Part 8 - Bianca

1464 Kata
Nadira duduk terdiam dengan minuman dingin di hadapannya yang sudah sepenuhnya mengembun. Meta yang duduk di hadapannya turut memandangi sahabatnya yang sejak tadi hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya dengan keras. Sementara tatapan gadis itu berkelana entah kemana. “Loe oke?” tanya Meta pada akhirnya. Mau tak mau dia juga merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya yang satu ini. Apa Nadira kini kehilangan kewarasannya hanya karena tahu Gisna menghilang? Meskipun Meta sama khawatir. Tapi dia tahu kalau Gisna saat ini berada di tempat yang aman. Kenapa demikian, karena Ganjar juga mengatakan demikian. “Ra!” Meta akhirnya memukul lengan Nadira karena gadis itu sama sekali tidak juga memberikan respon apapun padanya. “Loe kenapa sih?” tanyanya kesal. Nadira yang salah tingkah akhirnya memandang Meta dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Sorry, gue ngelamun.” Ucapnya. Meta mengangguk. “Gue tahu loe lagi khawatirin si Gisna. Tapi kan gue udah bilang sama loe, loe jangan terlalu khawatir juga. Gue yakin dia saat ini baik-baik aja. Malah gue curiga si Gisna itu emang sengaja disembunyiin sama Sir Adskhan.” Nadira memandang Meta dengan sebelah alis terangkat. “Kenapa loe bisa ngarah kesana?” tanyanya penasaran. “Karena dulu, waktu ‘temen loe’ mau jelek-jelekin si Gisna di kantor. Sir Adskhan yang jadi topeng tuxedo nya.” Jawab Meta dengan mata berbinar, membayangkan kembali bagaimana manisnya perlakuan bos besarnya itu pada sahabatnya. “Beruntung banget gak sih si Gisna bisa dapet keluarga yang baik kayak Sir Adskhan sama keluarganya itu?” Nadira terkekeh. “A’maaluna A’maalukum.” Jawabnya dengan nada mengejek. “Karena selama ini Gisna orang baik-baik, makanya dia dapet hadiah dari Allah juga orang yang baik. Gak kayak loe, dapetnya si Ganjar.” Lanjutnya. Meta mencebik. “Sialan loe.” Ucapnya kesal. “Tapi masih mendingan gue kemana-mana. Seenggaknya, gue punya Ganjar. Nah loe?” ia balik mengejek. Nadira mengumpat pelan. “Tapi ngomong-ngomong masalah laki loe. Loe inget sama cowok yang ada di rumah sakit waktu gue baru balik dari Bali?” tanya Nadira, pura-pura ia tak mengenal Erhan. “Sir Erhan maksud loe? Kenapa? loe tertarik sama dia?” tanya Meta ingin tahu. Nadira mengibaskan tangannya di depan wajah Meta. “Gile aja gue suka sama dia. Bukan itu, keles. Gue Cuma penasaran.” Ucapnya lagi. “Penasaran itu benih-benih cinta loh, Ra.” Meta mengingatkan. “Berisik loe.” Jawab Nadira lagi. “Iya, iya. Gue silent.” Jawab Meta seraya menutup mulutnya. “Gue mau tahu, emang dia gak sekaya laki si Gisna atau si Ana?” tanyanya ingin tahu. Meta memandang Nadira dengan mata membulat lebar. “Loe udah berubah jadi cewek matre sekarang, Ra? Sejak kapan?” tanyanya tak percaya. “Meta, gembel! Gue nanya bener-bener ini.” Ucap Nadira lagi. Meta terkekeh. Dia memilih untuk menyeruput minumannya dengan perlahan sebelum menjawab. “Yang gue tahu, dia itu ada disini atas permintaannya Sir Lucas. Dia baru dateng ke Indonesia sebelum si Gisna merit.” Jawab Meta pada akhirnya. “Waktu itu, Sir Lucas mau buka perusahaannya sendiri. Trus Sir Adskhan waktu itu lagi sibuk ngejar si Ana di Bandung. Jadi karena takut ada sesuatu sama perusahaan, diajaklah Sir Erhan ke Indonesia. Menurut Ganjar. Sir Erhan sendiri katanya anak orang kaya. Kalo gak salah keluarganya dia itu yang punya restoran Turki ternama.” Meta menyebutkan salah satu nama restoran Turki yang terkenal. “Tapi sampai beberapa waktu yang lalu, dia diminta kerja di Coskun sambil ngurusin perusahaan bokapnya juga. Gila gak sih keluarga Levent itu? Bisa segitu kaya nya dalam dua generasi. Mana penerusnya pada ganteng-ganteng lagi. Kalo aja gue ketemu sama Sir Erhan sebelum ketemu Ganjar. Udah gue gebet tuh cowok.” Nadira menggelengkan kepalanya dan memandang Meta dengan tatapan jijik. “Loe dulu juga bilang gitu sama lakinya si Gisna. Sayang aja loe keduluan sama si Gisna.” Kekeh Nadira. Meta yang mendengar ejekan itu memandang Nadira sambil mencibir. “Nah, sekarang kenapa loe nanyain Sir Erhan. Loe mau jadi mantu keluarga Levent juga?” tuduhnya. Nadira malah terkekeh. “Loe lupa siapa gue dan prinsip gue?” Nadira memandang sahabatnya dengan mata menyipit tajam. Meta balas memandang sahabatnya dengan tajam. Jelas dia tahu apa yang dikatakan Nadira. Sahabat yang kini duduk di hadapannya ini adalah sosok yang tak suka akan sebuah kisah drama romantis. Meskipun anehnya dia itu penggemar film, drama dan novel romantis. Tapi dalam kehidupan nyatanya, dia tidak suka pada hal seperti itu. Bahkan saat seorang pria bersikap manis, sahabatnya itu malah balik memandangnya dengan jijik. “Tapi kehendak seseorang bisa berubah seiring berjalannya waktu, Ra. Saat ini, loe masih kekeuh dengan semua penolakan loe pada pernikahan karena memang sampai detik ini belum ada satu cowok pun yang bisa goyahin hati loe. Tapi saat orang itu datang nanti. Gue yakin, pikiran loe juga bakal berubah. Gak ada orang yang bisa hidup sendirian selamanya, Ra.” Ucap Meta dengan lembut. “Ada. Itu gue!” jawab Nadira lagi Meta hanya bisa menggelengkan kepala dengan sikap keras kepala sahabatnya itu. Sementara Nadira memilih mengabaikan ucapan sahabatnya. Dalam kepalanya kini dipenuhi pertanyaan tentang Erhan. Jika benar yang Meta katakan. Jika benar kalau Erhan itu tak kalah kaya nya seperti kedua sepupunya. Lantas kenapa Erhan bisa tinggal di apartemen murahan seperti yang ia tinggali saat ini? Sudahlah, Nadira tak ingin banyak berpikir. Makan siang itu akhirnya dia sudahi. Di luar café yang letaknya tak jauh dari Coskun itu akhirnya Meta dan Nadira berpisah. Meta kembali ke tempat kerjanya sementara Nadira pergi ke kantor Agency nya. Fera bin Feri sang manager rupanya sudah ada disana saat ia tiba. Hari ini mereka memang akan membahas mengenai beberapa kontrak iklan yang akan Nadira ikuti. “Perjalanan lagi keluar kota, heh?” Nadira melihat kontrak yang ada di tangannya. “Ayolah, loe tuh lagi mekar-mekarnya sekarang. Ambil aja. Peluang jangan dibuang.” Bujuk Fera bin Feri. Tentu saja Nadira tidak akan menolaknya. Dia harus banyak-banyak mengumpulkan saldo dalam rekeningnya sebelum akhirnya nanti berhenti dan memilih untuk mengejar mimpinya. Jadi ia tidak akan mengeluh harus pergi ke manapun. Luar kota ataupun luar negeri. Tapi saat ini, ia merasa sedikit enggan untuk bepergian jauh dan lama. Entahlah, sejak kejadian terakhir yang menimpa Gisna, ia merasa akan ada sesuatu yang buruk di depan sana nanti. Meskipun sebenarnya dia bukan orang yang pesimis. Tapi kali ini, firasat buruknya itu terasa semakin kuat. “Kamu juga dapet tawaran itu, Ra?” Nadira mendongak dan melihat Bianca. Salah satu rekanan satu agency nya yang juga merupakan tetanggannya di apartemen. “Hu’uh. Kamu?” “Aku juga. Udah sign malah. Trus kenapa di lamunin?” tanya Bianca ingin tahu. “Fee nya lumayan donk. Akomodasinya juga oke.” Lanjut gadis itu lagi. Nadira kembali memandang kontrak di tangannya dengan jemari yang bermain dengan bolpoinnya. “Udah, Ra. Take it.” Bisik Fera bin Feri di telinganya. Nadira akhirnya menyetujui bujukan kedua orang itu dan membubuhkan tanda tangannya disana. Dengan antusias Fera bin Feri menerima map itu. memeluk Nadira dan mencium puncak kepalanya keras sebelum bangkit dari duduknya dan Nadira tahu akan pergi ke tempat direktur mereka. Sementara di ruangan itu, Bianca masih memandanginya. “Kamar di depan unit kamu katanya sudah diisi ya, Ra?” tanyanya ingin tahu. Nadira menganggukkan kepalanya. “Kamu juga dapet bingkisan makanan dari dia?” tanyanya lagi. Lagi-lagi Nadira mengangguk. “Orangnya cakep banget ya.” Ujar Bianca, wajahnya tampak berbinar saat Nadira melihatnya. “Entahlah, bukan selera aku.” Jawab Nadira datar. Bianca menoleh memandang Nadira. “Yakin?” tanyanya penasaran. Nadira mengedikkan bahu. “Tapi kamu kenal sama dia? Aku lihat kamu ada di depan pintunya kemarin malem.” Ujar Bianca lagi. Dan ucapan gadis itu membuat Nadira kembali membayangkan apa yang terjadi semalam. Tubuhnya tiba-tiba kembali terasa panas. “Aku kenal, Cuma kenal.” Jawabnya cepat. “Dia kebetulan sepupu dari suami sahabat aku.” Jawabnya lagi. Bianca mengangguk mengerti. “Lain kali, kalo semisal aku ada di apartemen, kamu kenalin aku sama dia ya.” Pintanya dengan wajah memelas. Nadira mengerutkan dahinya memandang Bianca. Bianca itu, entahlah. Menurutnya sedikit aneh. Satu saat dia bisa menjadi gadis polos dan pemalu. Tapi diaat yang bersamaan, dia juga bisa menjadi gadis yang agresif dengan caranya sendiri. sebenarnya, terkadang Nadira merasa agak takut padanya. Entahlah, melihat wajah cantiknya dan matanya yang lembut sebenarnya sekilas tak ada yang harus Nadira takuti. Tapi hatinya tetap saja merasa demikian, dan Nadira tak tahu kenapa. Apa mungkin, karena Jovita dia jadi berprasangka buruk pada setiap orang yang berniat dekat dengannya? Ya. Awalnya Jovita juga bersikap baik padanya. Mendekatinya dan bahkan Nadira yang memujanya sebagai seorang fans tidak menaruh curiga sama sekali padanya dan bahkan dengan bangganya memperkenalkan wanita itu pada sahabatnya. Tapi ternyata, dibalik niatannya untuk mendekati Nadira, wanita itu diam-diam merencanakan sesuatu yang berakhir dengan menyakiti sahabat baiknya. Dan apakah Bianca juga seperti itu. Nadira mengerutkan dahi. Tapi kalaupun demikian, siapa target Bianca? Satu-satunya teman baiknya yang masih lajang saat ini hanyalah Meta. Mungkinka dia memiliki semacam dendam pribadi pada Meta? Nadira terkekeh. Memangnya apa yang akan dikejar Bianca dari Ganjar? Nadira kembali melirik gadis yang duduk tak jauh darinya itu. “Tentu.” Jawabnya menyanggupi. “Kalau memang secara kebetulan aku, kamu sama dia ada di lokasi yang sama, nanti aku kenalin.” Janjinya. Dan Bianca tampak memandangnya dengan tatapan penuh rasa terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN