Aku berdeham pelan begitu selesai mandi dan berganti pakaian. Nafi sudah menatapku tajam, seolah menyuruhku untuk segera buka suara. Aku memilih untuk mandi dulu agar badan lebih terasa ringan. Aku mengambil hair dryer, lalu mengeringkan rambut di depan kaca. Saat aku menatap Nafi lewat pantulan, dia masih saja pasang ekspresi yang sama. “Sengaja lama-lamain, ya, Mil?” tanyanya dengan nada galak. “E-enggak. Rambutku, kan, emang tebal. Lama keringnya. Sabar, dong!” “Ya udah, aku tunggu. Pokoknya aku enggak pulang kalau kamu belum cerita. Kalau enggak mau cerita, siap-siap aja aku sebarin foto kalia—” “Jangan, jangan! Iya, habis ini aku cerita. Tunggu bentar lagi.” “Oke.” Nafi mengangguk. “Jangan beralasan pergi berdua karena kerja, ya? Kamu kemarin jelas-jelas bilang pulang ke Jogja.