Bab 4 Pasir Pantai Dan Sosmed

2274 Kata
Para bocah kecil yang penuh gempita menyambut Cinta itu menggelendot manja kepada gadis yang sedang tertawa-tawa bahagia. Bulan sabit terbentuk di mata sipitnya sebagai bukti keceriaannya. “Kak Cinta datang sama siapa?” tanya salah satu dari mereka setelah puas menggelendot dan bermanja pada Cinta. Langit yang sejak tadi berdiri diam di belakang Cinta hanya tersenyum. Di tangan kanannya menenteng satu paper bag penuh berisi coklat dan di tangan kirinya ada plastik kresek berisi es krim literan yang siap di bagi kepada anak-anak itu. Tadi sengaja dia mengajak Cinta untuk mampir dulu di supermarket 24 jam yang mereka lewati untuk sekedar membeli dan membawa oleh-oleh untuk mereka. Cinta menoleh ke arah Langit, jujur dia melupakannya sejenak gara-gara euforia bocah-bocah kecil barusan yang mengelilinginya. “Oh, kakak lupa kalo ke sini bawa teman,” goda Cinta dengan sengaja sambil nyengir kuda melihat ke arah Langit. Dia segera balik badan kemudian berjalan mendekati cowok yang juga tengah nyengir gemas ke arahnya, tanpa kata Cinta mengambil paper bag berisi coklat dari tangan Langit dan lagi-lagi dengan santai dia menggandeng tangan kekar itu tanpa seijin pemiliknya. Cinta dan Langit masuk ke ruang yang di fungsikan sebagai ruang serbaguna di bangunan itu. Sebuah ruang kira-kira berukuran 4 x 6 meter tanpa perabot di dalamnya. Hanya tergelar karpet dan beberapa lukisan di dinding ruang. Di ruang itulah biasanya anak-anak berkumpul, sekedar bermain atau belajar bersama sambil membawa meja lipat kecil untuk belajar masing-masing. Ibu Sasti di bantu anak asuhnya yang sudah cukup besar kira-kira di usia SMA mengatur jadwal mereka dengan tertib. Menemani mereka ketika belajar bareng-bareng atau sekedar menunggui mereka ketika sedang bermain dan bercanda sesama teman mereka. “Pagi Ibu,” sapa Cinta sambil meletakkan paper bag yang di bawanya kemudian memeluk erat Ibu Sasti penuh rindu dengan sebelumnya salim dulu dan mencium tangannya. Perempuan yang menyambut Cinta di ruang serbaguna itu segera tersenyum senang ketika mendapati anak asuh kesayangannya datang dengan senyum cerah ceria. Sejenak tadi Ibu Sasti melihat tangan Cinta yang menggandeng tangan lelaki di sampingnya, namun dari sikap gadis itu semuanya tampak biasa-biasa saja. Ibu Sasti mengenal perangai Cinta dengan sangat baik hingga hanya dengan melihat saja beliau tahu bahwa Cinta hanya berteman dengan cowok itu. “Pagi, Sayang. Kamu datang dengan siapa?” tanya lembut Ibu Sasti. “Oh, ini Langit, Bu. Teman sekerja Cinta. Langit, ini ibu aku, ibu terbaik sedunia,” Cinta memperkenalkan Langit dengan resmi kepada Ibu Sasti. “Saya Langit, Bu. Salam kenal,” ucap Langit sambil menjabat dan mencium tangan perempuan setengah baya itu dengan sopan seperti yang Cinta lakukan tadi. Ibu Sasti tersenyum, menatap wajah tampan yang juga tengah tersenyum ke arahnya. Merekam pahatan wajah dengan garis rahang yang sangat di kenalnya itu ke dalam memori-nya. Ibu Sasti teringat sesuatu, ketika seseorang mengatakan bahwa akan ada seorang lelaki bernama Langit yang akan di persiapkan sebagai malaikat pelindung gadis kesayangannya. Dan kini seseorang yang di maksud itu muncul di hadapannya. Pahatan tampannya adalah warisan dari ayahnya yang sangat Ibu Sasti hormati. Donatur tetap panti asuhan ini yang tak pernah mau di tunjukkan keberadaannya kepada siapapun. Cukup Ibu Sasti yang tahu, bahkan semenjak delapan belas tahun lalu ketika panti asuhan di dirikan. “Kak Langit ini pacarnya Kak Cinta?” tanya salah satu anak kecil di samping Cinta sambil mendongak dengan wajah penuh tanya. Bergantian menatap Cinta dan Langit berharap adanya satu jawaban. Cinta tertawa. Langit tertawa. Ibu Sasti tertawa. “Langsung ke ruang makan yuk, kita sarapan dulu. Cinta dan Mas Langit jadi ke pantai, kan?” tanya Ibu Sasti sambil menggiring para anak asuhnya, mengabaikan pertanyaan anak asuh kecilnya yang belum mendapat jawaban dari Cinta. Kebetulan ketika di jalan tadi Cinta sudah menelepon minta ijin untuk pergi ke pantai bersama temannya pagi ini. “Wah … mau ke pantai? Mau pacaran, ya?” sahut salah satu anak kecil yang lain. Lagi-lagi tawa mereka berderai. “Kakak mau survey, nanti kalau liburan sekolah dan nilai kalian semua bagus, akan kakak ajak ke pantai juga, gimana? Setuju?” “Setuju … “ jawaban serentak itu membuat Langit tersenyum. Dia bahagia melihat kebahagiaan Cinta di sini, ada rasa haru di hatinya. Selepas kuliah S2 nya kemarin, tepat seusai wisuda dan dia hanya bertiga di kamar apartemennya bersama kedua orang tuanya, cerita demi cerita yang mungkin saja ayahnya pendam selama ini tercurahkan kepada Langit. Hingga satu misi yang harus Langit jalankan menjadi bagian dari cerita ayahnya. Hanya dengan sedikit pertimbangan Langit menyanggupinya. Ada satu orang yang memiliki hak mutlak untuk bahagia harus dia bantu perjuangkan hidupnya, dan hari ini akhirnya dia kesampaian masuk di antara keluarga sederhana seseorang itu. Keluarga sederhana tapi begitu kaya dengan kehangatan kasih sayang dan cinta. Selesai sarapan dan setelah pamit untuk kembali pergi bersama Langit, para anak kecil dan Ibu Sasti mengantar mereka ke halaman depan. Es Krim dan Cokelat sudah di serahterimakan dan sudah aman tersimpan di dalam lemari es sebagai cemilan para bocah siang nanti. “Kakak pergi dulu, ya. Kalian baik-baik di rumah sama Ibu, jangan nakal, nanti sore kakak akan balik kesini, awas kalau ada yang nakal atau resek, minggu depan nggak akan dapat jatah jajan dari kakak,” ancam Cinta dengan penuh senyum kasih sayangnya. “Siap, Kak Cinta,” jawab para bocah bersahutan. “Kak,” salah satu tiba-tiba mengangkat tangannya. “Ada apa, Imel?” tanya Cinta dengan lembut. “Pertanyaan Imel tadi belum di jawab, jadi beneran Kak Langit ini pacarnya Kak Cinta?” “Duh kecil-kecil suka kepo deh,” goda Cinta bersikap usil sambil menoleh ke arah Langit yang hanya senyum-senyum saja merasa geli dengan kekepoan gadis kecil yang kira-kira berusia 10 tahun itu. Cinta sedikit mundur, kemudian meraih lengan Langit dan berdiri sejajar di samping cowok itu. Sumpah, satu matapun tak akan ada yang menolak jika di katakan dua orang itu sangat serasi. Kulit mereka sama-sama putih, bentuk mata sama-sama menyipit, satu tampan dan satunya sangat cantik. “Apakah begini nampak serasi? Hanya Imel yang boleh jawab,” goda Cinta belum hilang sikap jahilnya. Langit hanya tertawa memamerkan gigi rapinya. Gadis kecil bernama Imel itu nampak sedikit berfikir. “Serasi banget,” jawab polos Imel. Ibu Sasti, Cinta dan Langit tertawa bersama. “Sayangnya Kak Langit nggak akan mau sama Kak Cinta, soalnya ... kata Kak Langit kalo di kantor Kakak ini jutek dan jahat,” jelas Cinta sambil menoleh geli  ke arah Langit. “Ya udah, kalau gitu Kak Langit tunggu Imel besar aja, Imel nggak akan jutek dan jahat.” “Huuu … “ sorakan dari teman-teman Imel terdengar bersamaan. Berbarengan dengan ledakan tawa tiga orang dewasa di tempat itu. Cinta mengacak gemas kepala Imel, berpamitan sekali lagi kemudian berjalan di ikuti Langit menuju mobil pajero hitam yang terparkir di halaman. … Langit mengajak Cinta ke salah satu pantai yang ada di kota Jakarta ini saja. Tak jauh, tapi tak cukup dekat juga dengan tempat tinggal