Eps. 6 Pria Arogan

1020 Kata
"Maaf, Ezio tidak akan aku bawa ke rumah sakit. Dia tidak cocok dengan sembarangan dokter. Hanya dokter keluarga yang bisa menanganinya." Niko tak berpanjang kata lagi. Dia tak ingin bicara dengan Agni. Terlebih melihat mukanya saat ini, semakin membuatnya bertambah kesal saja. Wanita sok tahu. Bagaimana bisa dia menjadi guru? Apa dia masuk ke sekolah ini tanpa tes dan lewat koneksi? Ezio yang ada di sana diam. Tanpa dijelaskan dia bisa melihat raut muka Niko yang kesal. Kenapa sebenarnya ayah bisa sebal dengan Bu Agni? Padahal Bu Agni guru yang sangat baik, dia tulus ketika membantu tidak seperti guru dan kebanyakan wanita lainnya. Andai saja Ayah punya kemampuan seperti diriku. "Ayah, Bu Agni ini yang tadi membantuku. Tanpanya, mungkin aku sudah tenggelam di kolam," jelas Ezio. Dia ingin menunjukkan sisi positif wanita tersebut di depan Niko, untuk menarik simpati ayahnya. Niko kembali menautkan sepasang alis gelapnya. Kemudian beralih menatap Ezio dengan tatapan tajam. Baru kali ini ia mendengar putranya itu memuji seseorang, tepatnya seorang wanita. Padahal biasanya Ezio tidak pernah membela sederetan wanita yang dekat dengan Niko. Yang ada putranya itu selalu berbuat ulah yang membuatnya kesal. Apa maksud Ezio? Apa dia punya maksud tersembunyi? Mau apa dia? "Tidak perlu sungkan, Pak Niko. itu hanya kewajiban saya saja sebagai seorang guru di sini." "Terima kasih jika begitu," ketus Niko, mengira Agni berkata begitu hanya ingin mendapatkan rasa terima kasih darinya atau mendapatkan hadiah darinya. Karena selama ini setiap wanita yang bertemu dengannya tak pernah ada yang tulus, selalu ada maksud tersembunyi di balik kebaikan mereka. Jadi, Niko sudah terbiasa dengan itu. Parahnya dia memukul rata semua wanita begitu. Astaga! Pria ini benar-benar ketus, juga arogan. Bilang terima kasih saja dia terpaksa. Padahal, Aku tidak mengharapkan terima kasih sama sekali darinya. Agni menggeram tertahan. Dia sebal dengan pria berkarakter seperti Niko. Mentang-mentang dari kalangan atas bisa bersikap semaunya. Apa saja dan siapa saja menurutnya tidaklah penting. "Baik, Pak, saya permisi dulu." Agni berpamitan. Dia tak ingin bicara lagi dengan Niko. Ia kemudian beralih menatap Ezio. "Cepat sembuh ya, Ezio. Jika besok belum enakan, lebih baik tidak masuk sekolah dulu," imbuhnya. "Ya, Bu." Agni pergi dari sana, kembali ke kelas. Masih banyak hal yang harus dia tangani di sana setelah mengurusi Ezio. Sayang sekali, hanya sebatas ini yang bisa kulakukan. Mungkin lain waktu ada kesempatan lagi." Ezio sungguh menyayangkan kesempatan yang ada. Ia berusaha mendekatkan mereka berdua namun kembali gagal. Bahkan sampai demamnya pun sampai tak ia rasakan. "Ezio, cepat masuk ke mobil. Aku sudah menelepon dokter keuraga. Mungkin dia hampir sampai sekarang. Jika kita tidak bergegas maka dokter akan menunggu lama." Ezio mengangguk merespons. Niko dan Ezio lalu menuju ke mobil. Baru saja anak itu duduk, Niko langsung memacu mobilnya membelah jalanan ramai di depan sana. Tak Butuh waktu lama perginya untuk tiba di rumah. "Dokter Eki!" sapa Niko begitu dia turun dari mobil. Dokter Eki adalah dokter yang khusus merawat keluarga Niko. Siapapun ya sakit di rumahnya akan dirawat oleh dokter tersebut. Dokter panggilan itu tentunya bukanlah seorang dokter biasa tapi dokter yang sudah berpengalaman di sebuah rumah sakit besar. Tentu saja bayarnya jangan ditanya berapa, sudah pasti besar. Karena membuat pria itu datang kapanpun saat dia memanggil meski dokter Eki sendiri sedang sibuk menangani pasien. Mereka berdua datang di saat bersamaan. Beruntung, Niko tak membuat dokter keluarga menunggu. "Siapa yang sakit, Pak Niko?"ujar dokter Eki. "Ezio, dok. Dia demam setelah tercebur kolam. Tolong tangani dia. Bila perlu berikan obat yang bisa membuatnya sembuh dalam waktu kurang dari tiga hari saja. Apakah Anda bisa, dok?" "Saya tidak menjanjikan tapi akan berusaha sebaik mungkin." Mereka bertiga kemudian masuk ke rumah. Di kamar Ezio, dokter Eki mulai memeriksa kondisi Ezio. "Ini resepnya, Pak Niko. setelah minum obat ini tak sampai dua jam lamanya, Ezio akan tertidur." "Ya, dok." Dokter bicara beberapa saat dengan Niko setelah selesai memeriksa Ezio. *** "Akhirnya bisa pulang juga. Sungguh melelahkan sekali hari ini." Agni tiba di rumah pada siang hari. Ia membuka pagar kemudian kembali menaiki motornya. Di dalam sana dia kembali menutup pagar rumah, baru mengayun gagang pintu. Agni memandangi rumah sederhana peninggalan almarhum suaminya. Meski rumahnya berukuran sedang namun dia nyaman menghuni rumah tersebut. Ya, dia seorang janda. Setelah tiga tahun pernikahan, suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sepulang bekerja. "Aku pulang, Mas." Itu adalah kebiasaan yang selalu Agni ucapkan ketika dia masuk ke rumah. Karena sudah kebiasaan jadi sukar untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Tapi jauh di lubuk hatinya sana dia masih terus mengenang dan mengingat almarhum suami tercintanya. Dengan memanggilnya sama saja itu mengobati rasa rindunya selama ini. Selama empat tahun sepeninggalan almarhum suami, Agni tak bisa move on. Dia kesulitan menemukan sosok pria yang baik seperti almarhum suaminya. Di dinding yang bercat warna kuning muda itu juga tergantung foto seorang bayi. Bayi yang berusia satu tahun dan duduk di sofa bayi sedang tersenyum. "Ibu rindu sekali padamu, Nak. Jika saja kamu masih hidup, kamu pasti sudah seusia anak bersekolah PAUD. Jika kamu sekolah pasti ibu yang akan mengajarimu sendiri. Maafkan Ibu, tidak bisa menjagamu dengan baik." Agni tiba-tiba saja berembun matanya. Tapi memang biasanya begitu kebiasaan Agni. selalu bersedih kala teringat pada suami dan putranya. Dengan mata yang berembun, Agni kemudian kembali berjalan masuk lebih dalam. Dia menuju ke kamar dan menaruh tasnya di sana. Kamar berukuran tiga meter kali dua setengah meter itu tertata dengan rapi. Di dekat jendela ada sebuah lemari pakaian di samping tempat tidurnya terdapat sebuah meja kecil. Di meja itu terdapat sebuah foto keluarga yang ia taruh. Seharusnya dia menyimpan semua foto kenangan nah suami juga anaknya yang sudah meninggal, namun, semua itu tak ia lakukan. Ia masih merasa dua orang yang disayanginya itu hidup dalam rumah ini. Agni berganti baju. Selepas ganti baju dia membuka daun jendela, membiarkan udara masuk ke kamarnya. Ia duduk menghadap ke arah jendela. Baru beberapa saat dia duduk, terdengar suara deringan ponsel dar dalam tas. "Siapa yang menelepon?" Lekas, Agni mengambil ponsel dari dalam tas. Terlihat nomor salah satu temannya yang memanggil. Karena penasaran Ada apa agar dia pun langsung mengangkatnya. "Halo ... apa kabar?" "Agni ... nanti kamu ada acara tidak? Jika tidak ada acara, ikutlah denganku ke sebuah acara."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN