Eps. 2 Menggagalkan Kencan Ayah

1158 Kata
Baru saja Niko tiba di rumah, menyandarkan punggung ke kursi yang ada di kamar, tatapan matanya terkunci pada selembar kertas yang tidak sengaja dia senggol hingga membuatnya jatuh ke lantai. "Kertas apa ini?" Niko sebenarnya lelah. Lelah setelah seharian di kantor juga lelah setelah pulang dari restoran. Sekarang apa lagi? Ia berharap isi dari lembaran kertas tersebut bukan hal yang membuatnya gusar. Cepat Niko mengambilnya, "Surat panggilan ke sekolah?" Niko menautkan sepasang alis gelapnya setelah membaca apa isinya. Pria itu meremat kertas tadi menjadi gumpalan kemudian melemparnya sembarangan. Rahangnya mengetat sempurna. "Ezio! Kemari!" Pada akhirnya, dia berteriak juga memanggil putranya. "Ezio!" Niko sampai mau pulang panggilannya karena tak ada respons dari Ezio. "Ke mana dia?" ***** Ezio mengerti apa yang diucapkan oleh Melia dalam hati. Anak kecil bermata cokelat itu bisa mendengar suara hati. Meski itu hanya terbatas pada wanita saja. Dia tak bisa mendengar suara hati pria. Kemampuannya itu ia dapatkan sejak kecil. Namun, ia tak pernah memberitahukannya pada siapapun, termasuk Niko. Ia merahasiakan kemampuannya itu dari dunia dan menyimpannya sendiri. Karena bisa gawat bila sampai ada yang tahu. Mungkin dia akan terancam dan tak bisa hidup dengan tenang. "Kenapa Melia?" Niko bertanya setelah mendengar suara berdesis yang meluncur dari bibir Melia. "Tidak, Niko. Tidak ada. Ezio hanya kurang pas saja duduknya." Di tengah rasa sakitnya, Melia tetap mengumbar senyum cantik di depan Niko. Ia tak peduli meski sakit dia harus menahannya demi bisa memenangkan hati pria itu. Siapa yang tak mau menjadi istri dari orang kaya seperti Niko? Meski dia duda beranak satu, itu tak masalah baginya. Di luar sana banyak wanita mengantre. Sedangkan Niko memilihnya, kenapa tak ia manfaatkan kesempatan ini dengan baik? Pasti Ezio melakukan sesuatu pada Melia. Niko mengamati, namun baik Ezio maupun Melia keduanya tak membahas hal tersebut, maka Niko pun tidak mempermasalahkan lagi. Ia melaju mobil. "Melia, kamu sudah makan siang belum?" tanya Niko. "Belum." "Bagaimana jika kita mampir sebentar ke restoran di dekat sini?" "Boleh." Melia tentu saja senang. Bak gayung tersebut perutnya memang terasa perih. Jika Niko mengajaknya makan itu kebetulan sekali. Jangan harap bisa bersenang-senang dengan ayahku. Ezio semakin tak suka mendengar suara hati Melia. Wanita itu tak ada bedanya dengan banyak wanita yang di bawa Niko padanya. "Ayah, aku belum lapar dan malah mengantuk. Aku ingin pulang saja," celetuk Ezio berusaha menggagalkan rencana Niko. Devil kecil. Kenapa kamu berusaha menggagalkan acara ini? Kamu sama sekali tidak mengantuk. Mata bulatmu itu tidak berair sedikitpun. Melia merasa geram. Dia sedikit banyak tahu ciri seorang anak yang mengantuk. Setidaknya ia pernah mengasuh keponakannya meski hanya sebentar. Jadi sedikit-banyak dia tahu ciri-cirinya. "Duh, perutku rasanya seperti Di remas-remas. Tadi pagi aku belum sarapan. Rasanya sampai mau pingsan menahan. Tapi jika batal pergi ke sana tak apa, aku bisa makan nanti setelah tiba di rumah." Melia memasang tampang melas sembari mengusap perutnya. "Tidak. Kamu harus segera makan jika begitu." Niko merasa resah melihat itu. "Ezio, jika mengantuk kamu bisa tidur sekarang. Atau kita tidak akan lama berdiri di restoran," imbuh Niko yang malah mendukung Melia namun mengabaikan dirinya. Devil kecil, ayahmu lebih memilih aku daripada kamu. Ini masih awal. Nanti setelah kami menikah, aku akan menguasai Niko sepenuhnya. Lagi, Ezio dibuat kesal hanya dengan mendengar suara hati Melia. Berharap saja kamu bisa memiliki serta menguasai ayahku. Langkahi dulu aku, Tante jelek. "Sebentar saja. Aku akan menahankan kantukku sebentar demi Tante Melia," cicit Ezio. Mobil kemudian melaju ke sebuah restoran terdekat di jalanan saat ini. Sembari menunggu, Ezio mengeluarkan lolipop dari dalam tas. Anak itu mulai menjilat permen besar tersebut. Beberapa saat setelahnya, dia tiba-tiba saja bersandar pada Melia. "Niko, sepertinya Ezio tertidur," pekik Melia. Ezio benar-benar tak bergerak sama sekali. "Bagus itu. Bangunkan nanti saja saat tiba." "Ya, bagus. Ups!" Melia segera mengatupkan bibirnya agar tidak salah bicara lagi kemudian menghiasi bibirnya itu dengan seutas senyum. Bagaimanapun juga dia harus bisa memikat hati Niko. Mobil Niko kemudian berhenti di sebuah restoran. Bahkan meski sudah tiba, Ezio belum bangun juga. "Ezio, bangun. Kita sudah tiba." Bukan Niko yang bicara, tapi Melia. Ezio segera bangun. Dia kemudian turun dari pangkuan Melia setelah melekatkan lollipop-nya yang sudah meleleh ke baju Melia. Ezio dan Niko sudah turun. Melia turun. Di luar mobil baru lah dia merasa ada yang lengket di bajunya. Saat dia lihat ada lolipop Ezio yang menempel di sana. Akh! Noda gula pada baju Melia tercetak besar. Sangat mengganggu pandangan dan lagi sangat obatnya tidak nyaman sama sekali. Ini pasti permen milik Ezio. Devil kecil ini ... dia enak tidur di pangkuanku dan malah menghadiahiku dengan noda gula seperti ini. Sialan! Melia memegang tepi baju sembari menatap tajam Ezio. "Ada apa, Tante?" "Ini, baju Tante kotor kena lolipopmu." "Oh, maaf. Aku tidur. tidak tahu apa yang dilakukan oleh tanganku ini. Aku minta maaf dan akan perbaiki." Melia nampak senang, Ezio mengaku bersalah. Ezio kemudian mengeluarkan botol air dari dalam tas beserta tisu. "Ezio, apa yang kamu lakukan?" Kali ini Niko yang bertanya. "Ayah lihat dan diam saja. Ini wujud permintaan maafku." Dengan polos, Ezio menuang air dari botol ke baju Melia pada noda gula yang tercetak tadi. Bisa dilihat, baju Melia semakin tidak karuan bentuknya. Alih-alih noda gula itu hilang, malah semakin banyak merembes kemana-mana dan jujur, kulit tubuhnya sampai terasa dingin juga lengket terkena air yang sudah bercampur dengan gula tadi. Melia sampai memejamkan mata, tak tahan dengan semua ini. Dia kemudian menatap Ezio tajam. Inginnya mengumpat habis Ezio. Tapi tak mungkin ia lakukan di hadapan Niko. "Tante, bagaimana ? Apa aku perlu menambahkan air lagi untuk membersihkan noda permen?" tawar Ezio tanpa merasa berdosa sedikitpun dan menahan senyumnya yang hampir kelepasan. Bila Ezio menambahkan air lagi ke baju Melia tentunya dia akan mandi air gula dan itu lebih parah dari sekarang. Bisa-bisa jadi karamel dia nanti. "Tidak Ezio, terima kasih." Melia menolak tegas. Ia beralih menatap Niko. "Sepertinya aku tidak bisa makan siang bersama kalian sekarang. Aku mau pulang." Melia berulang kali mengibaskan tangan. Sungguh jika saja ia ada di rumah, dia akan melepas baju itu segera. Tapi di sini tidak mungkin dia melepas baju, selain itu juga tak membawa baju ganti. "Kamu yakin mau pulang?" lontar Niko. "Yakin. Antar aku pulang saja." Melia benar-benar tidak tahan lagi. Bisa masuk angin dia kalau tidak segera ganti baju. Niko kemudian kembali ke mobil. Kali ini, Ezio duduk di kursi belakang. Ia mengantar Melia pulang. Tante, ini baru permulaan. Kita lihat seberapa besar ketahananmu? Ezio kini bisa tersenyum miring. Dan tak ada yang tahu itu. Bahkan dia sudah menyiapkan rencana tambahan jika saja tadi gagal. Rupanya sekali saha sudah tumbang. "Turun. Kita sudah sampai," ujar Niko. Mereka tiba di rumah. Ezio buru-buru keluar dari mobil. Tasnya sedikit Terbuka membuat isinya ada yang jatuh di mobil. Niko ya masih ada di sana melihat itu. "Ezio, ada barangmu yang jatuh!" Sayang, Ezio tak mendengar itu dan terus berlalu. Terpaksa Niko mengambil lembaran kertas di bawah. Betapa terkejutnya dia setelah membaca isinya. "Surat panggilan orang tua?! Dasar anak itu! Ezio!!!" Niko turun dari mobil untuk mengejar Ezio.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN