Eps. 5 Tercebur Kolam Ikan

1038 Kata
Untuk lebih memastikannya Agni mengambil termometer dari kotak P3K. Dia kemudian mengukur suhu tubuh Ezio. Di sana berbagai peralatan yang dibutuhkan tersedia. Memang sekolah elite berbeda dengan sekolah PAUD biasa pada umumnya yang tidak dilengkapi dengan ruang UKS. "Ezio, buka tanganmu," pinta Agni. "Ya, Bu." Setelah Ezio mengangkat sedikit lengan, Agni menaruh termometer di ketiak Ezio, kemudian mengatupkan rapat lengan Ezio. Terdengar bunyi dari termometer. Agni kemudian menarik keluar termometer dari ketiak Ezio untuk melihat berapa suhu tubuhnya sekarang. Empat puluh sembilan derajat celcius. Membuat Agni panik. Pada suhu tersebut seseorang harus dibawa ke rumah sakit. Takutnya akan mengalami kejang dan gejala berbahaya lainnya yang akan berakibat fatal jika salah penanganan. Sungguh, kondisi ini membuatnya teringat pada putranya yang meninggal di usia tiga tahun. Putranya itu meninggal dikarenakan demam tinggi dan terlambat dalam penanganan, hingga napasnya berakhir di rumah sakit sebelum ditangani. "Ezio ... kita pergi ke rumah sakit sekarang." Agni sungguh nampak panik luar biasa. "Ibu, aku, aku tak mau ke rumah sakit. Aku maunya pulang saja. Tolong telepon ayahku." Agni menggelengkan kepala. Aku tidak mau berurusan dengan pria itu. Salah-salah jika aku meneleponnya kena marah atau disalahkan karena Ezio sakit. Lebih baik aku menjauhi Pak Niko. Ribet jika harus berurusan dengan pria itu. Ezio bisa mendengar isi hati Agni dengan jelas. Bu Agni ... ternyata dia benar tulus mau membantuku. Tak ada niat terselubung. "Ezio, kita ke rumah sakit saja," desak Agni. Sungguh dia takut jadi sesuvatu pada Ezio. Ezio nampak tenang meski merasa panas dan wajahnya memucat. Dia malah menatap lekat Agni. Bu Agni ... kurasa kamu cocok dengan ayahku. Kamu berbeda dari wanita lain yang tergila-gila mengejar ayahku. Ezio malah terkekeh sendiri membayangkan jika Agni dan Niko bersatu. Namun lamunannya itu buyar seketika tatkala Agni menariknya ke luar dari ruang UKS. Dia baru sadar jika gurunya itu akan membawanya ke rumah sakit. "Bu Agni, tunggu sebentar. Aku mau bicara dulu dengan ayahku sebelum berangkat ke rumah sakit." "Buat apa Ezio? Lebih baik kamu segera ditangani dulu baru nanti Ibu kabari Pak Niko." Agni keukeuh tidak mau menghubungi Niko. Dia sungguh sangat-sangat malas sekali berurusan dengan pria berkarakter bossy begitu. "Jika begitu aku tidak mau pergi ke rumah sakit." Terdengar suara embusan napas pendek berulang kali dari Agni. Dengan terpaksa, janda itu menarik keluar ponsel dari balita dan mulai menghubungi nomor Niko. "Ezio, tapi ketika telepon tersambung kamu bicara sendiri dengan ayahmu," imbuh Agni. Sampai segitunya dia tak ingin berurusan dengan Niko. Telepon kemudian tersambung setelah beberapa saat. Agni kemudian menempelkan segera ponsel itu ke telinga Ezio. Biar anak itu yang menelepon sendiri. Daripada dirinya yang bicara dan membuat kupingnya panas. "Halo, Ayah. Badanku panas. Aku mau ke rumah sakit. Ini, Bu Agni mau mengantarku ke sana," lapor Ezio. "Apa ... kamu panas? Bagaimana bisa, padahal tadi pagi kamu baik-baik saja? Jangan ke rumah sakit. Ayah akan kirimkan orang untuk menjemputmu." Niko tidak mengizinkan pergi ke rumah sakit karena dia punya dokter keluarga sendiri biasa mengobati dirinya ataupun Ezio ketika sakit. Jika jerawat di rumah sakit pastinya akan lama butuh beberapa hari baru bisa pulang. Itu sangat menguras waktu dan tenaga Niko. "Aku hanya memberitahu ayah saja. Jika begitu aku berangkat sekarang ke rumah sakit bersama Bu Agni." Padahal Ezio inginnya dijemput oleh Niko bukan pelayan di rumah. Beberapa detik terasa hening hingga Niko pada akhirnya bersuara kembali. "Baiklah, Ayah akan menjemputmu sekarang." Setelahnya panggilan berakhir. Ezio kegirangan dalam hati, dengan sedikit ancaman saja bisa merubah pikiran Niko. Sekarang tinggal menunggu saja pria itu datang menjemput dirinya. "Bu Agni, ini ponselnya." Ezio mengembalikan ponsel yang sudah mati. Sekarang Agni yang bingung. Meski Ezio tidak bilang secara langsung padanya tapi dia mendengar dengan jelas percakapan anak itu tadi dengan Niko. "Ezio ... kita tetap berangkat ke rumah sakit sekarang, bukan?" Anak itu menggelengkan kepala. "Sebentar lagi ayah akan datang ke mari membawaku pulang, Bu." Kembali terdengar dengusan dari Agni. Kenapa anak dan ayah sikapnya sama begini? Ia sungguh heran sekali. Demi apapun, setelah pertemuannya dengan Niko tadi, ia tak ingin bertemu dengan pria itu untuk beberapa waktu ke depan. "Ezio, jika begitu kamu kembali ke ruang UKS saja. Di sana ada guru lain yang akan menunggu dan Ibu akan kembali ke kelas." Agni beralasan supaya bisa menghindar bertemu dengan Niko. Ezio menunjukkan muka sakitnya dengan mendesis beberapa kali. Ia ingin mempertemukan Agni dengan ayahnya. Jadi dia bisa mungkin mengulur waktu untuk menahannya pergi. "Tidak, Bu Agni. Sebentar lagi Ayahku akan datang, tolong temani aku sebentar di sini." Ezio bahkan pura-pura sedikit limbung, membuat Agni menangkapnya sebelum jatuh. Astaga! Semoga saja Pak Niko cepat datang, Ezio bisa cepat ditangani dan aku bisa cepat pergi dari sini. Ezio terkekeh dalam hati mendengar suara hati Agni. Dia merasa aneh sekali apa kurangnya Niko hingga dia menghindari pria cool seperti ayahnya. Tak lama kemudian Niko tiba. Pria itu berjalan dengan langkah cepat menuju ke kelas. "Ayah, aku di sini!" teriak Ezio memanggil. Posisinya sendiri saat ini Ezio berada di depan kelas dekat dengan pintu gerbang masuk sekolah. Jika dia tak memanggil xmungkin Niko tak akan masuk ke kelas. "Ezio!" Mendengar panggilan dari putranya, Niko berhenti. setelah mengetahui di mana Ezio berada, ia segera bergeser ke tempat itu. "Apa yang terjadi denganmu? Bagaimana bisa sampai demam begini?" Niko tentu saja langsung menyentuh dahi Ezio. Tangannya itu terasa terbakar kala menyentuh dahi Ezio. Ezio diam, bukannya dia tak ingin menjelaskan tapi masih merangkai kata agar dia tidak dimarahi oleh Niko. Jika tahu kronologis kejadiannya sebenarnya sudah itu pasti akan marah sekali. "Pak Niko, tadi Ezio tercebur ke kolam ikan saat bermain dengan temannya. Saya sudah ganti bajunya tapi rupanya dia langsung demam. Jika tidak dibawa ke rumah sakit, sebaiknya segera ditangani." Agni menjelaskan. Ezio kemudian mengangguk seolah mengiyakan penjelasan dari Agni. "Bagaimana bisa Ezio sampai tercebur kolam ikan, Bu?" Sungguh tatapan Niko kali ini seperti menyalahkan dan menyudutkan Agni. "Maaf, Pak Niko. Saya sendiri kurang begitu tahu kronologis kejadiannya. Anda bisa tanyakan nanti pada Ezio. Sebaiknya sekarang Ezio segera dirawat." Niko sama sekali tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Agni. Alih-alih jawaban itu menjawab rasa penasarannya, malahan jawaban itu menyulut emosinya. Wanita ini ... kenapa dia seolah mendikteku saja? Bagaimana kondisi Ezio, aku yang lebih tahu darinya. Dia tahu apa? Saat ini sepasang alis gelap Niko terpaut erat, menatap tajam Agni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN