Kami duduk dalam diam. Setelah apa yang telah kami lakukan. Ya, hampir saja kami melakukan hal yang akan kami sesali seumur hidup.
Harry mengusap wajahnya dengan kasar, "Cha, sampai kapan semua ini?"
"Sampai detik ini, mari kita akhiri," jawabku dengan suara tercekat di tenggorokan. Ya, aku tahu ini akan berat bagi kami. Bertahun-tahun lamanya semua cinta ini terpendam, lalu saling menemukan di saat yang sudah terlambat.
Kulihat rahang Harry mengeras. Ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Tiba-tiba Harry berdiri dan membelakangiku.
"Baiklah! Jika itu yang kamu mau! Lupakan semua tentang kita! Selamat tinggal, Icha!"
Harry benar-benar pergi tanpa menoleh sedikit pun padaku. Meski ini yang kuinginkan, tapi rasanya hatiku sangat sakit. Punggung Harry menjauh. Aku mengusap kasar airmata yang keluar tanpa bisa kucegah.
Aku berdiri dan mencoba menenangkan hatiku yang bergejolak. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Hujan di luar sudah mereda. Baiklah, Harry, kita kembali ke kehidupan kita masing-masing.
Mungkin ini akhir dari semua cerita kita.
***
"Darimana saja kamu?" Rey bertanya padaku sambil menatap baju yang kupakai. Rupanya dia lebih dulu sampai di rumah.
"Aku terjebak hujan, Rey," jawabku lalu hendak masuk ke kamar.
"Sampai kamu ganti baju?" tanya Rey lagi.
Huft, maaf Rey, kali ini aku berbohong.
"Ya, aku kehujanan dan berteduh di rumah temanku."
Rey diam. Ia hanya menatapku yang masuk ke kamar. Ada rasa bersalah yang menyelusup dalam hatiku. Maaf, kurasa ini yang terakhir aku membuat kebohongan padanya.
***
Hampir enam bulan setelah kejadian itu, aku benar-benar tidak berkomunikasi lagi dengan Harry. Ya, aku menutup semua akses padanya. Semua akun medsosnya ku blokir. Biarlah, meski rindu menggunung, tapi ini yang terbaik.
Aku berusaha menjadi istri yang baik untuk Rey. Meski belum bisa mencintainya, tapi setidaknya aku berusaha menerima keberadaannya. Aku melayaninya lahir dan batin.
"Cha, apa kamu belum telat juga?" tanya Rey sambil menatapku, ia mengambil air putih dan meneguknya.
Pagi ini kami baru selesai sarapan. Rey selalu makan di rumah. Sarapan, makan siang dan juga makan malam. Dia selalu menyempatkan diri untuk pulang meski sesibuk apapun pekerjaannya di kantor.
"Belum. Malah mens-ku datang lebih awal, maaf, ya. Aku tahu kamu sudah sangat menginginkan anak," jawabku sendu.
Rey meraih tanganku lalu mengecupnya lembut, "Tak apa, mungkin belum rizkinya. Kita ikhitiar terus sambil berdoa."
"Ya, terimakasih. Kamu sudah sabar menghadapiku selama ini."
"Ssh, jangan bilang begitu. Dengar Cha, saat aku menetapkan hati untuk menikahimu, maka saat itu juga aku siap menerima kamu apa adanya."
Aku mengangguk dan tersenyum. Ponselku berdering.
"Mama nelpon, aku angkat dulu ya?"
Rey mengangguk.
"Ya, Ma?"
"Apakabar, Cha?"
"Baik, Ma. Mama sendiri gimana sama papa?"
"Baik. Malah papamu minta cucu terus tuh katanya."
"Iya ntar Icha beliin sepuluh deh!"
"Hus, kamu kalau ngomong suka sembarangan!"
"Ya abisnya gimana lagi dong, Ma? Icha belum hamil," jawabku.
"Kamu ikut program hamil aja ya? Kebetulan teman Mama ada tuh yang anaknya ikutan dan berhasil."
"Tapi kan setiap orang beda rezeki, Ma. Ibarat kata tuh ya, anak itu rezeki, jadi datangnya kapan gak ada yang tahu."
"Iya, Mama ngerti. Tapi kan kalau usaha gak ada salahnya. Kamu mau ya?"
"Iya, nanti aku bicarakan lagi sama Rey."
"Udah kok. Mama udah bilang, katanya siap ikut. Apa Rey belum ngomong sama kamu tentang ini?"
Aku melirik Rey. Ia nampak salah tingkah, "Belum, Ma. Mungkin belum sempat," jawabku. Apa mungkin Rey tak ingin punya anak denganku? Tapi, dia sering menanyakan apa aku telat datang bulan atau tidak.
"Ya sudah, ikut aja."
"Ma, aku bukannya gak mau. Cuma kan kami nikah belum lama. Jadi kupikir kami tidak perlu ikut program hamil. Kalau sudah waktunya pasti hamil kok," jawabku lagi. Ekor mataku sesekali melirik wajah Rey yang nampak sedikit kecewa. Entah perasaanku saja mungkin.
"Iya, Mama tahu. Atau kalian bulan madu gih kemana gitu, ke Bali kek, ke Singapura kek," Duh, mama rupanya sudah tidak sabar.
"Iya, nanti kami agendakan."
"Nah, gitu dong, ya udah, Mama tutup dulu ya?"
"Ya."
Klik. Mama menutup sambungan telepon. Aku menyimpan ponselku di atas meja. Rey nampak mencuri pandang padaku.
"Ada yang ingin kamu sampaikan, Rey?"
"Eh, itu ... mengenai program hamil, kamu gak usah khawatir, aku gak maksa kok," jawabnya ragu.
Aku mengangguk. Jujur saja, bukannya tidak mau punya anak. Tapi memantapkan hati terlebih dahulu tak ada salahnya kan? Aku tidak mau membuat Rey kecewa.
"Ekhm, aku dengar kamu membahas bulan madu."
"Apa? Ah, ya. Mama menyuruh kita bulan madu. Tapi kamu gak usah khawatir. Mama bisa aku beri pengertian jika kamu akhir-akhir ini sangat sibuk."
"Ya."
Kami saling diam lagi. Jujur saja, Rey tak pernah memaksaku melakukan hubungan suami istri. Dia sangat menghargaiku. Dia bilang tak mau memaksa jika aku belum siap. Dalam sebulan saja, frekuensi berhubungan suami istri di antara kami sangat jarang.
"Apa ... kamu keberatan jika kita berbulan madu lagi?" tanya Rey hati-hati.
"Ah, bukan begitu. Maksudku atasanmu apa tidak mengapa?" jawabku balik bertanya. Sungguh, melihat Rey yang nampak antusias tentang bulan madu membuatku sedikit merasa bersalah. Mungkin jika aku berbulan madu, usahaku untuk mencintainya segera berhasil dan harapanku adalah dapat menghapus semua rasa yang masih kupendam untuk Harry.
"Benarkah?" Mata Rey berbinar senang. Tangannya meremas jemariku pelan. Lalu mengecupnya lama.
Aku mengangguk.
"Kamu jangan khawatir. Aku bisa mengambil cuti selama 2 hari dan kebetulan sekali minggu depan ada libur panjang. Terimakasih, Cha! Kalau begitu aku akan siapkan semuanya!"
Rey begitu bersemangat. Ia benar-benar menyiapkan semuanya. Bahkan dengan semangatnya ia memberi tahu mamaku.
Entah apa yang mereka bicarakan. Nampak Rey menjauh dariku. Bicaranya juga agak pelan. Aku hanya tersenyum kecil, ia main rahasia-rahasiaan dengan mamaku.
***
Aku salut pada Rey. Ia benar-benar menyiapkan semuanya dengan baik. Ia mengajakku ke pulau Bali dengan sejuta pesonanya. Ia bilang banyak tempat romantis di sini.
Rasanya sangat melelahkan. Kami tiba di hotel. Tubuhku minta istirahat sepertinya. Beruntung aku tidak mengalami mabuk perjalanan. Padahal ini pertama kalinya aku naik pesawat.
"Kamu lelah?" tanya Rey saat melihatku berbaring.
"Hm, badanku capek," jawabku sambil menutup mata.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu," ucapnya lagi.
"Hm," jawabku tanpa membuka mata.
"Eh, tapi tunggu! Setelah bangun, nanti minum obat ini ya?" Rey membawa botol minuman yang polos. Tidak ada merek apapun.
Aku sedikit membuka mata, "Hm, simpan saja di situ!"
Kudengar Rey membuka pintu lalu keluar. Rasanya badanku sangat rileks sekarang. Sepasang tangan melingkar di pinggangku saat ini. Kulirik ke samping. Betapa terkejutnya aku saat tahu siapa yang memelukku.
"Do-dokter Harry?!"
