Dilemma

2834 Kata
4. Dilemma   Firda terhenyak. Ia melirik satu kancing bajunya yang terlepas. Firda mendorong tubuh Bayu hingga mundur beberapa langkah. “Kamu mau apa? Kalau kamu macam-macam, aku bisa berteriak.” Firda berjaga-jaga dari serangan Bayu. “Kalau kamu berteriak, aku bisa saja bilang kamu ini wanita bayaran yang aku sewa. Aku hanya ingin memastikan sesuatu.” Bayu memperpendek jaraknya dan mencengkeram kedua tangan Firda. Firda berusaha melepaskan diri, “Please jangan ganggu aku. Pergi dari sini!” Bayu membalikkan tubuh Firda dan menghimpitkannya ke dinding. Bayu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebilah pisau kecil yang dibalut kain tebal. Ia sudah menyiapkan sebelum memutuskan mendatangi Firda di kontrakan. Bayu membuka kain tebal yang melilit pisau dalam genggamannya. “Jangan berteriak dan jangan melawan.” Bayu menodongkan pisau itu ke leher Firda. Firda semakin ketakutan. Ia tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Hanya doa yang bisa ia lantunkan dalam hati agar Allah melindunginya dan menyelamatkannya dari aksi b***t Bayu. Ia belum ingin mati. Ia masih ingin bertaubat dan membesarkan bayinya. Rasa cinta pada janin dalam rahimnya tumbuh secara alami dan naluri untuk melindungi bayi itu semakin hari semakin menguat. Ya, seandainya ia tak ingat pada janin dalam perut, ia bisa saja nekat menyerang Bayu dengan konsekuensi, nyawanya terancam, bahkan mungkin melayang. Harapan dan keinginannya begitu kuat untuk membesarkan bayi tak berdosa itu. Bayinya berhak untuk hidup. Dan ia akan mengusahakan yang terbaik untuk bayinya. “Ayo jalan ke kamar.” Bayu masih mengarahkan pisau itu ke leher Firda. Firda menuruti kemauan Bayu. Ia berjalan menuju kamar. Setiba di kamar, Bayu menarik kuat-kuat baju Firda dan menyentaknya hingga semua kancing bajunya terlepas. Bayu melepaskan baju itu dengan paksa, dalam satu tarikan. Firda hanya bisa menitikkan air mata dan rasa takut itu semakin mendominasi. Bayu menelisik tubuh bagian atas wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu dengan tatapan begitu menyelidik seakan tengah mencari sesuatu. “Berbaring sekarang!” Bayu menegaskan kata-katanya. Lagi-lagi Firda hanya bisa menurut. Ia berbaring dalam ancaman Bayu yang masih mengarahkan pisau kecil itu pada leher Firda. Tangan kanan Bayu memegang sebilah pisau yang masih ditujukan pada leher Firda, sedang tangan kirinya menelusuri leher wanita malang itu menurun hingga meraih bra hitam yang Firda kenakan. Firda hanya bisa sesenggukan kala jari-jari Bayu menyingkap kain pelindung itu hingga ia bisa melihat d**a wanita itu sepenuhnya. Jari-jarinya menurun menyusuri perutnya. “Aku mohon jangan lakukan apapun padaku.” Tangis Firda terdengar semakin mencekat. “Diamlah dulu jika kamu tak mau aku melukaimu.” Bayu menatap Firda dengan ekspresi wajahnya yang gahar dan tampak bengis. Satu tangan Bayu melorotkan celana kain Firda yang begitu mudah diturunkan karena bagian pinggangnya menggunakan kain elastis. Firda terperangah. Dia takut Bayu akan berbuat asusila padanya. Sekarang ia terkapar dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Air matanya terus berlinang. Bayu menatapnya dari ujung kepala sampai kaki untuk memastikan apa ada tanda-tanda ciuman Rayga di tubuh Firda. “Tubuhmu masih mulus tanpa kiss mark. Jadi Rayga tidak melakukan sesuatu padamu?” Kini Firda mengerti, Bayu membuka baju dan celananya adalah untuk mencari jejak ciuman Rayga di tubuhnya. Ia bertanya-tanya, bagaimana bisa Bayu mencurigai adik sendiri. “Dia bukan orang yang senang merendahkan perempuan. Dia tak pernah melakukan sesuatu yang buruk padaku.” Bibir Firda bergetar. Ia menatap lekat wajah laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Bohong jika di lubuk hatinya, tak ada sisa-sisa perasaan cinta untuknya. Sejatinya perempuan