4. Can't Hide the Feeling
Suara panas penggorengan terdengar begitu khas menggaung di seantero sudut. Bayu tengah memasak telur dadar setelah sebelumnya menyiapkan capcay dan sambal. Di balik perangainya yang cuek, terkadang kasar, dan arogan, dia memiliki kemampuan memasak yang tidak bisa dibilang standar. Dia bisa memasak menu yang enak, tak kalah dengan chef profesional. Tak heran dia memilih menggeluti bisnis kuliner selain juga mengelola dua villa di Baturaden.
Bayu menyajikan telur dadar itu di hadapan Rayga yang tengah bersiap melahap menu sarapan. Rayga melirik kakaknya yang melepas celemek lalu menarik kursi di depannya mundur dan ia duduk di sana. Mereka hanya tinggal berdua di Purwokerto, sedang orang tuanya menempati rumah mereka di Sokaraja.
Rayga menghela napas. Sebejat apapun kelakuan kakaknya, Rayga tak pernah membenci kakaknya. Sejak masa remaja, Rayga kerap menutupi ulah bengal kakaknya di hadapan orang tua agar bapak ibunya tidak bersedih memikirkan kelakuan putra sulung yang sering kali membuat mereka mengurut d**a. Mereka tumbuh bersama, menghabiskan masa kecil bersama dengan bermain bola, layang-layang, bersepeda, sering pula Rayga mengajari kakaknya pelajaran sekolah karena Bayu tipikal yang malas belajar. Dua laki-laki itu tumbuh dengan perbedaan karakter yang begitu mencolok. Bayu yang temperamen, Rayga yang suka mengalah. Bayu yang egois, Rayga yang memiliki kepedulian yang tinggi dengan sesama. Bayu yang begitu mudah menggampangkan perasaan orang lain, berambisi meraih sesuatu yang menguntungkannya, sedang Rayga yang begitu perhatian pada perasaan orang lain dan selalu mempertimbangkan banyak hal dalam mengupayakan untuk meraih sesuatu. Dua laki-laki itu gambaran potret dua pribadi yang terlihat seperti bumi dan langit.
“Kenapa kamu diam saja? Dimakan yang kenyang. Kamu ngajar pagi kan?” Bayu melirik adiknya yang diam terpekur.
“Iya, ini juga mau makan, Mas.” Rayga mengambil potongan telur dadar. Rayga akui, kakaknya hampir tak pernah gagal memasak. Masakannya selalu pas di lidahnya.
“Mas....” Rayga menatap kakaknya dengan mimik wajah yang tidak terbaca.
Bayu mengartikan ekspresi datar dari Rayga adalah simbol dari sesuatu yang tak beres, yang saat ini tengah dirasakan pemuda itu.
“Ada masalah apa? Masalah Firda? Pikiranmu mesti ora adoh-adoh kang masalah kuwe.” (pikiranmu pasti nggak jauh-jauh dari masalah itu).
Rayga menghela napas, “Aku ingin nanya sesuatu, Mas. Apa Mas Bayu benar-benar ingin melepas Firda? Mas Bayu nggak akan mencoba untuk membangun rumah tangga bersamanya?”
Bayu terhenyak. Wajah Rayga menyiratkan keseriusan yang begitu mendalam.
“Maksud kamu apa, Ray? Aku sudah bilang, kan? Aku baru akan bertanggung jawab kalau anak itu terbukti adalah anak kandungku.”
Rayga menyeringai. Dia menaikkan sebelah sudut bibirnya, “Mas Bayu selalu menyangkal. Kalau memang Mas Bayu tak mau bertanggung jawab, apa Mas Bayu keberatan kalau aku yang mengambil tanggung jawab Mas?” kata-kata Rayga meluncur tegas.
Bayu mengernyitkan alisnya. Ia tertawa sinis.
“Kamu ingin menjadi pahlawan? Firda bukan perempuan yang baik untukmu. Kamu berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya. Sedari dulu kamu nggak pernah neko-neko dan lurus-lurus saja. Kamu lebih serasi dengan Riana.”
Rayga terpaku sejenak. Ia kembali menatap tajam kakaknya.
“Riana tak pernah menanggapi perjodohan kami. Dia bilang nggak akan menerima perjodohan ini. Untuk apa aku mengejar seseorang yang terang-terangan menolak dan tak mencintaiku. Aku nggak mau memaksa dia untuk menerima perjodohan ini.”
“Apa kamu yakin Firda mencintaimu?” Bayu menatap Rayga datar. Jauh di lubuk hatinya, ia tak menyetujui adiknya mendekati Firda.
“Cinta bisa datang karena terbiasa. Aku sadar benar, setiap berada di dekat Firda, aku merasakan desiran. Aku ingin menjaga dia lebih baik.” Ada keyakinan yang begitu kuat terlukis dari wajahnya.
“Aku nggak akan ikhlas melihatmu bersama Firda. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.” Bayu meninggikan suaranya.
“Firda perempuan yang baik, Mas. Dia memang pernah berbuat kesalahan dan itu juga karena Mas Bayu yang merusaknya.” Tatapan Rayga begitu menghunjam.
Bayu tersenyum sinis, “Kesalahan bukan di aku sepenuhnya, Ray. Kamu harus ingat, sebelum kami kenal, Firda sudah terbiasa clubbing, Ray. Tanpa aku merusaknya, dia sudah rusak dari dulu!” tatapan tajam Bayu menancap tepat di kedua bola mata Rayga.
Rayga beranjak. Ia menatap kakak satu-satunya dengan wajahnya yang begitu dingin.
“Yang merawanin dia siapa, Mas? Yang merenggut kehormatannya, siapa? Mas Bayu sudah sangat keterlaluan!” Rayga mengambil tas kerjanya di kursi sebelah kursi yang sebelumnya ia tempati.
Dia berlalu begitu saja dari hadapan kakaknya. Rasanya dia tak bisa menolerir perbuatan kakaknya. Sepanjang mereka tumbuh bersama, baru kali ini Rayga merasa kecewa yang teramat besar pada kakaknya.
Rayga menyetir mobil dengan pikiran yang masih carut-marut. Dia sungguh tak bisa memahami sikap kakaknya. Kepribadian Bayu semakin aneh dan sulit dipahami pasca sembuh dari depresi. Kalaupun selama ini ia menjaga untuk tak meluapkan kekesalannya sampai di luar batas, itu semata untuk menjaga kestabilan emosi Bayu. Ia takut depresi kakaknya kambuh kembali jika dihadapkan pada serangkaian kejadian yang membuatnya tertekan. Namun ia juga tak sampai hati melihat Firda menderita karena kebejatan sang kakak. Apapun akan ia lakukan untuk membuat wanita itu bahagia dan merasa berarti.
Rayga tak tahu pasti entah kapan tepatnya dia jatuh cinta pada Firda. Entah kapan tepatnya rasa simpatinya berganti menjadi perasaan yang menginginkan untuk selalu dekat dengan perempuan itu dan melihatnya tersenyum. Entah kapan tepatnya ada gejolak di dadanya untuk menghapus tangis yang selama ini membanjir di wajah Firda berganti menjadi tawa yang menghias lepas di kedua sudut bibirnya. Entah kapan... Namun satu yang pasti, dia ingin menjaga Firda dan menjadikannya bagian dari dunianya.
Rayga menghentikan mobilnya di area parkir kampus khusus untuk kendaraan roda empat. Dia turun dari mobilnya dan berjalan menuju koridor yang menghubungkan area parkir dengan ruang kerjanya.
Beberapa pasang mata tertuju padanya. Ketika berpapasan, wajah-wajah itu mengangguk dan tersenyum dibarengi kekaguman para mahasiswi yang memuji wajahnya yang berkarakter, gagah, tampan dengan warna kulit khas Indonesianya yang membuat senyum di wajahnya semakin bertambah manis. Nyatanya sikap lembut dan sedikit agresif yang ditunjukkan oleh mereka tak berpengaruh apa-apa padanya. Sebagai dosen, ia profesional dan tak pernah melakukan pendekatan pada mahasiswinya.
Baru saja duduk dan rehat sejenak dengan membuka buku psikologi yang belum ia tamatkan, smartphone-nya berbunyi. Ia memang bukan dosen psikologi, melainkan agribisnis, tapi sejak kakaknya depresi tanpa keluarga tahu penyebabnya, Rayga tertarik untuk membaca buku atau artikel tentang psikologi demi kesembuhan kakaknya. Siapa tahu dia bisa menganalisa tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya.
Rayga menggeser layar smartphone-nya. Ada satu pesan w******p dari Riana. Ia cukup kaget, pasalnya baru kali ini Riana menghubunginya lebih dulu.
Ray, aku ingin ketemu. Ada yang ingin aku omongin.
Rayga menyipitkan mata, mencari tahu ada gerangan apa, Riana ingin bertemu dengannya. Rayga berencana untuk bertemu Riana selepas Dhuhur. Di jam itu ia tak ada jadwal mengajar.
******
Firda tersenyum pada dua orang perempuan yang masuk ke dalam toko. Hari ini adalah hari ketiganya bekerja di sebuah toko baju yang cukup besar. Dia menjadi pelayan toko yang bertugas menyambut kedatangan calon pembeli dengan ramah serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pelanggan. Pekerjaannya sebagai admin online shop masih terus dikerjakan hingga sekarang. Ia mendapat gaji setiap seminggu sekali dari pekerjaan yang bermodalkan kuota itu. Ia bersyukur, selain diberi gaji juga mendapatkan kuota gratis.
Tugasnya sebagai admin online shop ia akui gampang-gampang susah. Selain harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaan customer, merekap orderan yang sudah ditransfer dan melaporkannya pada Della, si pemilik online shop tersebut, juga harus siap menanggapi komplain dari pelanggan. Dalam menghadapi komplain inilah, ia harus menata emosi agar bersabar dan tidak terpancing dengan kerewelan customer.
Firda mengamati dua perempuan muda itu tengah memilih-milih pakaian. Ia teringat pada kehidupannya sebelum kepahitan menderanya. Ia bisa membeli baju kapanpun dan bebas memilih. Kebanyakan baju-baju yang ia pilih adalah baju branded yang harganya mahal. Sekarang ia merasakan bagaimana berposisi sebagai pelayan toko yang setiap hari menyanding banyak baju tapi hanya mampu memandang, tanpa bisa memiliki.
Firda duduk sejenak karena merasa sedikit pegal. Pemilik toko mengawasinya. Ia tak suka jika melihat karyawannya santai-santai duduk di saat ada pembeli yang tengah memilih-milih baju. Sang pemilik mendekat padanya.
“Kamu gimana sih, Fir? Ada pembeli malah duduk-duduk. Kamu harus siap-siap sewaktu-waktu pembeli nanya atau ingin mencoba baju, harus kamu tunjukkan di mana kamar gantinya.” Wanita berusia 40an tahun itu membulatkan matanya.
Firda berdiri dari posisinya, “Maaf, Bu. Tadi saya merasa pegal jadi duduk sebentar.”
“Kamu hanya boleh duduk saat toko sedang sepi. Sekarang lagi banyak pembeli yang datang.” Bu Rima atau yang biasa dipanggil ‘Bu Bos' oleh karyawan-karyawannya mengedarkan pandangan ke sekeliling toko.
“Nggih, Bu. Maaf....” Firda menunduk.
Bu Rima berlalu dari hadapan Firda dengan ketusnya. Adzan Dhuhur berkumandang. Lima karyawati yang bekerja di toko itu bergantian untuk sholat Dhuhur dan makan siang. Firda tak sempat memasak tadi pagi. Ia memilih untuk membeli nasi rames di warteg sebelah toko bajunya. Ketika ia melangkah keluar toko, matanya dikejutkan dengan Rayga yang keluar dari mobilnya dengan seorang perempuan berhijab dan masuk ke dalam coffee shop di seberang jalan. Ada sesuatu yang ia rasakan begitu perih dan seakan menusuk-nusuk. Mungkin dia belum jatuh cinta pada laki-laki itu. Namun perhatian Rayga yang begitu besar terhadapnya telah membuat perempuan berambut panjang itu terbawa perasaan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah perasaan yang saat ini bergemuruh di d**a adalah rasa cemburu? Sejenak ia merutuki kebodohannya. Rayga sendiri belum pernah mengungkapkan perasaannya, bagaimana mungkin ia bisa baper? Bagaimana bisa ia cemburu? Pikirannya berujung pada satu kesimpulan bahwa laki-laki sering kali tidak bisa dipercaya dan hanya bisa mempermainkan perasaan perempuan.
******
Rayga duduk saling berhadapan dengan Riana dengan satu meja sebagai penghalang. Dua cangkir espresso itu menjadi saksi canggungnya atmosfer antara mereka.
“Ray... Setelah aku pikir-pikir, aku berubah pikiran. Awalnya aku keberatan dengan perjodohan kita, sekarang aku ingin mencoba untuk menerimanya.”
Rayga terperanjat. Riana yang dulu semena-mena menolaknya, selalu bermuka masam saat bersama dengannya dan begitu ketus serta tak mau menganggapnya, sekarang berubah pikiran untuk menerima perjodohan?
“Kamu seneng, kan Ray? Ini kan yang kamu harapkan?” Riana tak mengerti kenapa ekspresi wajah Rayga begitu datar.
“Seandainya kamu mengatakan ini sejak awal perjodohan, mungkin aku akan senang. Tapi masalahnya, aku tak lagi berharap atas perjodohan ini. Aku jatuh cinta pada wanita lain. Dan dulu pun aku baru sebatas tertarik padamu, belum benar-benar jatuh cinta. Kali ini aku benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu.”
Riana melongo. Ia merasa begitu direndahkan. Menerima perjodohan antara dirinya dan Rayga telah ia pikirkan matang-matang dan seolah ia menjatuhkan harga diri karena ia pernah menolak Rayga secara frontal. Kini laki-laki itu yang menolaknya.
“Kamu seorang yang mudah menyerah dan tak bisa dipegang kata-katanya. Secepat itu kamu buka hati untuk orang lain? Itu artinya kamu menolak perjodohan ini?” Riana menajamkan sorot matanya.
Rayga mengangguk, “Ya aku menolak.” Rayga hanya mengucap satu kalimat itu tanpa tambahan apapun.
Riana merasa geram dan kecewa. Tak ada alasan bagi Riana untuk berlama-lama di coffee shop itu. Ia menolak tawaran Rayga untuk mengantarnya pulang dan ia meninggalkan Rayga dengan ketus dengan berjuta sakit hati dan kecewa.
Rayga terpekur. Diaduknya espresso itu lalu diteguknya. Ia menyesap aroma khas minuman favoritnya dalam-dalam. Ia yakin pada keputusannya untuk terus berjuang mendapatkan hati Firda.
******
Firda berbaring di ranjangnya. Rasa pegal di kakinya belum sepenuhnya hilang. Ia mempertimbangkan untuk keluar dari pekerjaannya, tapi di sisi lain ia sangat membutuhkan pekerjaan. Dompet yang hilang itu seakan tak berjejak, tak lagi kembali dalam genggamannya. Padahal jumlah uang di dalamnya cukup untuk biaya hidup sebulan. Kini ia harus pintar mengatur keuangan dan berhemat. Gaji dari side job-nya sebagai admin online shop juga baru akan cair seminggu lagi.
Ingatannya melayang pada kejadian tadi siang, di mana ia melihat Rayga dan seorang perempuan masuk ke dalam coffee shop. Ada deru rasa pilu yang berkecamuk. Entah kenapa hatinya merasa sakit padahal ia tahu benar, ia belum benar-benar jatuh cinta pada Rayga.
Suara ketukan pintu dan ucapan salam terdengar nyaring dari luar. Firda menjawab salam. Dia sudah sangat mengenal suara familiar itu. Entah kenapa Firda merasa begitu berdebar dan gugup hanya dengan mendengar suaranya saja.
Saat Firda membuka pintu, Rayga mematung sembari menenteng satu kantong berisi martabak.
“Fir, aku ke sini untuk nganterin martabak. Kamu suka martabak, kan?” Rayga menyodorkan sebuah kantong berisi kotak martabak.
Firda tak menerimanya.
“Maaf, Ray. Tolong jangan nganter-nganter makanan lagi buatku. Jangan terlalu baik sama Firda. Jangan terlalu perhatian. Kamu bisa kasih perhatian untuk wanita lain yang kamu suka. Orang bisa salah paham kalau kamu terus-terusan ke sini nganter makanan.”
Rayga tersentak. Ditelisiknya raut wajah Firda yang tak seramah biasanya. Sikapnya begitu dingin.
“Kenapa nada bicaramu nggak enak banget buat didengar, Fir? Kamu kenapa? Biasanya kamu menyambutku dengan baik. Kenapa tiba-tiba kamu ketus?”
Firda terdiam sesaat. Ia menatap tajam Rayga yang masih mematung di depannya.
“Kalau memang kamu tidak benar-benar menyukai seeorang, lebih baik jangan terlalu baik dan perhatian dengan orang itu. Perempuan itu makhluk yang mudah baper. Apalagi dengan kondisiku yang seperti sekarang. Sekecil apapun perhatian dari orang lain bisa begitu berarti untukku. Ada driver ojek atau karyawati di rumah makan Padang yang care dan baik saja aku bisa begitu tersentuh karena aku tidak mendapatkan perhatian dari keluarga atau orang yang seharusnya bertanggung jawab atas diriku. Aku seseorang yang sudah dibuang oleh keluarga dan perhatian dari kamu hanya membuatku baper, Ray. Aku nggak mau bermain-main dengan perasaanku atau membiarkan hatiku sakit lagi karena laki-laki. Aku akan fokus membesarkan bayiku.” Firda menegaskan kata-katanya.
Rayga terpekur dan ia masih menatap perempuan yang telah mencuri hatinya itu dengan tatapan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi?
“Aku tidak sedang berusaha membuatmu baper atau gimana. Aku memang benar-benar care sama kamu. Dan aku rasa kamu baper pada tempatnya karena aku memang benar-benar menyukaimu, Fir.”
Firda membelalakan matanya. Rasanya ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Jangan asal bicara kalau kamu sendiri nggak yakin, Ray.” Firda mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tak sanggup membalas tatapan Rayga yang begitu menghunjam.
“Aku nggak asal bicara, Fir. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu dan aku akan memperjuangkannya.” Rayga bicara lantang.
Firda tercekat. Ia kembali teringat saat melihat Rayga dan seorang perempuan memasuki coffee shop.
“Jangan coba untuk merayuku, Ray. Aku tahu kamu sudah punya kekasih. Tadi siang aku melihatmu masuk ke coffee shop bersama perempuan berjilbab.”
Rayga terbelalak. Firda melihatnya dan Riana memasuki coffee shop?
“Kamu melihatnya? Tolong jangan salah paham, Fir. Aku akan menjelaskannya.”
“Ya, aku melihatnya. Sebenarnya sudah tiga hari ini aku kerja di toko baju di seberang coffee shop.”
Rayga meletakkan sekantong martabak di atas pagar teras. Dia memperpendek jaraknya pada Firda. Firda sedikit mundur dan menyembunyikan kedua tangannya di balik punggungnya, seakan berjaga-jaga untuk melindungi diri jika sewaktu-waktu Rayga menyentuh tangannya.
Rayga menahan diri untuk tak menyentuh perempuan berwajah cantik itu, meski ia ingin sekali menggenggam tangannya.
“Dia namanya Riana, guru SD. Orang tua kami menjodohkan kami. Awalnya aku beritikad baik menerima perjodohan tapi Riana enggan meneruskan. Dia tak mau memandangku dan menolakku. Tadi siang dia mengajak bertemu di coffee shop. Aku jemput dia di sekolah. Ternyata dia berubah pikiran untuk meneruskan perjodohan. Sedang aku, sudah tak berminat lagi untuk melanjutkan perjodohan karena aku sadar, aku sudah jatuh cinta sama kamu, Fir.” Rayga menatapnya lembut.
Firda tak sanggup menutupi kegugupannya. Entah kenapa dadanya berdebar-debar. Ia tak akan membiarkan diri untuk mudah jatuh pada laki-laki. Ia perlu melindungi hatinya agar tak lagi tergores dan merasakan sakit.
“Aku bukan wanita yang baik untukmu, Ray. Aku bahkan hamil di luar nikah. Kamu lebih pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik.” Firda tak berani menatap Rayga.
“Aku tidak memandang masa lalumu, Fir. Aku akan memperjuangkanmu.” Rayga melirik perut Firda, “dan juga bayimu.”
Firda semakin tercekat. Rayga bergerak mundur.
“Aku pulang dulu. Assalamu'alaikum.” Rayga berbalik dan meninggalkan Firda mematung dengan debaran yang masih menguasai.
“Wa'alaikumussalam.”
Firda bingung harus bagaimana menanggapi perasaan Rayga. Ada rasa trauma untuk kembali jatuh cinta dan membiarkan laki-laki memasuki kehidupannya. Saat ini ia hanya ingin fokus pada bayi dalam rahim dan pekerjaannya. Baginya bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain adalah satu tahap yang ingin ia wujudkan.
******
Firda menutupkan tutup pada kotak bekalnya sebelum memasukkannya ke dalam tas. Ia memutuskan untuk membawa bekal makan siang untuk menghemat pengeluaran. Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya, tapi apa yang terlihat di matanya benar-benar membuatnya shock dan kaget luar biasa. Dari mana laki-laki itu tahu tempat tinggalnya? Rayga tak mungkin memberi tahunya.
Dengan sigap, Bayu masuk ke dalam kontrakan. Ia tutup pintu itu dan mendorong tubuh Firda hingga menghimpit dinding. Firda hendak berteriak tapi Bayu membungkam mulutnya dengan telapak tangannya.
“Aku nggak akan menyakitimu, jadi jangan berteriak.” Bayu menurunkan telapak tangannya.
Firda merasa deg-degan, bukan karena perasaan cinta yang pernah ia rasakan pada laki-laki itu, tapi karena ia sedikit takut.
“Aku peringatkan, jangan dekat-dekat dengan Rayga. Adikku pantas mendapatkan yang lebih baik darimu.” Tatapan Bayu begitu menghunjam. Ia gerakkan jari-jarinya menyusuri garis pipi Firda.
Firda berdebar, antara cemas dan juga takut, apalagi deru napas Bayu terdengar berkejaran seakan menahan emosi yang meluap.
“Sesuatu yang sudah kumiliki tak akan aku biarkan untuk dimiliki orang lain, termasuk adikku.” Gerakan jari-jarinya menurun dan berhenti pada satu kancing di kemeja Firda, dan ia melepaskannya.
******