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu segera mencumbuku dengan mesra. Sebenarnya aku ingin menolak semua perlakuan indahnya padaku. Namun entah kenapa rasanya suaraku sangat berat. Mulutku tak mampu berucap. Aku hanya pasrah dan menikmati serbuan bibir panasnya yang membakar seluruh urat syarafku.
Kami bergumul tanpa henti. Hingga puncak gairah itu terasa akan meledak.
"Apa yang kalian lakukan?!" teriakan seseorang menghentikan pergumulan panas kami.
Aku terkejut, kenapa Nine juga datang kemari? Ia nampak sangat marah.
Harry bangun tanpa melepaskan pelukannya dari tubuhku.
"Nine?!" bibirku terasa tercekat di tenggorokan. Nine menangis sambil menatapku sengit.
"Kau! Dasar w************n! Kau perusak rumah tangga!" Nine berteriak keras, tiba-tiba mama juga datang. Melihatku dengan tatapan kecewa.
"Kenapa kau berbuat hina seperti ini, Cha?"
Aku menggeleng cepat, "Tidak! Bukan!"
Seseorang mengusap pipiku. "Bangunlah!"
Aku membuka mata, keringat membanjiri seluruh tubuhku. Nafasku tersengal. Ternyata ini mimpi! Mimpi yang sangat mengerikan!
"Kamu mimpi buruk?" Ternyata Rey-lah yang kini memelukku erat.
Aku mengangguk pelan. Rey bangun dan mengambil segelas air putih.
"Minumlah! Kamu nampak sangat ketakutan tadi."
Aku menerimanya dan langsung habis sekali teguk. "Terimakasih."
"Hm, apa aku boleh tahu kamu mimpi apa?"
"Entahlah, aku tidak mau mengingatnya," jawabku sambil menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku takut Rey! Aku merasa jadi buronan maling yang takut ketahuan!
"Mungkin karena kamu tidur sebelum mandi."
"Hm, ya. Sepertinya begitu. Aku akan mandi dulu!"
Rey mengangguk.
Guyuran air dingin membuatku sedikit lebih baik. Sungguh, mimpi itu sangat mengerikan! Aku tidak mau jadi perusak rumah tangga siapapun.
Badanku terasa segar. Entah berapa lama aku di kamar mandi. Kulihat Rey menungguku sambil menahan kantuk.
"Maaf, aku terlalu lama."
Rey tersenyum lalu mengucek kedua matanya, "Ah, tidak. Sekarang kamu lebih segar. O ya, mamamu bilang kita harus minum obat ini."
"O ya? Biar apa?"
Rey mengangkat bahu, "Entahlah, mungkin agar tidak lelah."
Aku menghampiri Rey yang nampak menyiapkan dua gelas obat yang ia maksud. Seperti air minum biasa.
Kami meminumnya dalam diam. Rey menatapku, "Apa kamu lapar?"
"Hm," jawabku.
Rey nampak menelpon. Mungkin memesan makan untuk kami.
Sebentar, kenapa kepalaku sedikit pusing? Apa karena pengaruh obat itu? Tapi mana mungkin mama memberikan obat yang berbahaya kan?
Rey menghampiriku. Entah perasaanku saja atau bukan, Rey nampak berbeda saat ini.
"Cha ...." bisiknya dengan suara berat.
Rey tiba-tiba menarikku, lalu ia melumat bibirku. Menikmatinya bagai es krim yang sangat manis. Tangannya mulai bergerilya ke segala arah. Menyusup ke semua bagian sensitif dari tubuhku.
Aku terbakar. Otakku terasa buntu. Yang kurasakan saat ini adalah aku mendamba sentuhannya. Mungkin ini sedikit gila. Karena sebelumnya tak pernah kurasakan gairah sebesar ini bersama Rey. Oke, kuakui hanya bersama Harry aku merasakan sensasi seperti ini.
Malam ini aku seolah lupa akan segalanya. Hasratku membumbung tinggi hingga pertama kalinya aku membalas semua cumbuan Rey di tubuhku. Tentu saja membuat Rey makin liar dan terbakar.
Rey menggagahiku berkali-kali tanpa merasa lelah. Entah berapa jam kami bergumul hingga udara di kamar hotel terasa sangat panas.
Hingga Rey ambruk di atas tubuhku.
"Terimakasih," bisiknya sambil mengecup cuping telingaku.
***
Kami pulang dari bulan madu. Rey benar-benar tak melewatkan sehari pun untuk tidak menggagahiku. Selama satu minggu di Bali, Rey seperti anak kecil yang minta jatah jajan tiap saat.
Mama menyambutku dengan senyumannya.
"Akhirnya kalian pulang, Mama kangen kamu, Cha!" ucap Mama sambil menyambutku dengan pelukan.
"Hm, aku juga kangen Mama."
"Mama senang akhirnya kalian berbulan madu."
Aku dan Rey saling melempar pandangan sambil tersenyum. Ternyata benar, bulan madu mampu membuat hatiku sedikit melupakan Harry. Aku yakin, suatu saat aku bisa mencintai Rey sepenuhnya.
***
Dua minggu setelah kami berbulan madu, Rey menjadi lebih sering minta jatah. Bahkan hampir tiap malam kami bercinta. Meski rasanya tak sepanas saat di Bali. Apa mungkin karena suasana bulan madu? Ataukah pengaruh obat yang kami minum? Entahlah.
Aku menggeliat pelan. Badanku rasanya sangat lelah. Biasanya jam segini aku bangun dan menyiapkan sarapan. Entah kenapa hari ini begitu malas. Tubuhku lemas. Kepalaku juga sedikit pusing.
"Pagi, Sayang?" Rey mengecup bibirku sekilas. Ia membawa secankir teh yang masih mengeluarkan asap.
"Hm," jawabku lalu beringsut turun dari kasur.
"Mau teh?" tanyanya. Ia nampak segar. Sepertinya ia sudah mandi.
"Aku belum mandi, Rey," jawabku dengan suara serak.
"Tidak masalah, kamu selalu cantik mau belum ataupun sudah mandi," jawabnya lalu memelukku dan menciumku lagi.
"Hei, aku harus mandi!" jawabku sambil menjauhkan wajah.
Rey tersenyum kecil, "Baiklah, sana mandi dulu!"
Aku mengangguk. Tiba-tiba rasa mual menyerang perutku tanpa ampun. Aku segera berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua isi perutku. Kondisi perut yang kosong membuatku merasakan cairan pahit yang keluar dari mulut.
"Cha! kamu kenapa?!" Rey ikut masuk ke kamar mandi.
Aku menggeleng pelan sambil meringis, "Aku juga tidak tahu," jawabku pelan.
"Kita ke dokter sekarang!" jawabnya panik.
Aku tidak jadi mandi. Hanya gosok gigi dan cuci muka. Rey membawaku ke klinik terdekat. Ya, ya, klinik di mana Harry bekerja. Sebenarnya aku ingin protes karena takut bertemu dengan pria itu. Tapi, aku terlalu lemas. Mungkin Rey tidak tahu jika pagi hingga jam 11 siang, Harry bekerja di klinik ini. Baru siangnya ia ke rumah sakit.
Rey sedikit terkejut saat melihat Harry yang akan memeriksaku.
Ada yang lain dari Harry saat ini. Pria itu lebih banyak diam. Bahkan seolah menghindari tatapanku.
Rey nampak menjelaskan kronologi yang kualami.
"Baik, mari saya periksa!" jawab Harry.
Dia ... seperti orang asing!
Rey menuntunku. Tangannya tak berhenti menggenggam tangaku.
Aku memilih memejamkan mata. Memohon pada Tuhan agar Harry tak mendengar degub jantungku yang berpacu hebat. Ya, kuakui debaran itu masih ada.
"Sepertinya Anda hamil Nona Icha, keluhan yang dirasakan sekarang akibat perubahan hormon. Untuk memastikan, kita tes urine saja."
Aku membuka mataku. Nampak Rey yang berbinar bahagia. Sedangkan Harry menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Aku bangun, lalu menuruti apa kata Harry. Tes urine.
Kami menunggu hasil tes di luar. Rey bangkit dari duduknya, "Aku cari sarapan dulu, kamu belum makan apapun dari tadi."
Aku hanya mengangguk. Selang beberapa menit, Rey membawa makanan untukku. Lalu kudengar namaku dipanggil.
"Duduklah, biar aku yang masuk!" ucap Rey. Lalu ia masuk mengambil hasil tesnya.
Rey keluar dari ruangan lalu memelukku erat. "Terimakasih, Cha! Aku akan jadi ayah!"
Aku mengangguk pelan, mataku menangkap sosok Harry yang kaluar dari ruangannya. Pandangan kami saling bertemu. Lalu Harry memalingkan tatapannya dan berlalu begitu saja.
Ya, mungkin setelah ia dan aku punya anak. Perasaan yang kami miliki akan segera berakhir. Semoga saja.