tak akan pernah lupa pada sentuhan laki-laki yang pertama kali menjamah tubuhnya. “Aku akan singkirkan pisau ini, tapi please jangan berteriak, atau mengusirku. Aku hanya ingin bicara denganmu baik-baik di sini. Tetaplah berbaring.” Tatapan suram Bayu berganti sedikit lembut. Bayu tiba-tiba mengalami lonjakan emosi yang begitu drastis. Awalnya dia begitu kasar dan menakutkan, kini ia bersikap lebih bersahabat dan lembut. “Kalau Mas cuma ingin bicara denganku, kenapa harus pakai cara seperti ini? Dan aku yakin, Mas bahkan sudah menyiapkan pisau ini dari rumah. Apa Mas berencana melukaiku? Membunuhku? Aku bingung, dari mana Mas tahu aku tinggal di sini?” tubuh Firda masih terbaring. Ketakutan yang sebelumnya mencapai puncak perlahan menurun. Bayu meletakkan sebilah pisau itu di nakas. Ia menatap Firda dengan ekspresi wajah tak segahar sebelumnya. “Aku tahu kamu nggak akan mau bicara denganku kalau aku nggak pakai cara ini. Kamu pasti akan mengusirku karena aku tahu, perasaanmu mungkin sudah berbalik membenciku.” Bayu berbaring di sebelah Firda dengan posisi miring menghadap Firda yang terlentang. Jarak yang begitu dekat antar mereka membuat Firda merasa kurang nyaman. Jarak sedekat ini bukan yang pertama kali, bahkan mereka pernah menyatu satu sama lain tanpa ada penghalang apapun dan ia sudah pernah tampil polos di hadapan laki-laki itu, tanpa sehelai pun benang. Hanya saja keadaan sekarang begitu berbeda. Ia bukan lagi Firda yang menyerahkan diri sepenuhnya pada laki-laki itu. Ia ingin menjaga diri dari laki-laki manapun. “Dari mana Mas tahu aku tinggal di sini?” Firda berusaha tenang meski jauh di lubuk hati terdalam, ia masih merasa was-was. “Semalam aku mengikuti Rayga ke sini. Ia tak tahu aku mengikutinya,” ujar Bayu masih menatap lekat pada Firda. Jauh dalam hati ia merindukan gadis ini. Gadis yang dulu sering kali merajuk manja padanya. Wajah polos dan usianya yang masih muda berbanding terbalik dengan apa yang ditampakkan di ranjang, gadis itu bisa berubah liar dan menggairahkan. Firda tak berani menatap Bayu. Satu yang ia takuti, ia akan kembali luluh dan jatuh pada laki-laki itu. Ia paham benar, Bayu bisa begitu temperamen, tapi setelah sadar berbuat salah, dia akan mendatanginya dengan meminta maaf, menangis, dan berubah menjadi pria yang paling manis. Bayu mungkin tak pernah menghardik, memukul, atau melakukan kekerasan fisik, tapi sikap kasar dan perangai buruknya jauh lebih menyakiti perasaan Firda. Setiap kali Firda akan melangkah meninggalkan pria itu, Bayu selalu berhasil menaklukkannya kembali. Namun tidak kali ini. Firda tak akan semudah itu memaafkannya. Ada satu hal yang Firda sadari, di balik sikap otoriter dan keras kepala seorang Bayu, dia hanyalah pria lemah dengan kondisi psikis yang bermasalah.  “Aku masih punya urusan yang belum aku selesaikan. Dan selama urusanku belum selesai, rasanya aku tak bisa memikirkan hal lain.” Bayu melanjutkan ucapannya. Jari-jarinya mengusap lembut kepala Firda. Firda masih membeku. Bayu yang kasar dan pemarah, kini berubah menjadi Bayu yang lembut. Bukan hal yang mengejutkan untuk Firda, karena ia sudah sangat paham dengan karakternya. Meski sisa rasa itu masih ada, tapi Firda tak mau gegabah. Dia sudah berjanji pada dirinya untuk tak mudah jatuh pada laki-laki. “Sebenarnya aku punya cinta masa lalu yang sudah meninggal. Hingga detik ini aku masih mencintainya. Namanya Mareta dan dia adalah istri dari Argan, suami Nara temanmu. Dia ibu dari Sakha. Dunia ini seakan menertawakan, mempertemukan orang-orang yang punya keterkaitan.” Firda terkejut mendengar kata-kata Bayu. Ibu dari Sakha adalah seseorang dari masa lalu Bayu. Saat dia dan Bayu masih berpacaran, Bayu tak pernah menceritakan kisah cintanya di masa lalu. “Dia menikah dengan Argan karena dijodohkan. Dia meninggal bunuh diri dan sampai sekarang aku penasaran apa penyebabnya bunuh diri.” Bayu menatap Firda dengan sorot mata yang masih sama dengan saat mereka berpacaran dulu. Sorot mata yang mampu menenggelamkan Firda dan membuatnya lupa diri, menerjang prinsipnya sendiri. Ia serahkan dirinya pada laki-laki itu. Namun sekarang, Firda tak mau lagi terperdaya olehnya. Jari-jari Bayu mengusap perutnya. “Sejujurnya aku takut menikah... Aku takut memiliki anak karena aku sadar benar, aku belum bisa menjadi seorang ayah yang baik. Hidupku masih kacau dan aku belum siap memberi tahu kedua orang tuaku. Bisa saja mereka mengusirku, mencoretku dari daftar keluarga, atau bahkan penyakit jantung bapakku bisa kambuh.” Firda tercekat dan menangis lirih. Sejak dua garis merah terpampang di sebatang testpack, ia mengharapkan Bayu akan bersikap seperti ini. Mengusap perutnya sebagai pertanda bahwa ia mencintai bayinya. Namun seolah semua menjadi sia-sia, karena Bayu datang di saat kekecewaan dan sakit yang ia rasakan telah menggunung dan menyesakkan. Ia belajar untuk berjalan di jalur yang aman agar tak lagi terluka. Ia belajar untuk memagari hatinya agar tak mudah terbuai kata cinta dan menjadi kuat seorang diri demi bayinya. “Pasca Mareta meninggal, aku depresi. Aku tak pernah menceritakan apapun pada keluargaku. Yang aku rasakan saat itu adalah, pandangan mataku serasa begitu gelap. Aku sering merasa Mareta datang dan memintaku untuk menyelediki kasusnya. Setelah sembuh dari depresi panjang, aku baru sadar, sepanjang masa itu, halusinasi dan delusi selalu menyiksaku. Mereka menyebutku depresi, padahal aku tahu, kemungkinan apa yang aku alami mengarah ke skizofrenia. Aku berjuang menyembuhkan diriku dengan mendatangi psikolog dan psikiater, tanpa seorang pun tahu. Alasan klise, aku tak ingin dicap gila oleh orang-orang di sekitarku.” Firda terdiam, mencerna satu per satu kalimat yang meluncur dari bibir Bayu. “Maafkan aku kalau tadi aku kasar padamu dan membuka bajumu dengan paksa. Setiap menjalani hubungan dengan seseorang, aku selalu berkeyakinan bahwa pasanganku telah berselingkuh. Bisa jadi itu adalah delusi di mana aku berkeyakinan kuat pada sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Karena itu aku ingin melihat sendiri apakah Rayga semalam menyentuhmu dan meninggalkan jejak-jejak merah di tubuhmu.” Bayu masih mengusap-usap perut Firda. Firda tercekat dengan semua penuturan Bayu. Ini pertama kali bagi Bayu bicara hal yang begitu personal dan tak pernah ia ceritakan pada orang lain. Firda biarkan jari-jari itu mengusap perutnya, agar janin di dalam perutnya merasakan sentuhan dari ayahnya. “Aku mungkin pribadi yang sulit dipahami. Bahkan psikiater pun kesulitan mendiagnosa penyakitku karena permasalahan psikisku terlaku kompleks. Hingga detik ini kadang delusi dan halusinasi bisa saja muncul. Aku seolah melihat Mareta dan mendengar suaranya, memintaku mencari tahu penyebabnya bunuh diri. Aku akui aku masih kesulitan mengendalikan emosiku. Karena itu aku merasa belum bisa menjadi ayah yang baik. Aku takut aku akan menyakitimu dan anak ini setelah lahir.” Tatapan Bayu menyasar pada perut itu. Meski di luar ia selalu berkelit bahwa mungkin saja anak itu bukan darah dagingnya. Namun jauh di lubuk hatinya, dia mengakui anak itu adalah anaknya karena ia pun tahu Firda bukan tipe perempuan yang mudah berhubungan dengan banyak pria. Ia tahu, Firda hanya pernah menyerahkan diri padanya. Bayu beralih menatap Firda dengan sudut mata berkaca. Firda tercenung. Lidahnya serasa kelu untuk sekedar menanggapi perkataan Bayu. “Aku belum siap menjadi suami atau ayah karena aku takut kondisi psikisku akan mengacaukan semua. Di sisi lain, aku tak rela melihatmu dimiliki orang lain.” Mata itu beradu. Bagi Firda, memahami Bayu itu sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami, bahkan mungkin lebih susah. Mata itu yang dulu seakan menghipnotisnya. Firda bangun dari posisinya dan duduk. Bayu ikut terbangun. Ia mengusap pipi Firda dan mendekatkan ujung bibirnya pada bibir Firda, seketika Firda langsung memalingkan wajahnya. “Aku mohon jangan lakukan apapun padaku, Mas. Aku turut prihatin dengan permasalahan kondisi psikis Mas Bayu tapi aku juga butuh kekuatan untuk menyembuhkan lukaku. Jika Mas Bayu tak bisa menyembuhkannya, tolong jangan tambah lagi luka itu. Setidaknya biarkan aku menjalani hidupku dengan jalanku sendiri.” Firda beranjak dari ranjang dan mendekat ke arah lemari. Ia membuka pintu lemari dan mencari baju terusan panjang untuk ia kenakan. Rasanya percuma ia datang ke toko, karena sudah terlambat. Bayu terpekur mengamati Firda mengenakan pakaiannya. “Sebaiknya Mas Bayu pulang. Aku nggak mau tetangga menaruh curiga.” “Aku baru akan pulang kalau kamu berjanji untuk nggak menerima Rayga. Aku akan mempertanggungjawabkan semua setelah aku benar-benar siap. Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja. Aku nggak keberatan membiayai hidupmu dan bayi kita.” Firda menatap Bayu tajam, “Dari dulu Mas Bayu selalu egois. Aku bisa berjuang sendiri untuk anak ini. Aku nggak akan meminta sepeser pun dari Mas Bayu.” Bayu beranjak dan mendekat ke arah Firda. Firda sedikit mundur. Bayu mencengkeram tangan Firda dan menyandarkannya di dinding. Tanpa membuang waktu lagi, Bayu mencium bibir Firda dengan paksa, membuat Firda memberontak. Ia menolehkan kepalanya ke kanan kiri, dan Bayu masih berusaha meraih bibirnya. Setelah berhasil menyentuhnya, ia pagut dalam-dalam bibir ranum itu hingga Firda serasa kehabisan napas. Tok tok tok... “Firda...” Baik Firda maupun Bayu kaget setengah mati. Bukan hanya seorang yang memanggil namanya, tapi panggilan itu saling bersahutan. Firda merapikan rambutnya dan membulatkan matanya pada Bayu. “Ini semua gara-gara Mas Bayu. Mungkin setelah ini aku akan diusir dari kontrakan ini karena mengira aku memasukkan laki-laki ke dalam kontrakan dengan pintu yang tertutup.” “Aku akan membantumu menjelaskan. Kontrakan ini punya saudara sepupuku, dia nggak akan mengusirmu.” Firda bergegas menuju pintu depan. Ia membuka pintu itu dan kaget melihat lima tetangganya berkumpul bahkan ada Rayga juga di sana. Sepuluh menit yang lalu, Rayga hendak mengetuk pintu. Ia mengurungkan niatnya tatkala tatapan matanya menyasar pada sepasang sepatu pria yang terpampang di atas keset depan pintu. Di saat yang sama salah seorang tetangga melihatnya dan menaruh curiga. Tetangga tersebut memanggil tetangga yang lain. Rayga tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk melindungi Firda dan ia pun ingin melihat siapa pria yang ada di dalam. Bongkahan rasa kecewa semakin membesar di hati Rayga kala ia mengamati jejak lipstik yang belepotan di bibir wanita yang telah mencuri hatinya. Lebih shock lagi ketika ia melihat sosok Bayu berjalan di belakang Firda. Hati Rayga terasa sakit dan ia menyimpulkan kedua orang itu masih saling mencintai hingga membiarkan pintu kontrakan tertutup dan ia berpikir kedua orang itu baru saja bermesraan. Semua orang dewasa yang melihat pemandangan saat ini pasti akan berpikir sama dengannya, bahwa telah terjadi sesuatu antara Firda dan kakaknya. “Maaf ya Mbak, Mas, kontrakan ini bukan tempat untuk m***m,” ucap salah seorang perempuan berbaju merah begitu ketus. “Iya, kontrakan ini bukan tempat untuk kumpul kebo,” ujar yang lain. “Nggak terjadi apa-apa antara kami.” Firda semakin terpojok dan ia begitu menyayangkan kenekatan Bayu yang tiba-tiba menyambangi kontrakannya hingga berujung seperti ini. “Nggak usah ngeles. Dua orang dewasa dalam ruang tertutup, apa lagi yang bisa dilakukan?” perempuan berkacamata ikut bersuara. Firda menatap Rayga yang terpekur dan balik menatapnya dengan sejuta rasa kecewa. “Mereka suami istri. Laki-laki itu adalah kakakku,” ucap Rayga. Semua mata penghuni kontrakan yang berkerumun di teras kontrakan Firda tertuju pada Rayga. “Ya, aku suaminya,” ucap Bayu kemudian. Maulidiyani atau yang biasa disapa Maulid, sang empunya kontrakan akhirnya datang setelah mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumahnya yang berlokasi di sekitar rumah kontrakan miliknya. “Ada apa ini?” mata wanita itu dikejutkan dengan sosok Rayga dan Bayu yang secara bersama-sama ada di sana. “Ini ada pasangan m***m yang kumpul kebo.” Seorang wanita berambut pendek menunjuk ke arah Firda dan Bayu. Maulid terbelalak. Kini ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan dua saudara sepupunya darinya. “Mbak, mereka salah paham mengira Firda dan Mas Bayu pasangan kumpul kebo. Padahal mereka sudah menikah. Mbak Maulid waktu itu menyaksikan pernikahan mereka, kan?” Rayga sedikit mengedip, memberi isyarat pada Maulid untuk meredam emosi para penghuni kontrakan. Maulid dapat menangkap maksud adik sepupunya. Ia memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. “Ibu-ibu salah paham. Mereka ini sudah menikah. Bayu ini adik sepupu saya. Rayga juga adik sepupu. Bayu dan Firda sudah menikah cuma sementara mereka tinggal terpisah karena Bayu bekerja di luar kota. Sekarang Bayu sedang pulang karena libur. Jadi dimaklumi saja kalau siang-siang begini mereka ngumpul di kontrakan melepas kangen.” “Oalah... Gitu to. Kami minta maaf ya Mbak Firda, sudah salah paham,” sahut salah satu tetangga. Firda tersenyum dan sedikit gelagapan, “Iya... Nggak apa-apa.” Setelah para tetangga kembali ke tempatnya masing-masing, Maulid mengajak ketiganya bicara dan meminta penjelasan. Alangkah terkejutnya perasaan perempuan itu saat mengetahui Bayu adalah ayah dari bayi yang dikandung Firda. Saat Rayga membawa Firda ke kontrakannya dan meminta dirinya untuk menerima Firda, Rayga memang sudah menjelaskan bahwa Firda sedang hamil dan ayah dari bayinya tak bertanggung jawab. Kini ia tahu satu fakta yang benar-benar mengejutkan dan membuatnya shock tak percaya. Baik Bayu maupun Rayga meminta Maulid untuk menjaga rahasia ini terutama di hadapan orang tuanya. Setelah Maulid undur diri, ketiga orang itu saling terdiam dengan pikiran masing-masing. Tanpa sepatah katapun, Rayga keluar dari kontrakan dan melangkah dengan perasaan tercabik-cabik. Bahkan ia tak mau mendengar sepatah penjelasan apapun dari Firda. Mungkin Firda belum benar-benar jatuh cinta pada Rayga, tapi ia mencelos melihat Rayga berlalu begitu saja tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Sesuatu mengusik pikiran Firda, mungkin saja dalam pikiran Rayga, image Firda sudah sedemikian buruk, murahan, dan tak sebaik yang ia pikir. Bayu menatap Firda tajam, “Aku pulang dulu. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Jangan menghubungi Rayga. Aku siap membantumu kapanpun. Setelah bayi ini lahir, aku akan menikahimu. Beri aku waktu untuk benar-benar menyembuhkan diriku.” Firda tak menanggapi apapun. Tak semudah itu untuk membuka kembali hatinya pada seseorang yang pernah menggoreskan luka yang begitu dalam. Meski masih ada sisa-sisa rasa itu. Bayu melangkah menjauh dari pandangan Firda. Wanita itu terpekur. Ia tak akan memikirkan siapapun. Ia hanya akan memikirkan bayinya. Ia tak mau merasakan sakitnya cinta dari laki-laki. Ia yakin bisa berjuang sendiri. Suara smartphone membuyarkan lamunannya. Ia masuk ke dalam dan mengambil smartphone-nya di dalam tas. Ia geser layarnya dan membaca satu pesan yang masuk ke whatsapp.. Firda, mama kangen... Firda tercekat. Air matanya tumpah tanpa mampu ia cegah. Rasa rindu pada mamanya seakan terobati hanya dengan membaca sebaris kalimat singkat itu. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN