Niko yang sudah terbakar emosi sebelumnya, kini semakin tersulut karena Ezio tak kunjung datang juga setelah dia memanggilnya berulang kali.
"Apa yang dia perbuat sampai mendapat surat panggilan begini?" Niko menghentak tangannya ke kursi dengan keras lalu bangkit dari sana.
Di luar kamar dia berpapasan dengan pelayan rumah, seorang wanita paruh baya yang sudah bekerja di rumahnya sejak dia muda malahan, sampai sekarang dia sudah mempunyai anak.
"Bi Warni, ke mana Ezio?"
"Den Ezio ada di kamar, Pak. Mungkin saja sekarang sudah tidur."
Niko mengangguk lalu menunju ke kamar Ezio. Bukannya dia tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Bi Warni, tapi dia hanya ingin memastikan
barangkali saja Ezio masih terbangun.
Terdengar suara pintu kamar diayun.
Niko kemudian masuk ke kamar Ezio. Nampak anak lelaki itu sudah tergolek di tempat tidur. Namun Niko tak percaya begitu saja. Ezio seringkali mengerjai dirinya, juga menipu dirinya. Entah, mungkin itu mengalir dari gennya sendiri. Dulu ibunya pernah bercerita sewaktu dirinya masih kecil, tingkahnya minta ampun. Tapi dia sendiri kewalahan dengan tingkah Ezio.
"Ezio kamu tidur atau pura-pura tidur?" Niko berdiri persis di samping Ezio.
Tak ada respons. Ezio memejamkan mata rapat, juga tak bergerak sama sekali.
"Ezio, bangun." Niko kembali membangunkan putranya itu. Namun Ezio diam tak bergeming sedikitpun. "Ck! Dia sudah tidur pulas. Baiklah, kamu berhutang penjelasan padaku." Niko kemudian keluar dari kamar Ezio.
Lima menit setelah kepergian Niko, Ezio bangun. Anak kecil itu duduk setelah melempar selimut yang menutupi tubuh kecilnya. Dengan seutas senyum dia menatap pintu kamarnya yang tertutup.
"Aku tahu ayah akan marah padaku, jadi lebih baik aku pura-pura tidur saja daripada mendengar ocehannya panjang lebar." Ezio kemudian turun perlahan dari ranjang. Di lantai yang beralaskan karpet, dia membawa sekotak mainan lalu mulai bermain sendirian.
Esok paginya.
Ezio yang sudah rapi dan harum, duduk di kursi ruang makan.
"Silakan sarapan paginya, Den Ezio."Bi Warni menghidangkan menu sarapan pagi di meja.
Ada beberapa jenis hidangan di sana. Meski bukan di restoran menu hidangan ada makanan pembuka, juga makanan penutup. Satu lagi, menu itu berbeda. Satu untuk Ezio dan satunya lagi untuk Niko. Bisa diperkirakan sendiri berapa lama waktu untuk memasaknya.
"Terima kasih, Bi. Ayah mana?" balas Ezio.
"Sebentar lagi, Bapak pasti akan datang."
Benar saja, setelah kepergian Bi Warni, terdengar derap langkah kaki masuk ke ruang makan. Sontak, Ezio segera bersiap, bersikap manis. Semalam dia bisa selamat dari amukan ayahnya, tapi pagi ini, dia tidak tahu.
"Ayah tidak pakai jas hari ini? Apa tidak ke kantor?" Sebuah pertanyaan retoris sebenarnya. Tapi mau bicara apa lagi, untuk menyambut kedatangan pria itu. Setidaknya mengulur waktu agar Niko tidak marah padanya.
"Jangan mencoba mengalihkan perhatian Ayah dengan hal lain. Bukankah kamu tahu hari ini Ayah sengaja tidak masuk ke kantor kami ada suatu urusan?!" Niko menggeser kursi dengan menatap tajam Ezio. "Apalagi jika bukan karena kamu berolah di sekolah?" Tatapan Niko kian menajam. Membuat Ezio tak bertemu dan segera menarik pandangan dari Niko.
Senyum anak kecil itu pudar seketika. Daripada bicara lagi dan mendapatkan balasan berupa hukuman atau lainnya, Ezio memilih segera menyantap hidangan yang ada di depannya, tanpa berani menatap Niko sedikitpun.
***
"Kita sudah sampai. turun dan bersikaplah Baik nanti selama di dalam kelasmu." Niko memperingatkan Ezio ketika mereka tiba di sekolah PAUD Taman Bakti, sebelum mereka berdua turun dari mobil.
Niko sendiri sebelumnya sempat mendengar keluhan juga aduan dari beberapa orang tua murid lainnya perihal tentang sikap Ezio di sekolah lihat lingkungannya. Hanya saja, ia pikir semua itu Wajar saja dilakukan oleh seorang anak kecil seumur Ezio. Tapi ketika guru kelas sendiri yang memanggilnya, membuatnya gusar.
"Ya, Ayah." Ezio hanya bisa mengucap itu. Jika dia membantah, maka akan semakin bertambah panjang omelan dari Niko.
Dua orang itu kemudian masuk ke sekolah. Mereka langsung menuju ke kelas Ezio.
"Permisi," ucap Niko di depan pintu.
Di dalam kelas ada seorang guru wanita yang sedang mengajar para muridnya. Mendengar suara panggilan dari luar maka ia menghentikan aktivitas mengajarnya sejenak untuk menemui tamu yang datang.
"Bu Agni, maaf, saya datang terlambat ke sekolah." Bukan Niko yang bicara tapi Ezio.
Karena Niko terus marah-marah di mobil, membuat mereka berdua datang terlambat lima belas menit.
"Tak apa, Ezio." Wanita berambut panjang yang diikat sedikit rambutnya pada bagian belakang itu menatap Ezio. "Anda, ayahnya Ezio?" Ia kemudian beralih menatap Niko.
"Benar."
"Jika begitu silakan masuk." Terang saja, Niko merasa aneh sekali. Ia kira dia akan diminta masuk ke ruangan lain, semisal ruangan Kepala Sekolah. Tapi ini, dia diminta masuk ke kelas Ezio.
"Di sini?"
"Ya, Pak. Silakan masuk." Meski merasa tidak nyaman Niko pun masuk bersama Ezio.
Ezio segera duduk dan bergabung bersama teman sekelasnya. Sedangkan Niko, dia duduk di kursi lain, beda dan pisah dengan murid di sana, meski masih serangan.
Guru aneh sekali dan tidak profesional. Harusnya dia menemuiku di ruangan lain yang sepi dan hening bukan di kelas yang berisik seperti ini.
Keadaan kelas PAUD seperti apa? Bisa dibayangkan sendiri. Kelas ramai. Beberapa anak tidak mengikuti pelajaran dan malah main sendiri bersama temannya, juga kegiatan yang lainnya yang membuat gaduh kelas.
"Bapak, maaf sebelumnya wanita waktu anda untuk datang ke mari." Wanita bermata lebar berwarna cokelat itu memulai pembicaraan.
"Ya, Bu. Sebenarnya masalah apa yang diperbuat oleh Ezio di kelas ini?" Niko langsung saja pada pertanyaan inti. Dia pengen membuang waktu lebih lama lagi di sini terutama semakin gaduh. Jujur, kepalanya mulai sedikit berdenyut.
"Maaf, bukan maksud saya untuk memojokkan Anda sebagai orang tua Ezio. Tapi, sudah lama putra Anda membuat kekacauan di kelas ini."
"Ya?" Niko menautkan sepasang alis gelapnya. Dia tidak tahu apa hubungan Ezio dengan dirinya.
"Menurut saya, Ezio banyak melakukan kenakalan di kelas karena kurangnya perhatian dari orang tua di rumah. Dia mencari perhatian dengan berbuat onar," ujar Agni dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara.
Alis Niko semakin terkait erat mendengar ucapan guru kelas Ezio. Jujur, dia tersinggung dengan perkataan Agni barusan yang mengatai Ezio kurang perhatian. Kurang perhatian gimana Ezio? Selama ini, anak itu hidup dalam fasilitas mewah. Tinggal bicara atau minta saja semoga keperluannya akan tersedia. Lalu bagaimana bisa jadinya dicap sebagai orang tua yang kurang perhatian pada anaknya?
"Lalu maksud Ibu, bagaimana? Perhatian seperti apa yang Anda maksudkan?"
Nampak Agni sedikit terguncang akibat lawan bicaranya terlihat marah pada dirinya.