“Diminum dulu, Mil,” ujar Mas Rivan sembari menyerahkan satu gelas air putih hangat padaku. Dengan tangan yang masih agak gemetar, aku menerima gelas itu. “Terima kasih, Pak.” Aku meminumnya pelan, lalu diam sembari memejamkan mata. Aku terus berusaha menenangkan diri sebisa mungkin. Bahkan setelah dibawa pergi Mas Rivan, detak jantungku belum juga kembali normal. “Udah lebih tenang sekarang? Atau belum?” Aku menggeleng. “Belum.” Aku mulai menangis lagi. Mas Rivan mengambil tisu dan menyerahkannya padaku. Ngomong-ngomong, aku dibawa ke sebuah villa pagar kayu di pinggiran kota. Aku tidak yakin ini di mana, tetapi kurasa di Bogor. Pasalnya, Mas Rivan mengendarai mobil cukup jauh. Udara di sekitar juga relatif dingin. “Udah?” tanya Mas Rivan lagi. Aku mengangguk. Aku mengusap air mata