Masih Ada

1000 Kata
Hari-hari setelah mengetahui kehamilanku, Rey makin perhatian. Bisa kukatakan jika rumah tangga kami sekarang lebih berwarna. Aku mulai menerima Rey. Mama dan papa juga sering menengokku. Seperti hari ini. Pagi sekali mama sudah datang. Membawakan sarapan untuk kami. "Jangan lupa minum vitaminnya, Cha!" ucap mama sambil menyiapkan piring di atas meja makan. "Iya, pasti, Ma," jawabku sambil menyenderkan kepala ke atas meja. Ternyata seperti ini rasanya morning sickness. Mengeluarkan semua isi perut hingga bagian yang pahitnya. Kulihat Rey keluar kamar. Ia bersiap untuk pergi ke kantor. Wajahnya sudah segar, tangannya mengancingkan lengan baju. Ia mengambil air hangat lalu memberikannya padaku. "Ini minumlah, bagaimana sekarang? Apa masih mual?" tanyanya sambil mengelus lembut kepalaku. "Begitulah," jawabku lalu meminum air pemberiannya. Tatapan Rey beralih pada mama yang sudah selasai menyiapkan sarapan. "Apa tidak masalah jika terus seperti ini? Hampir tiap hari Icha muntah-muntah," tanya Rey. Mama duduk dan tersenyum, "Kamu jangan khawatir! Ibu hamil memang sudah biasa. Sebagian besar mengalami seperti ini." "Apa tidak perlu dibawa ke dokter?" "Selama Icha masih mau makan dan minum, gak apa-apa. Kecuali jika Icha gak masuk makan." "Begitu ya, sampai kapan itu? Apa sampai 9 bulan?" tanya Rey lagi sambil menatapku cemas. "Tidak semua. Sebagian ada yang sampai 9 bulan. Tapi jarang. Kebanyakan sampai menginjak 4 bulan." "Maaf ya, aku gak bisa bantuin kamu. Kalau bisa rasanya ingin menggantikan posisi kamu," ucap Rey sambil meremas pelan jemariku. "Mama senang, Icha punya suami sepertimu. Kalian mengingatkan Mama saat awal menikah dengan papa." Aku tersipu. Rey memang seperti ini. Selalu bersikap manis tak peduli di manapun atau di hadapan siapapun. "Iya, Ma," jawabku sambil menahan malu. Rey tersenyum. "Ya udah, kita makan dulu, keburu dingin," ucap mama. *** Sore ini cuaca sedikit mendung. Rey juga belum pulang. Mungkin sekitar 1 jam lagi ia pulang. Aku menatap halaman rumah dari jendela kamar. Tiba-tiba aku merindukan Rey. Entah kenapa aku sangat ingin berada dalam pelukannya saat ini. Apa aku katakan padanya? Ah, tapi rasanya sedikit malu. Aku harus mencari alasan agar Rey cepat pulang. Mungkin jika ku katakan aku menginginkan mangga muda, apa Rey akan cepat pulang? Lagi pula, mangga muda sepertinya segar jika dimakan dengan sambal pedas. Aku bangkit dan mengambil ponsel. Minta tolong sama Rey mungkin ia tak keberatan. Sm Tak butuh menunggu lama, Rey sudah membalas pesan dariku. Me : Aku mau mangga muda. Rey : Siap, aku pulang cepat sekarang. Yes, hatiku bersorak. Rey sangat pengertian. Dia sangat tahu sifatku. Ini hanya alasan saja, aku hanya ingin bertemu dengannya. Sebaiknya aku membersihkan diri agar Rey tidak mencium bau tak sedap dari tubuhku. Sore ini kunobatkan sebagai sore terindah. Rasanya baru kali ini aku begitu bersemangat untuk menyambut kedatangan Rey. Betapa aku merindukan suamiku itu. Tuhan, maafkan semua yang pernah kulakukan padanya. Terimakasih, atas semua cinta yang kini mulai bersemi untuk suamiku. Aku mematut diriku di cermin. Aku rasa sudah cukup. Kepalaku melongok ke luar. Barangkali Rey sudah datang. Untuk mengusir bosan saat menunggunya, aku memilih untuk membaca novel kesayanganku. Tiga puluh menit sudah berlalu. Tapi tak ada tanda-tanda Rey pulang. Aku mulai cemas. Bukankah jarak kantor ke rumah kami tidak terlalu jauh? Ah, atau dia sedang mencari buah mangga muda ya? Aku jadi menyesal meminta mangga muda. Kenapa tidak kukatakan saja kalau sebenarnya aku hanya ingin dia pulang? Sampai aku selesai 2 buku, Rey belum juga datang. Bahkan ini melewati batas waktu biasanya dia pulang. Kemana dia? Teleponnya juga tidak diangkat. Apa dia sedang di jalan? Tapi kenapa lama sekali? Karena cemas, akhirnya aku inisiatif menelpon orang kantor. Barangkali saja ada acara kantor kan? Atau tiba-tiba ada lembur. Ya, semoga saja seperti itu. Ada rasa takut yang menyelusup dalam hatiku. Takut seandainya dia melakukan apa yang pernah kulakukan di belakangnya. Tapi jika mengingat semua yang dia lakukan selama ini, rasanya tidak mungkin. Rey pria baik. Aku tak semestinya berprasangka buruk padanya. Dering kedua telpon diangkat. "Hallo, ini siapa ya?" Aku berdehem kecil, "Ekhm, ini istrinya Pak Rey." "Oh, iya. Ada apa ya, Bu?" "Saya mau bertanya, apa suami saya ada?" "Oh, Pak Rey sudah pulang sejak satu jam yang lalu, Bu." "Benarkah?" "Iya, memangnya ada apa, Bu? Bahkan saya juga sudah di rumah. Apa Pak Rey belum sampai rumah?" "Ah, tidak ada apa-apa. Terimakasih, maaf mengganggu." "Ya, sama-sama." Aku makin khawatir. Ya Tuhan, semoga ia baik-baik saja di manapun ia berada. Aku menatap layar ponsel yang menampilkan akun Rey. Chat dariku masih centang dua abu. Rey, kamu dimana? Sesaat ingatanku melayang saat aku melakukan hal yang tak pantas bersama Harry. Apa seperti ini rasanya? Menunggu sambil dihantui rasa cemas. Drrttt ... drrrtt ... Lamunanku buyar saat ponselku bergetar. Segera kuambil dan betapa leganya saat melihat nama Rey yang menghubungiku. "Ya, hallo? Kamu di mana? Aku nungguin kamu dari tadi. Mangga muda gak usah beli, yang penting kamu pulang sekarang, ya?" Hening. "Hallo?" Aku was-was. Kenapa Rey diam? Lalu terdengar suara asing yang menjawabnya, "Maaf, apa ini dengan istri Pak Rey?" "I-iya, saya sendiri. Mana suami saya?! Kenapa Anda yang mengangkat teleponnya?" "Mohon maaf, Nyonya. Pak Rey kecelakaan. Sekarang ia berada di rumah sakit. Apa Anda bisa datang kemari?" Duar!! Bagai mendengar petir di siang bolong. Rey kecelakaan! Aku takut sekali. Dengan gemetar, aku kembali menempelkan ponselku di telinga. "Di-di mana rumah sakitnya?" "Nanti saya share lokasi ya," jawab orang itu. "Baiklah," jawabku dengan suara gemetar. Air mataku tak dapat dicegah. Seketika aku menangis sambil mempersiapkan diri untuk datang ke alamat rumah sakit tempat Rey mendapat pertolongan. Semoga saja Rey baik-baik saja. Aku memesan taksi online. Tepat saat mobil pesananku datang, kulihat mama dan papa datang berkunjung. "Ada apa, Cha? Kenapa kamu menangis?" Aku yang masih berurai airmata langsung berhambur ke pelukan mama. "Rey kecelakaan, Ma!" jawabku sambil terisak. "Apa?! Dia di mana sekarang?" "Ada di rumah sakit." "Kita berangkat bareng. Mama sama papa ikut." "Baiklah, tapi aku sudah pesan taksi, Mama sama Papa mau bawa mobil?" "Iya, takut ada apa-apa. Kami mengikuti taksi dari belakang." "Iya, Ma." Sepanjang perjalanan, aku terus menangis. Rey, kumohon bertahanlah! Jangan membuatku khawatir!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN