Something in My Heart

2934 Kata
2. Something in My Heart   Firda melirik jarum jam. Sudah jam sembilan pagi. Hari ini dia berencana untuk periksa kandungan ke salah satu Rumah Sakit. Uang untuk periksa dan makan masih ada, tapi dia butuh untuk cepat-cepat dapat pekerjaan agar tidak selalu bergantung pada Rayga. Laki-laki itu sudah terlalu baik padanya. Dia mau mengurus sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Ia bergegas berjalan keluar kontrakan, mengunci pintu, dan memasukkan kunci ke saku bajunya. Firda masih mengenakan celana karena perutnya masih kecil, hanya saja dia sudah meninggalkan celana Jeansnya dan beralih celana kain yang dikenakan di bawah perut serta belajar mengenakan rok panjang. Tasya dan Nara berbaik hati membelikan beberapa baju yang longgar untuk ibu hamil. Hanya saja dia belum siap mengenakan baju terusan seperti gamis atau daster. Dia baru akan mengenakannya jika perutnya semakin besar. Sebelum berangkat ke rumah sakit, dia mampir ke sebuah toko yang menjual aneka kebutuhan. Dia membeli dua bungkus roti untuk berjaga-jaga saat nanti mengantri periksa, barangkali ia lapar. Secara tak sengaja, dia menjatuhkan dompetnya saat membayar roti tersebut. Firda memesan ojek online. Sejak banyak ojek online beroperasi, angkot di kota itu seolah hilang pamornya karena banyak warga lebih memilih menggunakan jasa ojek online yang lebih cepat, praktis, dengan ongkos yang terjangkau. Saat turun dari motor, Firda merogoh saku celananya untuk mengambil dompet. Ada keterkejutan terbaca dari wajahnya kala tangannya tak menemukan apapun. Ia membuka tas selempang yang menggantung di pundaknya. Dia semakin panik kala dompet itu tak jua ia temukan. “Aduh, Mas, dompet saya kayaknya jatuh.” Mimik wajah Firda sudah terlihat cemas. “Mungkin ketinggalan, Mbak. Lupa nggak bawa dompet,” ucap driver yang tampak masih muda. Banyak juga mahasiswa yang memilih menjadi driver ojek online untuk side job. “Kayaknya sih nggak ketinggalan. Tadi saya sempat beli roti. Kayaknya tadi jatuh.” Firda begitu gelisah. Semua uang ia simpan di dompet. Kalau begini, dia tak bisa membayar ongkos ojek juga tak bisa periksa kandungan. “Aduh, maaf, ya Mas. Gini aja, saya menghubungi teman saya untuk ke sini, minjemin saya uang untuk bayar ongkos ojek.” Sang driver bukan tipikal orang yang tegaan, terlebih lagi ekspresi wajah Firda terlihat ingin menangis dengan sudut mata yang sudah berkaca. “Udah nggak apa-apa, Mbak. Nggak usah dibayar.” Driver tersebut tersenyum ramah  “Tapi Mas..” “Beneran saya ikhlas, Mbak.” Driver tersebut tersenyum sekali lagi. “Makasih, Mas. Saya jadi merepotkan.” Firda merasa tak enak sendiri. “Nggak merepotkan kok, Mbak. Saya seneng bisa bantu orang. Saya permisi dulu ya, Mbak.” Firda menyerahkan helm pada driver baik hati itu. “Makasih banyak, ya Mas.” Firda menganggukkan kepala. “Sama-sama Mbak. Permisi.” Motor itu melaju dan membuat Firda terpaku memikirkan betapa baiknya orang-orang asing yang terasa seperti keluarga. Selalu terbersit rasa haru kala mengingat kebaikan orang-orang yang tak ia kenal. Terlintas di benaknya untuk menghubungi Nara atau Tasya dan meminta bantuan untuk meminjaminya uang sekaligus menemaninya periksa. Ini pertama kali untuknya periksa di RSUD. Dan jika dihitung, dia sudah dua kali periksa. Pertama periksa, Rayga yang mengantarnya. Ia memeriksakan kandungan di salah satu dokter kandungan yang banyak direkomendasikan di grup ibu hamil. Dokter kandungan perempuan tersebut menjelaskan hasil pemeriksaan dengan rinci dan biaya periksanya cukup mahal. Waktu itu antriannya cukup panjang, tapi Rayga tak keberatan menemaninya hingga selesai. Periksa kedua ini ia memilih periksa di RSUD untuk menghemat biaya. Karena saat membaca obrolan di grup ibu hamil, mereka mengatakan biaya periksa di RSUD lebih hemat dengan sederet nama dokter yang juga bagus. Kini ia bingung, dompetnya tak ada. Untuk pulang ke kontrakan pun dia tak punya ongkos transport. Satu yang ia syukuri, ia menaruh KTP dan handphone di tasnya, jadi yang hilang bersama dompetnya hanya uangnya saja. Tak ada cara lain. Firda mengirim pesan w******p untuk Nara. Nara kamu lagi ada kuliah, nggak? Aku mau periksa kandungan, dompetku jatuh kayaknya. Boleh nggak aku pinjem uangmu? Aku juga nggak punya ongkos buat pulang ke kontrakan. Aku lagi di depan rumah sakit. Sesaat kemudian Nara mengirim balasan. Kamu di depan rumah sakit mana? Tunggu sebentar ya, aku ke sana sebentar lagi. Firda tersenyum lega membaca balasan dari Nara. Ia tahu, Nara selalu siap membantunya kapanpun. Ia bersyukur memiliki sahabat sebaik Nara yang selalu tulus membantunya tanpa pamrih. ****** Sekitar dua puluh menit kemudian, Nara menghentikan motornya di depan Firda yang tengah mematung di pinggir jalan. “Maaf ya, Fir, lama. Ayo naik, kita masuk ke area parkir.” Nara mengulas senyum. Sebelum melaju ke rumah sakit, Nara mengambil uang dulu di ATM untuk membantu biaya periksa kehamilan Firda sekaligus memberi uang pegangan untuknya. Ia tak sampai hati mendengar musibah yang baru saja dialami Firda, dompetnya hilang. Sebelumnya ia menolak tawaran papanya yang akan mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya, barangkali putrinya menginginkan sesuatu asal bukan untuk clubbing dan hal negatif lainnya. Akhirnya Nara menghubungi papanya dan bersedia menerima uang transfer darinya, demi membantu Firda. Dia tak enak hati meminta uang pada Argan. “Nggak apa-apa, Nara. Kamu udah mau datang aja aku udah seneng banget.” Firda tersenyum dan duduk di belakang Nara. Nara melajukan motornya memasuki area parkir. Setelah memarkirkan motornya, Firda dan Nara berjalan beriringan masuk ke dalam gedung rumah sakit. Firda menganga melihat banyak orang memadati ruang registrasi. Firda menumpuk KTPnya lalu duduk menunggu namanya dipanggil. Baru mendaftar saja sudah mengantri panjang. Selama menunggu, Firda memakan roti yang ia beli dari toko. Ia menawarkan satu roti lagi untuk Nara tapi Nara menolak. Jika sebelumnya Firda tak berselera makan, belakangan ini dia sering kali merasa lapar dan perutnya akan terasa tak enak atau seperti kosong jika tidak diisi makanan. Karena itu di kontrakan, ia selalu sedia buah dan biskuit untuk cemilan. Tiba juga nama Firda dipanggil. Ia diberi kartu berobat dan membayar sejumlah uang. Selanjutnya Nara dan Firda berjalan menyusuri sepanjang koridor menuju poliklinik kandungan. Banyak ibu hamil yang duduk mengantri di sana. Ada yang perutnya sudah besar, ada pula yang perutnya masih kecil sepertinya. Firda meminta maaf pada Nara karena telah merepotkan dan merasa telah menjebak Nara dalam antrian yang cukup panjang. “Gara-gara nemeni aku periksa, kamu jadi ikutan ngantri, Na.” Firda menatap Nara dengan gampang cute-nya yang merasa bersalah. “Santai aja, Fir. Aku nggak masalah kok. Toh aku udah bebas. Udah selesai kuliah. Aku ikhlas nemeni kamu.” Firda tersenyum, “Makasih banyak ya, Na. Kamu selalu ada dan nggak ninggalin aku di saat aku jatuh.” “Nggak perlu berterima kasih Fir. That's what friends are for. Kapanpun kamu butuh bantuan, kamu nggak usah sungkan untuk menghubungiku.” Nara menggenggam erat tangan Firda dan mengulas senyum. Firda mengangguk, “Kamu dan Tasya adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Fjrda bersyukur di saat kondisinya sedang terjerembab ke keadaan terburuk, masih ada orang-orang baik yang mengelilinginya. Setelah mengantri sekitar setengah jam, Firda akhirnya dipanggil juga. Di dalam ruangan, ada beberapa mahasiswa kedokteran yang tengah koas. Ia diperiksa tekanan darahnya oleh mahasiswa koas tersebut, diukur tinggi dan berat badannya sebelum akhirnya masuk kamar pemeriksaan untuk diperiksa oleh dokter. Dari hasil USG semua dinyatakan normal, dan jenis kelamin bayi belum terlihat. Selanjutnya dokter menuliskan resep untuknya. Langkah mereka tak sampai di sini. Mereka masih harus mengantri untuk menebus vitamin di apotek. Setelah mendapatkan vitamin, Firda bisa bernapas lega. Sebelum pulang ke kontrakan Nara mengajaknya makan di tempat makan favorit Firda, ayam penyet. Awalnya Firda menolak, tapi Nara memaksanya. Nara ingin menyenangkan Firda dengan mentraktirnya makanan kesukaan Firda. Firda pun tak bisa menolak. Hari ini menjadi hari yang menyenangkan untuknya karena bisa menghabiskan hari bersama sahabat terbaiknya. ****** “Fir, please terima ini. Ini untuk pegangan kamu.” Nara memberinya sejumlah uang. Firda terpekur, merenung, dan rasanya ia begitu malu terus-menerus menerima bantuan dari orang lain. “Ayolah, Fir. Aku ikhlas. Ini uang pribadiku. Setidaknya pikirkan bayimu. Aku ngerti banget kesulitanmu. Dompetmu hilang, kamu belum punya pekerjaan. Keluargamu sudah menbuangmu. Kalau bukan sahabatmu yang peduli siapa lagi?” Nara menyisipkan lembaran uang di telapak tangan Firda yang harus dipaksa Nara agar mau membuka. Setitik air mata berlinang dari sudut mata Firda. Lagi-lagi ia dibuat terharu akan ketulusan dan perhatian dari seseorang yang bahkan tak memiliki ikatan keluarga. Sahabat sejati itu seperti saudara bahkan bisa menjadi lebih dekat melebihi saudara. “Aku nggak tahu mesti ngomong apa lagi, Na. Allah begitu baik sama aku dengan mengirim orang-orang terbaik seperti kamu, Tasya, dan Rayga. Padahal aku udah berbuat dosa. Tapi Allah masih memberiku banyak nikmat yang harus aku syukuri.” Firda menyeka air matanya. “Allah itu Maha Pengampun. Kamu harus yakin akan hal itu. Dan tolong jangan merasa sungkan atau gimana sama aku. Kamu lebih dari sekedar sahabat buat aku Fir. Kamu sudah seperti saudara. Jangan larut dalam kesedihan ya. Bayimu butuh ibu yang bahagia. Kita akan menghadapi semua bersama. Jangan pernah merasa sendiri.” Tatapan Nara menyiratkan ketulusan yang begitu manis. Firda memeluk tubuh sahabatnya erat dengan tangis yang masih mencekat. “Terima kasih untuk semuanya, Na. Rasanya ribuan terima kasih juga belum cukup untuk aku berikan sama kamu.” Firda melepas pelukannya dan menatap Nara dengan senyum yang terulas di antara rinai hujan yang mengalir dari matanya. “Aku nggak pernah menyangka ada di titik ini, Na. Aku kadang bertanya-tanya, apa ayah bunda dan kakak-kakakku kehilanganku? Apa mereka merindukanku? Kenapa mereka sama sekali nggak menghubungiku? Sedari kecil aku mendapat kasih sayang yang begitu besar dari mereka. Karena satu kesalahan besar ini, aku kehilangan segalanya. Dan rasanya begitu sakit ketika laki-laki yang aku harap menjadi masa depanku, menjadi seseorang yang bisa dijadikan sandaran dan bersama melewati suka duka, justru mencampakkanku. Ini mungkin hukuman yang tepat untukku, Na. Dan lebih pedih lagi ketika aku membayangkan dosaku yang sedemikian besar.” Air mata terus-menerus bercucuran. Di belahan bumi yang lain mungkin banyak wanita hamil yang berbahagia dengan kehamilannya karena sudah lama menantikan atau karena memang mereka dan suami masing-masing mengharapkan kehamilan. Sedang di sini, ada perempuan hamil tanpa suami yang begitu bersedih karena sang laki-laki menyia-nyiakannya dan ia harus menanggung segala konsekuensi karena telah berani berbuat dosa, menyimpang dari agama. Nara menghapus air mata yang meleleh, membasahi pipi sahabatnya. Tak terasa, setitik bulir sebening kristal jatuh membasahi pipi Nara. “Kelak jika anak ini terlahir perempuan, aku akan mendidik dan menasihatinya untuk pintar menjaga diri. Dia harus kuat memegang prinsip dan taat pada aturan agama, jangan sampai mengikuti jejak ibunya. Banyak perempuan sekarang yang menggampangkan urusan zina, begitu mudahnya menyerahkan kehormatan mereka pada laki-laki yang tidak berhak. Bahkan banyak juga yang dengan mudahnya berganti-ganti pasangan seolah harga diri mereka bisa diobral. Banyak yang tak lagi takut dosa seakan mereka akan hidup selamanya. Dan aku pernah menjadi seseorang yang begitu bodoh menyerahkan kehormatanku pada laki-laki b******k yang hanya mencari keuntungan dariku. Aku sangat menyesal, Na.” Air mata itu masih terus berjatuhan. Nara terdiam, membiarkan sahabatnya meluapkan segala yang berkecamuk di d**a. “Dan jika anakku laki-laki, aku akan mewanti-wantinya untuk tidak merusak perempuan dengan merenggut kehormatannya di luar pernikahan. Aku akan mengingatkannya untuk tidak bermudah-mudah pacaran,  menyentuh lain jenis. Aku akan belajar menjadi ibu yang baik agar kelak bisa mendidik anakku di jalan yang benar. Aku nggak mau kesalahanku terulang dilakukan oleh keturunanku.” Firda mengelap derasnya ari mata yang sudah membanjir. Nara memeluk sahabatnya dengan isak tangis yang sesenggukan, “Sudah, Fir... Sudah... Jangan lagi larut dalam kesedihan dan tangis karena kesalahan di masa lalu. Yang terpenting untuk saat ini adalah kamu bangkit dan perbaiki kesalahanmu. Kita akan belajar bersama untuk menjadi orang yang lebih baik, Fir.” Firda menyunggingkan senyum di sela tangis yang terus mengalir. “Aku pasti akan bangkit, Na. Aku akan bangkit. Aku akan mencari pekerjaan lagi dan suatu saat aku akan mengganti apa yang sudah kamu berikan.” “Szzzttt... Kamu nggak perlu menggantinya, Fir. Saat ini kamu fokus saja dengan kehamilanmu. Soal pekerjaan, untuk sementara kamu bisa membantu Della. Dia punya online shop yang punya banyak pelanggan. Dia butuh tenaga admin. Aku akan bilang padanya.” Sorot mata Nara terlihat berbinar. Firda tersenyum lebar, “Beneran, Na? Nanti aku akan menghubungi Della. Mudah-mudahan Della mau kasih aku kesempatan.” “Dia pasti mau ngasih kamu kesempatan.” Nara mengangguk dan melirik jarum jam di jam tangannya. “Aku pulang dulu, ya, Fir. Aku mau jemput Sakha di rumah neneknya.” Firda mengangguk, “Iya, Na. Makasih banyak ya untuk hari ini.” “Santai aja, Fir. Aku seneng bisa hang out bareng kamu.” Nara beranjak dan pamitan pada Firda. Firda tersenyum menatap langkah Nara yang kian jauh. Sahabat sejati itu adalah anugerah yang luar biasa dari Allah. Dia tak akan membiarkanmu lalui masa-masa sulit sendiri dan dia akan berusaha menjagamu serta memastikan bahwa kamu baik-baik saja. ****** Rayga melirik kakaknya yang tengah menonton pertandingan sepakbola di televisi. Ia duduk di sebelah kakaknya dengan satu celah yang membentang di antara mereka. “Mas...” Bayu menoleh adiknya dengan sedikit malas, “Hmm...” Bayu hanya berdehem. “Barusan aku baca status Firda di WA-nya. Dia sedang ingin makan lumpia bom. Cobalah sedikit peduli padanya dengan membelikan lumpia bom untuknya.” Bayu menatap Rayga dengan tatapan tak suka. “Aku sudah bilang, aku nggak mau kasih dia harapan, Ray. Aku nggak mencintainya dan aku akan bertanggung jawab setelah anak itu lahir dan terbukti kalau dia adalah anakku.” Bayu bicara lantang. Rayga menggeleng pelan. “Aku yakin sekali bahwa bayi dalam rahim Firda adalah anak Mas Bayu. Firda bukan tipe perempuan yang begitu mudah menyerahkan diri ke banyak laki-laki. Ia hanya pernah berhubungan dengan Mas Bayu. Pada dasarnya dia perempuan baik, Mas. Apa nggak ada sedikitpun simpatik di hati Mas Bayu untuk Firda? Dia diusir oleh keluarganya sendiri, Mas. Mas tega ngebiarin Firda terlunta-lunta sendiri?” Rayga meninggikan volume suaranya. “Aku udah nitipin uang ke kamu buat dia, kan?” Bayu menajamkan penglihatannya. “Dia nggak hanya butuh uang, Mas. Dia butuh kasih sayang, perhatian, dan tanggung jawab!” Rayga menegaskan ucapannya. “Aku tidak mencintainya Ray. Aku nggak bisa memaksakan perasaanku padanya!” Bayu beranjak dan berjalan menuju kamar. Cintanya masih utuh ia berikan hanya untuk Mareta, mantan kekasih yang meninggal bunuh diri. Sedari awal berpacaran dengan Firda, ia hanya bertujuan untuk bersenang-senang saja. Rayga beristighfar. Entah sampai kapan, mata hati Bayu akan terbuka. Terpikir olehnya untuk membelikan lumpia bom untuk Firda. Rayga bertanya dalam hati, apa ini yang namanya ngidam? Malam semakin merangkak dan mega semakin kelam. Rayga pikir, jam delapan malam belum terlalu malam untuk membelikan Firda lumpia bom dan mengantarkannya ke kontrakan Firda. Bisa saja dia memesan layanan antar makanan pada ojek online. Namun, entah kenapa Rayga ingin mengantar sendiri. Ia berganti baju sebelum melajukan motornya ke rumah makan yang menjual lumpia bom. Rayga memilih mengendarai motor dengan alasan kepraktisan. Sepanjang jalan, Rayga terbayang wajah Firda yang tengah menangis dan tersenyum. Entah mengapa, Rayga merasa begitu bahagia setiap kali melihat segaris senyum melengkung di bibir Firda dan ia bisa begitu terluka kala mendengar senggukan tangisnya. Rayga tak tahu perasaan seperti apa yang ia rasakan pada gadis itu, sebatas simpati atau sudah lebih dari itu? Rayga tak berani menyimpulkan. Yang ia tahu, ia ingin menjaga Firda dan memastikan bahwa gadis itu dalam keadaan baik. Rayga membelikan dua lumpia bom untuk Firda. Lumpia berukuran jumbo itu pasti cukup mengenyangkan untuk Firda. Jadi dua lumpia ia rasa sudah cukup. Sebelum mengetuk pintu kontrakan, Rayga mengirim pesan w******p untuk perempuan yang tengah mengandung anak kakaknya tersebut agar tak kaget. Firda cukup tersentak membaca isi pesan Rayga yang mengatakan bahwa Rayga sudah tiba di teras kontrakan. Firda membukakan pintu. Ia tersentak beradu pandang dengan Rayga yang tersenyum padanya seraya menenteng satu kantong kresek. “Kamu malam-malam ke sini mau apa Ray?” Firda masih saja shock. “Aku baca status kamu yang lagi pengin lumpia bom. Ya udah aku beliin.” Rayga tersenyum, senyum yang begitu tulus. “Ya Allah, Ray. Aku cuma iseng, Ray. Kamu jadi repot-repot begini.” “Aku udah beliin, jadi kamu harus makan.” Rayga tersenyum lagi. Entah kenapa, ia senang bisa melihat wajah Firda dengan sorot mata yang tak lagi sayu. “Baiklah, aku akan memakannya. Terima kasih Mas, udah beliin aku lumpia bom.” Firda mengulas senyum. Selanjutnya ia mempersilakan Rayga untuk masuk. Tentu saja pintu dibiarkan terbuka. Rayga tersenyum melihat Firda lahap memakan lumpia bom. “Enak, nggak?” tanya Rayga. Firda mengangguk dengan mulut penuhnya. Tampang Firda barusan tampak begitu menggemaskan. “Enak banget, Ray. Padahal dulu aku sering makan lumpia bom, nggak tahu kenapa malam ini rasanya beda, makin enak,” jawab Firda. “Mungkin karena aku yang beli, jadi rasanya tambah enak,” sahut Rayga sekenanya. Firda tertawa kecil, “Kamu bisa aja. Mungkin karena aku hamil kali ya, jadi rasanya tambah enak.” Rayga menatap Firda lekat. Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat Firda tertawa lepas. Sadar dirinya tengah diperhatikan Rayga, Firda salah tingkah. “Kenapa kamu baik banget sama aku?” tanya Firda menunduk. Ia pun tak tahu, tiba-tiba saja terlontar pertanyaan seperti ini dari bibirnya. Rayga terdiam. Dia agak gelagapan. “Karena bayi yang ada di perutku adalah keponakanmu?” lanjut Firda lagi. Rayga tersenyum, “Bukan semata karena itu. Karena kamu sangat pantas untuk diperlakukan dengan baik. Aku... Aku ingin jagain kamu.” Entah kenapa, Firda tersipu mendengarnya. Namun ia tak mau buru-buru menganggap perhatian dari Rayga sebagai sesuatu yang lebih. Sudah dari sananya, perempuan akan merasa baper jika ada laki-laki yang begitu perhatian padanya terlebih di posisinya yang tengah membutuhkan support dan penerimaan dari orang-orang terdekat. Rayga buru-buru mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau kata-katanya barusan justru akan menjadi jarak yang menjauhkan mereka. “Ayo dihabisin, Fir. Aku baru akan pulang kalau kamu udah ngabisin makanan kamu.” Firda mengangguk. Ia meneruskan makan malamnya dan mendadak atmosfer terasa lebih canggung dan mendebarkan. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN