergoda. Bagaimana bisa dia bertatap muka dengan pria itu besok? Dan ia masih memiliki tiga permintaan yang harus ia bayar. "Aaarrrggghhhh..!!" Nadira mengerang dan lagi-lagi memukuli tempat tidurnya. _________________________ Mana komennya??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN