Eps. 7 Pesta Dinner

1110 Kata
"Acara? Acara apa?" lontar Agni. Dia tidak tahu temannya itu mau mengajaknya pergi ke acara apa. "Acara makan malam biasa di kantor." Agni termenung, jika acara makan malam kantor tentunya akan dihadiri oleh orang kantor saja sedangkan dirinya adalah orang luar tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kantor tempat temannya itu bekerja. "Hey, aku tidak bekerja di kantorku. Mana boleh aku ikut acara di kantormu? Bagaimana bila aku diusir dengan tidak hormat setelah tiba di sana? Apa itu tidak memalukan?" sarkas Agni. Lebih baik dia bicara terus terang tapi menyakitkan, daripada menyesal kemudian. Meski dia lembut di luar, namun sebenarnya Agni tegas. Jika tidak, mana mungkin dia berprofesi sebagai seorang guru. Dan diusir adalah suatu peristiwa yang paling memalukan bagi dirinya. Dia masih punya harga diri. "Jika aku mengajak dirimu pergi, artinya itu aman. Jadi kamu tak perlu risau." Tetap saja bagi Agni suatu yang kurang jelas membuatnya tidak tertarik. Dia tipikal yang tidak suka dengan sesuatu yang rumit, tidak jelas dan berbelit-belit. Dalam hal kecil saja semisalnya. Jika di malam hari dia tidak bisa tidur, dia akan habiskan waktunya dengan membaca Novel. Jika tidak menarik maka dia tidak akan lanjut membacanya. "Bunga, maaf. Aku tidak tertarik dengan acara makan malam di kantormu." Bunga adalah teman Agni yang meneleponnya saat ini. Bisa dibilang mereka adalah teman dekat saat kuliah dulu. Mereka satu kampus tapi beda jurusan. Namun mereka malah dekat. Bahkan sampai masing-masing sudah bekerja pun, mereka tetap berhubungan. " Hey! Jangan tutup teleponnya dulu. Please, temani aku hari ini. Atasanku bilang untuk acara makan malam kali ini boleh mengajak orang luar, siapa saja. Kekasih atau siapa pun," mohon Bunga. Bunga tak punya kekasih atau teman dekat lainnya, selain Agni. Datang sendiri ke acara tersebut rasanya tidak nyaman. Sebisa mungkin dia harus bisa membujuk Agni. Apapun itu itu caranya. Dia tak mau datang sendiri ke sana. Dengan berat hati, setelah berpikir akhirnya Agni setuju juga. Bukannya dia menginginkan hadir di acara itu tapi lebih karena kasihan pada temannya itu. Telepon berakhir setelahnya. Agni memutar bola mata dengan malas menatap jam yang tergantung di dinding. Bunga menyebutkan jika acaranya kisaran jam tujuh malam. "Itu artinya tiga jam kurang dari sekarang." Terdengar helaan napas panjang dari Agni. Padahal niatnya dia ingin beristirahat sejenak di rumah. Menikmati sisa waktu sampai dia berangkat ke peraduan, setelah lelah seharian berkutat dengan pekerjaannya. Nyatanya sekarang dia harus mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dia pakai pelajaran dinner malam ini. Di tengah rasa lelah, juga rasa malas, Agni menuju ke lemari pakaian. "Gaun malam mana yang harus kupakai untuk acara nanti?" Agni membuka lemari. Di lemari ada tiga helai gaun. Entah gaun dari zaman tahun berapa, yang jelas modelnya terlihat model lama. Agni sendiri jarang mengenakan gaun. Almarhum suaminya tidak pernah mengajaknya ke acara penting yang harus mengenakan gaun. Jadi, dia hanya punya stok sedikit. Setelah lama memilih, ia pun memilih satu gaun yang dirasa pas dengannya. Sebuah gaun berwarna mint. Agni mengambil gaun tersebut dan menaruhnya begitu saja di tempat tidur. Setelahnya dia pergi ke kamar mandi. Terdengar suara bel ditekan, di luar sana, dua jam kemudian. "Itu pasti Bunga." Agni kemudian mengambil langkah cepat menuju ke pintu. Saat pintu terbuka, seorang wanita menyembul dari balik pintu. Wanita berambut panjang yang kini digelung rapi rambutnya, tersenyum menatap Agni. "Kamu sudah siap?" tanyanya. "Menurutmu?" Agni sudah