mereka. Namun lumayan, di jam belum sampai sepuluh pagi mereka sudah bisa menapakkan kaki telanjang mereka di pasir pantai. Cinta nampak memandang laut dengan wajah excited-nya. Santai dan nampak begitu meresapi dunia ciptaan yang maha kuasa ini. Rambutnya berkibar dengan sesekali menutupi wajah bersihnya, tangannya pun sesekali berusaha menghalau helai rambut yang mengganggu fokus pandangannya. Langit berdiri tak jauh dari Cinta, membiarkan gadis itu memainkan kakinya berkecipak dengan air laut yang entah berapa lama tak di sentuhnya. Sesekali wajah imutnya menoleh memberikan senyum terima kasih kepadanya. Bibir tipis berwarna pink alami tak surut dari senyuman cantiknya. Langit tak fokus menatap laut, tapi dia lebih fokus menatap bidadari kecil di hadapannya yang sepertinya sudah lama tak turun dari langit angkasa menjejakkan kakinya di keindahan bumi ini. Melihat Cinta bahagia seperti ini, hati langit ikut mengembang bahagia. Tiba-tiba Cinta berlari ke arah Langit, kemudian menyeret cowok itu menuju pantai. Langit hanya bisa tertawa, mungkin orang melihat Langit dan Cinta adalah dua remaja yang sedang asyik menikmati indah masa mudanya dengan jalinan cinta, namun nyatanya tidak, atau mungkin belum. Karena di hati mereka hanya ada satu rasa, tahap bersahabat. Sesekali Langit menggoda Cinta dengan mendorong gadis itu supaya terjatuh di air, tapi Cinta bertahan dengan menarik tangan Langit supaya dia tak sampai jatuh sehingga basah pakaiannya. Lelah bercanda, mereka kembali berjalan menjauhi pantai menuju kerindangan. Duduk di pasir tanpa alas apapun dengan berdampingan sambil masih menatap laut yang semakin panas karena mentari yang semakin naik. Kapal pencari ikan dan kapal tongkang nampak di kejauhan, menyempurnakan pemandangan laut siang itu. “Lihat ini,” tunjuk Langit sambil menyodorkan ponselnya. Beragam gaya Cinta ada di sana, sedang melihat ke laut, nampak dari samping dengan seulas senyum, sedang menunduk bermain air dengan kakinya, sedang menyibakkan rambut dan menghalau rambut-rambut kecilnya dan beragam gaya lain yang di ambil Langit dengan cara candid camera. “Hah, elo fotoin gue sebanyak ini? Kapan?” tanya Cinta terkejut, tadi tak nampak cowok itu memegang ponselnya tapi bahkan kini ada beberapa foto cantiknya yang bahkan dengan jelas nampak di ambil dari depan tapi dia tak menyadarinya sama sekali. “Elo terlalu fokus sih, kayak anak kucing yang lama di tali rantai di dalam rumah,” cibir Langit sambil membiarkan Cinta mengambil ponsel dari tangannya kemudian mengamati satu per satu fotonya. “Kok gue cantik, ya?” ujar Cinta sambil menoleh dan tertawa kecil ke arah Langit. Tanpa sadar Langit tertawa kemudian mengacak gemas rambut Cinta. Entah kenapa dia sangat menyukai sikap blak-blak-an nggak pake jaim yang Cinta punya. “Gue ngakuin elo cantik, kok, elo nggak sadar, ya?” Cinta menggeleng dengan wajah gelinya, kemudian balik melihat ke gallery ponsel Langit lagi. “Kapan terakhir elo ke pantai?” “Nggak tahu, lupa, jaman masih SD mungkin,” jawab Cinta dengan nada cueknya, tapi bagaikan sembilu mengiris hati Langit. Kamu memiliki segalanya namun bahkan bentuk rileks seperti inipun sampai terlupakan olehmu, batin Langit. “Gue juga udah lupa kapan gue foto-foto,” ujar Cinta sambil menyodorkan ponsel Langit setelah puas melihat foto-fotonya. “Sini,” ujar Langit singkat sambil merangkul bahu Cinta untuk di dekatkan ke arahnya. Dengan aba-aba satu dua tiga Langit mengambil gambar mereka dengan kamera selfi. “Ini namanya selfi,” goda Langit sambil melihat hasil foto berdua mereka dengan beberapa gaya, ada yang cuma senyum, wajah datar, julurin lidah, ketawa dan sok imut. “Gue nggak se-dodol itu juga kali, tahu yang kayak gini namanya selfi,” sahut Cinta sambil tertawa ngakak kemudian memukul gemas bahu Langit. “Ya kali elo pegang handphone canggih tapi nggak bisa pakainya.” “Asyem Lo, sosmed pun gue punya, tapi isinya buat jualan doang.” “Ada Ins*****m juga?” “Ada dong, namanya café cinta.” “Nah itu kan punya café elo.” “Lha emang iya.” “Gue buatin satu ya, yang buat pribadi elo, buat seneng-seneng aja biar hidup elo juga sedikit santai dan hepi,” tanpa menunggu jawaban Cinta, Langit segera mengambil handphone Cinta dari tangannya. Otak atik sebentar Langit kembali menyerahkan ponsel Cinta kepada pemiliknya. “Langit Cinta?” desis Cinta membaca nama profil akun Ins*****m barunya, foto profilnya masih mending di ambil dari salah satu fotonya di pantai ini, sedangkan foto yang di unggah oleh Langit cuma tiga dengan salah satunya foto selfi mereka berdua yang paling so sweet. Cinta tertawa mentertawakan kekonyolan Langit. Apalagi ketika di lihatnya sudah ada follower di akun itu dan tawanya kembali tak tertahan ketika mengetahui itu adalah akun dengan nama “Langit Biru” yang terpajang beberapa foto cowok tampan yang adalah wajah seseorang yang duduk di sebelahnya. Tak berapa lama Cinta terbelalak dengan kemajuan follower akun “Langit Cinta” yang di pegangnya, hanya butuh beberapa menit saja followernya sudah mencapai seratus. “Eh, eh, ini orang-orang pada kenapa cepet amat nyantol di akun ini,” desis Cinta heran. Langit lagi-lagi tertawa, suka memperhatikan raut excited gadis di sampingnya, lucu dan menggemaskan dengan komentar-komentar polosnya. Hingga akhirnya dia berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Cinta. Cinta menyambutnya kemudian segera ikut berdiri. Baru berjalan beberapa langkah Cinta menarik tangan Langit yang masih menggandengnya. “Ada apa? Gue laper nih, cari bakso sama es degan dulu, ya.” “Tapi, Lang, foto-foto gue di ponsel elo udah elo hapusin?” “Harus di hapusin? Nggak boleh gue simpen?” “Bukan gitu, simpan aja tapi jangan bawa masalah ke gue tiba-tiba ada perempuan hamil ngelabrak gue karena suaminya simpan foto cewek lain pake selpi-selpi berdua.” Langit tertawa ngakak, tak tahan untuk tidak menarik tangan Cinta lagi. “Tampang gue udah kayak abang-abang yang punya istri lagi hamil tujuh bulan, ya?” kelakar Langit sambil tetap berjalan. “Antisipasi tau.” “Nggak ada Cinta, gue beneran jomblo, kalaupun ada perempuan yang datang ke elo trus ngaku jadi pacar atau bini gue, di jamin itu palsu.” “Iya deh, sekali percaya sama elo deh, awas aja kejadian, bisa gue sembelih elo hidup-hidup.” “Ish, psikopat, namanya di sembelih ya pasti hidup-hidup terus mati, nggak di kantor nggak piknik bawaannya ngebunuh gue terus.” Cinta tertawa, kemudian dengan santainya melingkarkan dua tangannya ke lengan Langit. Tenang aja, hati mereka masih terisi dengan sebuah persahabatan yang tulus, kok. … “Lang, makasih ya udah ajakin gue jalan-jalan ke pantai hari ini,” ucap Cinta dengan senyum manisnya di depan pintu panti asuhan ketika Langit mengantarkannya pulang. “Iya, jangan rame-rame, gue punya misi harus sering-sering ajak elo piknik supaya awet muda dan selalu bahagia,” beritahu Langit setengah serius dengan pura-pura berbisik tapi justru membuat Cinta tertawa ngakak. “Gombal lo, udah ah pulang sono, elo punya waktu satu hari penuh besok tanpa suara jutek gue. Senin kita kembali ke laptop.” “Yah, senin balik jahat lagi, ya?” “Wajib.” Langit dan Cinta tertawa bersama menutup kebersamaan mereka hari ini. …                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN