Harry membawaku ke sebuah butik. Sepertinya pemilik butik itu mengenal Harry dengan baik.
"Wow, lama tak bertemu," sapa pemilik butik. Seorang wanita dan sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Dengan body aduhai bak model.
"Ya, tolong cari baju untuknya. Dia kedinginan," ucap Harry sambil melirikku sekilas.
Wanita itu sedikit mengernyit heran saat melihatku. Ya, ya, aku mengerti arti tatapannya.
"Dia...?" tanyanya sedikit ragu.
"Teman lama. Ayolah, nanti saja kuceritakan! Kau mau dia mati membeku?"
"Okeh," jawab wanita itu singkat lalu beralih menatapku sambil tersenyum. "Akan kuambilkan yang terbaik untukmu, Nona."
Aku mengangguk sopan, "Terimakasih," jawabku.
Wanita itu membawa beberapa baju yang menjadi pilihannya. Aku menerimanya dengan tersenyum. Setidaknya ini akan sedikit membuatku merasa hangat.
Dalam ruang ganti, kudengar mereka berbincang.
"Siapa dia, Har? Kok aku baru lihat?"
"Kau mau tahu?"
"Buat apa aku bertanya? Tentu karena aku ingin tahu!"
"Dia cinta pertamaku."
Apa? Harry bilang aku cinta pertamanya? Ini artinya saat aku pertama jatuh cinta padanya, ia juga merasakan hal yang sama? Bagaimana mungkin?
"Oh jadi ini. Nine tahu?"
"Ya, maksudku, tidak."
Aku memilih berlama-lama di ruang ganti ini. Rasa penasaran tentang kabar Nine yang tengah hamil menguasai hatiku saat ini.
"Ya dan tidak?"
"Ya, Nine tahu jika Icha, wanita yang di dalam sana adalah cinta pertamaku. Dan tidak tahu jika kami bertemu lagi."
Ya, dan Rey pun tidak tahu.
"Amazing! Mencoba bermain api?"
"Api memang sudah lama membakarku. Daripada kupadamkan, lebih baik kubuat arang agar lebih bermanfaat."
"Kau gila, Har!"
Aku lebih gila lagi. Membuat janji pada Rey bahwa aku tidak akan menemui Harry lagi dan sekarang mengingkarinya.
"Mungkin. Sudahlah! Untuk saat ini, aku tidak ingin memikirkan apapun. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah mencintai Nine."
Tapi Nine mengandung anakmu, Harry.
"Kenapa kau menikahinya?"
"Kami dijodohkan. Alasan yang klise bukan? Tapi begitulah adanya. Beberapa kali aku mencoba belajar mencintai Nine, tapi tetap saja aku tidak bisa."
Mereka dijodohkan? Entah kebetulan atau bukan, tapi kenapa nasib kami sama? Aku dan Rey juga dijodohkan.
"Jangan bilang kau belum menyentuh Nine selama kalian menikah?!"
"Aku bukan pria munafik. Kami berhubungan suami istri seperti biasa. Tapi tiap kali aku menyentuh Nine, entah kenapa wajahnya seakan berubah menjadi Icha, Icha dan Icha."
Hentikan Harry! Aku tidak ingin mendengar semuanya lagi! Semua terasa makin salah. Karena aku juga melakukan hal yang sama. Saat Rey menyentuhku, pikiranku tertuju padamu, Harry.
"Ini gila! Kalau aku jadi Nine, sudah kutendang kau ke teluk Alaska!"
Tapi Rey malah menerimaku apa adanya.
"Haha, Nine tidak begitu. Dia menerimaku. Entahlah, padahal, aku sudah beberapa kali berbicara padanya untuk menghentikan pernikahan aneh ini. Tapi dia memilih bertahan."
Sudah cukup! Semua yang kudengar hanya akan memperburuk perasaan terlarang ini.
Aku keluar dari ruang ganti.
"Kau cantik pakai apapun, Cha!" ucap Harry sambil menatapku kagum.
"Jangan dengarkan, Cha! Dia pria berengsek yang sedang merayumu!" ucap wanita itu.
"Haha, sialan! O ya, kenalin, ini Andine, teman gilaku. Dan Andine, ini Icha."
Aku menerima uluran tangan Andine.
"Senang bisa bertemu denganmu, Andine."
"Ya, sama-sama. Kalian mau ke mana? Hujan makin besar," ucap Andine sambil menatap keluar.
Memang benar, hujan makin lebat ditambah petir yang menggelegar bersahutan.
"Jika tidak keberatan, boleh menumpang?" tanya Harry.
"Aku jadi menyesal sudah bertanya tujuan kalian!" jawab Nine sambil pura-pura marah. Setelah itu ia tertawa.
"Terimakasih tumpangannya, Nona Manis!" ucap Harry lalu menuntunku naik ke lantai dua.
"Awas, Cha! Dia pria berbisa!" teriak Andine saat kami menaiki tangga.
"Dia teman baikmu?"
"Ya, begitulah," jawab Harry. Ia mengambil dua sachet minuman herbal dari lemari lalu menyeduhnya.
"Cantik ya?" tanyaku lagi sambil menerima pemberian Harry.
"Minumlah, untuk menghangatkan badanmu."
Aku mengangguk. Aku penasaran, apa Harry pernah menyukai Andine? Kami minum dalam diam. Menikmati rasa hangat yang mulai menjalar.
"Apa kalian pernah saling suka?" tanyaku setelah diam beberapa saat.
"Tidak. Ah, tepatnya aku tidak menyukainya sebagai wanita. Andine sangat supel, aku nyaman berbincang dengannya. Yah, dia memang sempat mengaku jika dia pernah tertarik padaku."
"Lalu?" Ini menarik. Mungkinkah Harry pernah menjalin cinta dengan Andine?
"Dia tahu aku hanya mencintai seorang gadis kecil yang tak banyak bicara."
"Siapa?"
Harry tersenyum. Ia meletakkan gelasnya lalu menatapku.
"Kau. Icha."
"A-aku? Ah, kau jangan bercanda!"
"Aku tidak bercanda! Andine menjadi tempat curhatku selama aku belum menikah. Dia tahu aku menyukaimu, Cha."
"Tapi semua yang kita rasakan saat ini sudah terlarang."
Harry menatap jalanan di bawah sana. Hujan makin deras. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Aku tahu. Dan bisakah kita membuat semuanya menjadi tidak terlarang?"
"Itu mustahil."
"Kita bisa bercerai."
DUARR!!!
Suara petir terdengar sangat nyaring. Aku terperanjat kaget hingga gelas yang kupegang jatuh dan pecah.
"Icha, kau tidak apa-apa?" Harry menatapku khawatir. Ia memeriksa tanganku.
"Aku tidak apa-apa. Hanya terkejut saja."
"Aku minta maaf, jika kau terkejut dengan apa yang aku katakan."
Aku tersenyum kecil, "Tidak, aku terkejut dengan suara petir."
Satu persatu pecahan kaca itu kuambil.
"Jangan! Biar aku saja! Diamlah di sini!" ucapnya lalu menyuruhku duduk di atas sofa.
Harry mengambil sapu lalu membersihkannya.
"Mungkin Rey mencariku," gumamku pelan.
Harry menghela nafas berat, "Jangan bahas dia saat bersamaku!" ucapnya lalu ikut duduk di sampingku.
"Tapi dia suamiku, Harry! Ingat itu, dan kau juga punya Nine dengan anak kalian!"
"Aku tahu. Tapi bisakah kita lupakan sejenak semua itu?"
Harry mengambil tanganku dan meremasnya pelan.
"Harry, aku mohon! Bantu aku melupakanmu! Jangan seperti ini!"
"Aku tidak bisa, Cha! Aku sudah mencoba beberapa kali, tapi rasanya sia-sia. Mungkin memang harus seperti ini. Meski sudah terlambat untuk memulai semuanya. Tapi rasa ini telah ada jauh sebelum bertemu pasangan kita saat ini."
Aku diam. Harry menatap mataku intens. Hembusan nafasnya menyebar di wajahku. Menggelitik indra penciumanku. Aku mendamba wangi ini. Wangi Harry. Selalu kurindukan. Entah karena rindu itu terlalu besar, ataukah rasa ini yang terlalu lama terpendam, hingga aku hanya diam saat Harry mulai menikmati bibirku lagi, lagi, dan lagi.
"Apa arti semua ini, Harry?" ucapku dengan nafas tersengal. Kening kami beradu.
Harry mengatur nafas, kulihat jakunnya naik turun.
"Tidak perlu mencari arti dari semua ini. Aku di sini untukmu, untuk cinta kita. Biarkan waktu berjalan pada tempatnya. Hingga sampai pada takdir kita."
Harry meraih tengkukku dan memulai lagi sentuhan yang membakar seluruh syarafku. Membangkitkan hasrat cinta yang menggebu hingga semua terasa indah bak taman syurga. Saat kami saling mendamba, menikmati setiap inci cinta yang kami impikan. Cinta yang selama ini hanya nyanyian sunyi di gelapnya malam. Kini terbakar hingga ke ubun-ubun.
Tidak! Ini tidak benar! Aku mendorong kuat d**a Harry yang mulai menindihku.
Harry mengatur nafas. Ia terjatuh ke lantai karena doronganku.
"Kenapa?" Harry menatapku dengan tatapan kehilangan. Nafasnya masih memburu.
"Hentikan! Ayo kita pulang!" ucapku sambil berusaha mengatur nafas kembali normal setelah pergumulan panas kami.
Hampir saja kami melakukan hal rendah dalam hidup. Meski semua atas nama cinta, tapi saat hukum dan norma berbicara, rasa itu hanya ada dalam mimpi belaka.