memakai gaun dan memulas wajahnya dengan make up tipis tinggal mengenakan heels dan tas saja. Bunga berhenti kemudian merangkai kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Agni. "Kamu yakin tidak ganti gaun?" Agni menggeleng, "Ada apa dengan bajuku?" "Mungkin kamu akan lebih cocok memakai gaun berwarna lainnya." "Tidak. Dua gaunku lainnya berwarna kuning dan putih saja. Jika harus ganti lagi dan menyewa, aku batal ikut denganmu," frontal Agni. Dia malas jika harus berganti gaun lagi. Itu artinya dia harus menyesuaikan make up dengan gaun yang dia kenakan nanti. Itu cukup membuang waktu. "Oh, ya sudah, tak apa. Gaun itu juga bagus kamu pakai. Tidak usah ganti." Dengan senyum tertahan, Bunga terpaksa berkata demikian. Meski lain dengan apa yang ada di hatinya. Jujur saja, selain warna pilihan Agni tidak pas, gaun itu juga sudah out of date. "Kita berangkat dulu sekarang atau mau duduk dulu di dalam?" lontar Agni karena temannya itu masih terus menatapnya. "Tentu saja kita berangkat." Buat apa juga masuk ke rumah kalau Agni saja tetap keras kepala dengan pendiriannya? Lebih baik berangkat saja, daripada membuang waktu. Bunga dan Agni kemudian masuk ke mobil yang di parkir di depan rumah. Bukan mobil mewah tapi setidaknya nyaman dipakai. Mobil kemudian melaju di jalanan raya, membelah padatnya malam hari ini hingga tiba di sebuah kantor. Bunga dan Agni turun dari mobil setelah memarkir mobil di tempat parkir yang penuh. Beruntung mereka masih mendapatkan tempat untuk parkir. Nampak beberapa orang keluar-masuk. Suasana di luar saja terlihat ramai. Apalagi di dalam sana, pasti lebih ramai lagi. "Agni, coba lah untuk tenang," tandas Bunga sebelum memasuki pintu masuk. Agni nampak tidak tenang. Entah gugup atau bagaimna, yang jelas dia nampak kikuk. "Kamu yakin, aku tidak apa ikut ke acaramu?" Bunga sampai lelah harus mengangguk berapa kali. Tanpa berkata lagi, ia pun menarik Agni masuk ke ruangan. Di dalam ruangan, Agni lebih canggung lagi. Di sana banyak orang yang tidak dikenalnya, hanya Bunga seorang. Bunga yang tahu itu, segera mengajak Agni ke sisi ruangan di mana di sana terhidang menu makanan pembuka yang tindakan untuk semua tamu undangan yang hadir. "Kita makan di sini saja tidak usah gabung dengan yang lainnya." Agni mengangguk. Kemudian mengambil kue klappertart yang ada di meja. "Sebenarnya ada acara apa di kantormu mengadakan dinner?" cicit Agni. Sedari tadi dia tidak tahu informasi lengkapnya. "Ini adalah acara syukuran. Kantor kami surplus banyak beberapa waktu ini. Jadi, semua karyawan diundang untuk acara dinner kali ini." Bunga sendiri bekerja di salah sebuah perusahaan besar yang ada di Jakarta. Dia menjabat sebagai staf marketing. Ditangannya, perusahan ini mendapatkan banyak klien. "Jadi, bos kamu juga hadir dalam acara ini?" "Tentu saja." Dari arah pintu selatan, masuk seorang pria dengan setelan jas nevi yang rapi memasuki ruangan. Semua pasang mata menyorot pada sosok tersebut. "Itu ... itu bosku!" tunjuk Bunga. Membuat Agni melihatnya. Di bawah sorot lampu yang temaram, dia tak bisa melihat dengan jelas sosok pria itu. Hanya posturnya saja yang nampak sempurna, tinggi menjulang dengan tubuh proporsional. Kenapa aku merasa seolah melihat seseorang yang familier di sini? Agni terus menatap lekat sosok tersebut hingga berdiri di bawah sorot nyala lampu yang terang, menampilkan wajah pria itu seutuhnya. Astaga! Pria itu ... pria itu adalah Pak Niko! Sepasang bola mata Agni sampai membeliak menatapnya. Dia tak menyangka sekali pria menyebalkan itu adalah bosnya Bunga. Agni sampai memejamkan mata. Ini musibah, aku datang ke mari. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN