Senin yang cerah namun sepertinya tidak berlaku untuk hari Cinta.
Pagi ini jam belum genap menunjuk angka sembilan tetapi Cinta dan Langit sudah terduduk diam di depan Pak Ardi. Hari ini adalah jadwal untuk mereview kinerja Langit yang sudah bergabung di divisinya selama satu bulan terakhir. Jika boleh jujur, tak ada cela yang Langit tunjukkan dalam pekerjaannya, Pak Ardi mengakui hal itu kecuali satu hal yang seolah sengaja akan dia korek tuntas demi memberikan kesalahan pada Cinta, yaitu dalam seminggu dia pasti ada datang telat.
Pak Ardi menatap Cinta dengan tatapan dalam. Dia menyayangi gadis ini, bisa di bilang dia adalah karyawan andalannya. Banyak kelebihan dan kebaikan yang telah gadis ini lakukan untuk kemajuan perusahaan terutama di tim-nya. Beberapa kali proyek produknya bisa goal dengan gemilang dan berhasil di pasaran. Namun, panggilan Pak Zein Angkasa kira-kira sebulan lalu ketika Langit baru saja bergabung merubah sedikit pandangannya. Pak Zein membuka identitas Cinta dan Langit kepada Pak Ardi, dan kini yang di rasakan Pak Zein tak sebatas lagi sayang kepada bawahannya yang berprestasi tapi lebih kepada adanya rasa kasihan, terharu dan semua hal yang membuatnya bahkan menjadi baper melihat ketangguhan gadis ini selama bekerja dengannya. Tak ada pilihan, Pak Ardi masuk ke tim Pak Zein untuk ikut menggembleng Cinta tanpa di ketahui oleh si gadis karena memang sudah saatnya. Pak Zein merasa harus segera menyerahkan perusahaan ini kepada pemilik sah-nya dan Angkasa akan beliau jatuhkan ke tangan Langit putranya, sedangkan yang di inginkan lelaki beranjak usia ke angka enam puluh tahun itu hanyalah berada di belakang layar. Otaknya selama ini sudah cukup lelah menjadi satu kepala di dua perusahaan besar yang harus dia fikirkan sendirian secara bersamaan.
"Cinta, kamu tahu kenapa sampai saya panggil panggil ini selain untuk mereview kinerja Langit di bulan pertama dia bergabung disini?" tanya Pak Ardi dengan nada datarnya. Tajam di tatapnya gadis yang mulai mendongak melihat ke arahnya juga.
"Mohon maaf belum sepenuhnya tahu, Pak," jawab Cinta pelan.
"Karena saya ya, Pak?" tanya Langit memberanikan diri. Sejak tadi dia membatin, skenario apa yang sedang di buat oleh lelaki di hadapannya ini hingga tiba-tiba saja memanggilnya bersama Cinta.
"Bagus kamu merasa," jawab Pak Ardi memasang tampang dingin membuat Cinta menoleh heran ke arah Langit dan Pak Ardi bergantian.
"Mohon di jelaskan kesalahan Langit dimana, Pak Ardi. Selama satu bulan ini saya merasa dia cukup baik di pekerjaannya, banyak membantu saya juga," jelas Cinta dengan tenang penuh nada heran. Satu poin, Pak Ardi sudah ingin tersenyum dan mengacungkan jempolnya untuk Cinta ketika gadis ini mengklarifikasi kondisi Langit yang notabene adalah bawahannya di sini. Sikapnya gentle penuh tanggung jawab melindungi bawahannya dengan berusaha bersikap bijak, bukan asal mencari pembenaran dan pembelaan.
"Kamu nyadar bagaimana nilai ketertiban Langit selama sebulan di sini? Meskipun dia adalah orang bawaan owner sekalipun, namun apapun yang dia lakukan disini tetaplah menjadi penilaian saya," ujar Pak Ardi cukup panjang lebar.
Cinta menyadari sesuatu, menarik nafas panjang sejenak. Dia sempat lupa dan sekarang merasa di ingatkan jika atasannya ini adalah seorang yang cukup tertib dan disiplin. Dia tahu jika Pak Ardi paling benci mendapat teguran sepele dari HRD yang biasanya menyangkut keterlambatan anggota di divisinya meskipun cuma semenit atau dua menit. Dan, sebulan kemarin entah berapa kali Langit datang terlambat seolah tanpa dosa semaunya sendiri.
"Maaf Pak, saya tahu jika Langit sering terlambat, dan itu salah saya juga karena kurang memperingatkannya. Setelah ini akan lebih kami perbaiki, Pak," tanggung jawab Cinta berusaha mengambil hati atasannya.
Langit yang menunduk tersenyum tipis penuh arti, dia akhirnya bisa membaca maksud Pak Ardi yang sebenarnya. Pasti tak jauh-jauh dari pembicaraannya dengan papanya, Zein Angkasa sejak sebulan lalu. Dan mungkin, saat ini Pak Ardi baru memulainya.
"Nggak hanya itu saja Cinta, kamu ingat kan saya paling benci memiliki anak buah yang tidak disiplin. Kamu sebagai leader di sini bahkan juga memberikan contoh yang tidak baik. Saya dapat data dari HRD hari ini, bagaimana bisa kamu telat tiga kali dalam sebulan kemarin," perjelas Pak Ardi sambil meletakkan selembar kertas tepat di depan Cinta.
Melirik isi dari lembar kertas di depannya, ah ... kepala Cinta pening seketika. Dia masih ingat semua alasan telatnya. Telat yang pertama karena jalanan macet penyebabnya karena ada kecelakaan. Telat yang kedua karena tiba-tiba sebelum berangkat bekerja di pagi hari dia harus pergi ke panti asuhan ketika Ibu Sasti meneleponnya dan mengatakan bahwa salah satu dari adik-adiknya di panti asuhan sedang demam tinggi. Hingga sangking paniknya Ibu Sasti meminta Cinta untuk membawa dokter ke rumah panti asuhan. Dan, telat yang ketiga karena dia bangun kesiangan gara-gara lembur revisi bab skripsinya yang panen coretan merah dari Pak Hamdi. Sungguh Cinta merasa puyeng dan bersalah, ketiga kondisinya tak layak untuk di jadikan alasan. Yang dia bisa hanyalah mengangguk samar menerima apapun bentuk omelan Pak Ardi kepadanya.
“Saya mohon maaf, Pak, saya akan berusaha lebih tertib lagi,” cicit Cinta mengakui kesalahannya.
“Saya juga mohon maaf, Pak,” Langit membeo mengikuti perkataan gadis di sampingnya.
“Yang saya ingin bukan berusaha, tapi harus. Seorang pemimpin yang baik salah satunya harus mampu memberi contoh yang baik. Kamu ingat, tiga kali telat tanpa memberi kabar ke saya duluan, budayakan lebih tertib lagi, dulu kamu nggak pernah telat-telat seperti ini, jangan jadikan skirpsimu menjadi alasanmu untuk bangun kesiangan dan telat bekerja karena itu. Perusahaan tidak mau merugi memiliki karyawan yang seperti itu, kamu kuliah memang bagus, tapi harus ingat bahwa status utama kamu adalah sebagai karyawan di sini bukan mahasiswa yang hanya memiliki kewajiban untuk belajar, pekerjaan harus tetap nomor satu tanpa terkecualikan dengan hal apapun.”
“Saya benar-benar mohon maaf, Pak Ardi, saya menyadari kesalahan saya.”
“Bukan kesalahan kamu saja, tapi juga kesalahan anggota kamu karena kamu adalah leadernya.”
“Baik, Pak.”
“Baiklah, kalian boleh keluar. Bu Erla tadi sudah menelepon, memastikan kalian jadi berangkat ke factory laboratorium apa enggak untuk mem-fixed-kan hitungan HPP proyek kalian. Ingat, minggu depan jadwal kalian presentasi, dan saya mewajibkan kalian untuk goal ide dasar sampai marketing plan kalian, jadi kalian harus serius karena saya hanya bisa supervisi aja kali ini. Dalam dua hari majukan presentasi kalian ke saya dulu sebelum menghadapi direksi.”
Cinta menarik nafas panjang mendengar penuturan panjang Pak Ardi. Maju konsep produk bukanlah hal pertama besok saja dia lakukan, namun kali ini berbeda karena produk ini inovasi, dia sudah bersusah payah mengerjakannya hampir setahun ini dan dia berharap semua bisa deal.”
…
“Jadi gimana, sesuai masukan kalian kemarin, formula produk sudah kita coba kurangi takarannya masing-masing dua persen saja. Langit, saya fikir taste indera perasa kamu cukup oke, Cinta juga, coba kalian incip, jika rasanya oke besok akan saya majukan untuk test ke tim khusus,” jelas Bu Erla dengan semangat.
Cinta dan Langit masing-masing menerima sample produk berupa biskuit dengan balutan krim cokelat dan selembar form penilaian. Mengamati tekstur produk sebentar, kemudian dengan penuh hati-hati dan penghayatan mereka mulai mencicip produk yang ada di depan mereka.
Selesai mencicip dan memberikan nilai, secara bersamaan keduanya menyerahkan form penilaian hasil riset yang sudah di isi kepada Bu Erla. Membaca sekilas, perempuan cantik yang nampak masih muda di usia empat puluh tahunnya itu tersenyum lebar.
“Kalian nggak saling contek nilai, kan?” tanya Bu Erla sambil ketawa-tawa.
Langit mengedikkan bahunya, sedangkan Cinta menoleh secara bergantian ke arah Langit dan Bu Erla yang kemudian menunjukkan hasil nilai mereka dengan tangan kanan dan tangan kirinya.
Cinta membuka mulutnya lebar melihat tulisan nilai poin per poin di form miliknya dan milik Langit. Bagaimana bisa mereka memberikan nilai yang sama persis pada setiap poin-nya?
“Chemistry kalian oke, siapa tahu berjodoh,” goda Bu Erla yang sesungguhnya sudah mengetahui siapa sebenarnya Langit Junior, tapi dia hanya diam saja. Di apa-apain juga Bu Erla memiliki koneksi khusus untun urusan kerja dengan Pak Zein Angkasa. Jadi sudah bisa di pastikan bahwa lelaki itu juga menitipkan putranya kepada Erla meskipun tanpa membuka identitas Cinta kepada wanita itu. Zein Angkasa hanya meminta supaya Langit di beri kepercayaan untuk mempelajari tentang seluk beluk riset dengan harapan dalam hati lelaki tua itu pada saatnya nanti Langit bisa menularkan ilmu yang sudah dia miliki kepada Cinta. Identitas Cinta memang masih terbuka hanya untuk segelintir orang saja yang benar-benar di percayanya supaya keselamatan gadis itu tetap terjaga.
“Bu Erla, boleh saya di kasih bocoran HPP dari produk yang barusan di cobakan ke kita? Saya ingin mensimulasikan hitungannya dengan HPP keseluruhan, pengin lihat estimasi profitnya,” pinta Cinta dengan sopan. Tanpa banyak kata Erla segera mengirimkan data yang di minta oleh Cinta, dan dengan sigap gadis itu mengambil laptop dari tas nya kemudian segera membuka dan menyalakannya.
Berdiam diri sejenak dengan Langit yang duduk di sampingnya, Cinta memasukkan angka-angka dari data Erla ke tabel harga pokok penjualan. Senyumnya mengembang segera begitu selesai.
“Lang, lihat … moga aja hasil tes ke tim khusus Bu Erla besok oke semua ya, Bu. HPP ku siap di majuin kalo bisa seperti ini,” ujar Cinta dengan wajah berbinar. Menoleh ke arah Langit yang duduk di sebelahnya dan melihat cowok itu yang sedang ikut tersenyum-senyum dengan alasan yang berbeda, bukan karena nilai pada harga pokok penjualan tapi lebih karena melihat kebahagiaan dan senyum Cinta.
“Makasih ya, Lang,” ucap Cinta tulus.
Langit menggoda Cinta dengan menunjuk pipi kanannya isyarat minta cium, yang dengan segera membuat Cinta memekik gemas sambil meninju lengan cowok itu.
“Resek lu.”
Langit tertawa.
“Ini masih setengah jalan, moga aja nanti endingnya oke.”
“Iya, pokoknya gue makasih dulu sama elo, karena setidaknya gue jadi ada ide lagi gimana baiknya melanjutkan proyek ini.”
“Iya, dan maafin gue ya, gara-gara gue elo di setrap sama Pak Ardi tadi pagi.”
“Elo mah susah gue bilangin, trus setelah tadi pagi elo bakal tetep sering telat-telat?”
“Usahanya sih gue nggak akan telat, tapi ya namanya juga masih usaha hasilnya entah seperti apa,” jawab Langit sambil cengar cengir.
“Auk ah gelap, ngomong sama elo gue berasa kayak ketemu kabel usang, kadang nyambung kadang putus lagi.”
Bu Erla yang memperhatikan interaksi Cinta dan Langit hanya ikut tertawa.
…
“Ta, gue capek banget, gue numpang istirahat bentar di sini boleh?” pinta Langit setelah mengantarkan Cinta pulang ke rumahnya sesuai janjinya kemarin. Pagi dia jemput di panti asuhan dan sore dia antar pulang gara-gara pada waktu jalan ke pantai kemarin Langit tak membolehkan Cinta bawa mobil sendiri.
“Iya boleh, kamu nggak mau mandi sekalian dulu?” tanya Cinta.
“Emangnya boleh?”
“Iya boleh, karena elo udah baik ke gue beberapa hari ini, jadi gue wajib balas budi.”
“Perhitungan lo,” sungut Langit dengan tampang kocaknya.
Cinta tertawa mendengar seloroh Langit.
“Gue beneran numpang mandi, ya,” ijin Langit sekali lagi sambil beranjak keluar rumah.
“Kok malah keluar rumah.”
“Ambil perlengkapan mandi gue yang standby di mobil sekalian ambil baju ganti.”
“Oh.”
Tak berapa lama mereka berdua sudah berada di ruang keluarga Cinta. Mereka duduk berdua di sofa panjang depan televisi.
“Gue nggak punya cemilan apa-apa nih, gue suguhin anggur ma air putih aja nggak apa-apa kan?” basa basi Cinta.
“Mana anggurnya?” tanya Langit keheranan.
“Maksudnya suguhannya gue anggurin, hahaha … “ Cinta terbahak melihat tampang kesal Langit.
“Tinggal di sini nyaman juga kayaknya. Tetangga nggak suka resek, ya?” tanya Langit serius setelah beberapa saat saling terdiam menikmati tayangan televisi.
“Enggak sih, mereka baik kok, kecuali elo nginep di sini maka ga usah di ajarin mereka pasti resek ngusir elo sama gue.”
Langit mengacak gemas kepala Cinta. Entah berapa kali dia kena skak mat kalimat Cinta.
“Kenapa nggak terfikir tinggal di apartemen aja?” tanya Langit kemudian.
“Sempat kefikir sih waktu itu, tapi akhirnya gue mikir, uang gue waktu itu kalo buat beli apartemen hanya dapet type studio yang luas dan isinya tak ubahnya kamar kos-kosan, tapi kalo buat beli rumah yang sederhana aja ya lumayan dapatnya kayak gini. Ada dua kamar yang bisa di manfaatin pas ada keluarga atau kakak-kakak gue pada ngumpul dan nginep di sini.”
Langit manggut-manggut mengerti.
“Elo sendiri tiap hari pulang ke rumah orang tua? Atau tinggal sendiri?”
“Gue tinggal sendiri.”
“Satu rumah juga?”
“Nggak, gue tinggal di apartement.”
“Oh, elo mah cowok tinggal di mana aja oke.”
“Ntar kapan-kapan gue ajak elo ke tempat gue mau kan? Siapa tau elo tertarik pindah ke sebelah gue jadi kalo gue kehabisan apa-apa mayan ada tetangga baik hati yang bisa di sambatin.”
“Iya gue kapan-kapan ke tempat elo, tapi gue note mulai sekarang, gue ogah jadi tetangga elo.”
Keduanya terbahak penuh keakraban.
Jam sembilan malam Langit pamit pulang. Cinta mengantarkannya sampai depan rumah.
“Hati-hati ya, makasih,” pesan Cinta.
“Iya sama-sama, sampai ketemu besok, jangan jutek-jutek, ya,” balas pesan Langit.
Cinta mengacungkan bogem mentahnya ke arah cowok yang siap pergi dengan mobilnya. Senyum mengantar kepergian cowok itu dari hadapannya malam ini.