Aku hanya bisa menangis tersedu saat melihat Rey yang terbaring dengan perban di kepalanya. Dokter bilang, kepala Rey terbentur cukup keras yang menyebabkan dia kehilangan kesadaran.
Ini sudah hari ketiga aku menemaninya. Mencoba berbicara dengannya setiap hari. Walau yang kudapati hanya hembusan nafasnya yang teratur dan damai.
"Sabar Sayang, Rey pasti bisa melalui semua ini. Dia pria kuat, percayalah!" Mama mengusap lembut punggungku. Memberi kekuatan.
Andai mama tahu, bahwa baru saja aku ingin mengatakan bahwa aku telah mencintainya. Hatiku mulai merindukannya. Tapi kenapa malah seperti ini?
"Mama pulang saja. Biar aku di sini menemani Rey. Barangkali dia siuman," jawabku.
"Kamu yakin?" tanya mama.
"Kalau ada apa-apa, hubungi kami, Nak!" timpal papa.
"Iya, Ma, Pa, aku gak apa-apa kok. Aku mau di sini menemani Rey."
"Ya sudah Mama dan Papa pulang dulu. Besok kami ke sini lagi. Jaga kesehatanmu juga! Ingat, ada malaikat kecil dalam perutmu. Pastikan dia tidak ikut sedih sama bundanya."
Aku tersenyum, "Iya, Ma. Aku tahu."
Mama tersenyum lalu keluar dari ruangan. Sepeninggal mama dan papa, aku merenung. Baru sadar jika aku belum makan apapun sejak tadi pagi.
Baiklah, mama benar. Aku harus jaga buah cinta kami. Kuputuskan untuk keluar mencari makan. Sebelum pergi, aku memegang tangan Rey, mengusap lembut, dan mengecup keningnya lama.
"Aku pergi dulu, Rey. Cepatlah bangun, agar kita bisa makan bersama lagi!" ucapku lirih.
Kantin rumah sakit cukup ramai. Aku tak kuat jika mengantri selama itu. Mungkin sebaiknya aku keluar saja.
Tidak sengaja, samar aku mendengar suara seseorang yang terasa tidak asing bagiku.
"Harry, aku bawakan makan siang buat kamu."
Bukankah itu suara Nine? Ya, itu Nine! Nine dan Harry nampak sudah bahagia. Aku lega, akhirnya semua kembali pada tempatnya.
Mungkin sebaiknya aku tak perlu mencari tahu. Toh, aku sudah tak ada hubungan apapun dengan mereka. Kuputuskan melanjutkan langkahku. Tujuanku mencari makan. Agar aku bisa lebih kuat menemani Rey yang terbaring.
Ya, ini saatnya aku membayar semua yang telah kulakukan pada Rey.
Aku mencari tempat nyaman agar bisa makan dengan tenang.
Bibirku membentuk senyuman saat melihat bangku kosong di bawah pohon yang rindang.
Namun langkahku terhenti. Seseorang menatap lurus ke arahku.
Degh! Jantungku mencelos saat menatap sosok itu. Ya, dia Harry.
Dia tidak bicara sepatah kata pun. Hanya melihatku dalam diam. Sepersekian detik dunia seolah berhenti berputar. Kami saling menatap dalam diam. Jarak kami sekitar 3 meter. Cukup buat mataku melihat dengan jelas bahwa Harry masih menatapku.
Alarm dalam hatiku mulai berbunyi. Aku punya Rey! Ya, aku tak boleh lagi jatuh pada lubang yang sama.
Cinta pertama memang sungguh indah, tapi bukankah cinta terakhir lebih layak untuk dipertahankan?
Namun aku sedikit tercengang saat tiba-tiba Harry berjalan dan melaluiku begitu saja. Bahkan kami tidak saling menyapa.
Sakit? Entahlah, aku tidak tahu. Tapi mungkin memang sudah seharusnya seperti ini.
Kami bukan siapa-siapa. Kami hanya orang asing. Begitulah. Kuurungkan niatku makan di sini. Akhirnya aku berbalik dan kembali ke kamar Rey saja.
"Hei, Ica?!" seru seseorang. Aku berbalik. Nampak Nine tersenyum lebar dan segera menghampiriku.
"Oh, h-hai!" jawabku sedikit gugup. Melihat Nine, rasa bersalahku pada wanita ini terungkit kembali. Aku hampir saja membuat rumah tangga Nine dan Harry hancur.
"Siapa yang sakit, Ca?" tanya Nine masih dengan senyumnya.
"Ah, itu. Suamiku," jawabku sambil tersenyum.
"Benarkah? Sakit apa, Ca?"
"Rey kecelakaan. Dia belum sadar."
Raut wajah Nine berubah sendu, "Ya ampun, sabar ya, Ca! Rey pasti kuat. Ia punya kamu yang selalu di sampingnya."
Ucapan Nine serasa menohokku. Ya, aku pernah mengkhianatinya. Aku pernah berniat untuk pergi dari samping Rey. Tapi itu dulu.
"Ya, terimakasih, Nine."
"Sayang kita pulang seka ... rang," Harry mengerjap saat sadar aku berdiri bersama Nine di depan ruangan Rey di rawat.
Perlahan, pandangannya berpaling ke arah lain. Ia menghindari tatapan mataku.
"Ayo kita pulang!" ucap Harry sambil meraih tangan Nine.
"Tunggu, suami Ica sakit. Kamu tahu?" tanya Nine pada Harry.
"Ya, dr Ruddy yang menanganinya. Ah, Ica, kamu tidak perlu khawatir! Dr Ruddy pasti melakukan yang terbaik," jawab Harry tanpa melihatku sedikit pun.
"Ah, y-ya, terimakasih."
Nine tersenyum lalu menepuk pelan bahuku.
"Aku pernah mengalami masa ini. Temani dia selalu. Dia butuh kekuatan darimu."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Mereka pergi sambil bergandengan tangan. Meninggalkanku yang berdiri menatap punggung mereka yang kian menjauh.
Aku masuk ruangan. Alangkah terkejutnya saat melihat Rey nampak menegang. Aku panik lalu berlari keluar. Aku melihat Harry dan Nine belum jauh.
"Dokter! Tolong! Harry! Tolong!" teriakku panik.
Harry dan Nine berbalik lalu berlari ke arahku.
"Ada apa, Ca?" tanya Harry dengan raut cemas.
"Rey! Dia kenapa?! Tolong! Selamatkan dia, kumohon!"
Aku tak dapat menahan isakanku lagi. Harry segera masuk dan melakukan tindakan. Dia memijat tombol di pinggir ranjang pasien. Sungguh, aku benar-benar panik hingga melupakan tombol itu.
Seketika dr Ruddy datang bersama beberapa perawat. Mereka tampak panik dengan memasang berbagai alat yang tidak kumengerti.
Aku menatap cemas pada Rey yang masih menutup kedua matanya.
Lalu setelah semua kepanikan itu. Tiba-tiba semuanya menghembuskan nafas pasrah.
"Dokter, kenapa suami saya?! Ada apa dengan Rey, dok?! Katakan?!"
Dr Ruddy menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, mengusap wajah Rey lalu beralih menatapku.
"Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi rupanya Yang Maha Kuasa lebih sayang padanya. Dia sudah pulang menghadap-Nya. Yang sabar, Nyonya. Kami minta maaf!"
"Apa?! Jangan bercanda dokter!!! Rey pria kuat!!! Aku yakin itu!!! Ayo dokter, lakukan sesuatu!!! Harry, kenapa kau diam saja?! Selamatkan suamiku!!!"
Aku berteriak histeris. Tidak, tidak, aku mau dia pergi! Aku memeluk tubuh Rey yang terbujur kaku. Tak ada lagi hembusan nafas teratur yang selalu kupandangi tiap malam.
"Rey bangun! Kumohon, Sayang!"
Aku tersedu, "Bangun, Rey! Kau belum mendengar hal penting yang ingin kukatakan! Aku mencintaimu, Rey! Tidak, tapi sangat mencintaimu! Kumohon, bangunlah!"
Kuciumi seluruh wajah Rey tanpa terkecuali. Memeluknya erat, Tuhan, aku tak mau kehilangan dia!
"Ayo bangunlah! Jangan tinggalkan aku! Demi anak kita! Kumohon, hiks!"
"Ca, bangunlah, ikhlaskan dia!" seseorang mengusap lembut bahuku.
"Tidak, Harry! Dia belum pergi, aku yakin! Rey pasti kembali!"
Harry memegang kedua bahuku. Lalu membawaku dalam pelukannya.
"Jika kau mencintainya, ikhlaskan dia! Biarkan dia tenang menemui Sang Pencipta."
"Tidak, Harry! Dia pasti kembali, hiks, dia sudah janji akan pulang, hiks!"
Harry membiarkanku menangis sesenggukan dalam pelukannya. Tapi aku segera melepaskan diri. Lalu kembali memeluk Rey.
Aku menangis pilu tanpa henti. Masih berharap Rey akan kembali.
Dr Ruddy dan Harry tidak mencegahku lagi. Mereka hanya diam membisu melihatku yang masih memeluk erat Rey. Kudengar dr Ruddy pamit keluar ruangan. Hanya menyisakan aku, Nine, Harry dan Rey dalam pelukanku.
Aku mengusap wajah Rey, "I Love You, Rey. Kau dengar itu sayang? I Love You! Jadi kumohon, cepat kembali! Jangan tinggalkan aku dan bayi kita. Kami membutuhkanmu!"
Meski seperti orang bodoh, aku tidak peduli. Aku terus mengajak bicara pada Rey yang terbujur kaku.
"Ica, sudahlah! Ayo bangun!" Nine memeluk bahuku.
Aku masih berharap akan ada sebuah keajaiban.
Kuharap tidak ada kata terlambat untuk mengungkapkan perasaan yang mulai tumbuh di hatiku. Ya, aku ingin Rey mendengarnya.