Ch.07 Penasaran Yang Menjalar

1791 Kata
Marina duduk di tepi ranjang, menatap nanar ke arah botol anggur merah yang berdiri di meja kecil di samping tempat tidur. Labelnya berkilau di bawah cahaya lampu kuning yang temaram. Château Margaux 2015. Anggur itu seharga $1800 dolar, masih tertutup bersegel. Botol baru, bukan yang tadi dibuka di meja dan entah bagaimana sekarang menjadi miliknya. Nama itu bergema terus di kepalanya, Draco Lycenzo. Memori memutar ulang kejadian menegangkan di restoran, di mana ia hampir saja ditangkap dan digiring ke penjara karena tidak bisa membayar selesai makan. Lalu, mendadak situasi berubah sedemikian cepat. Manajer yang mengejeknya orang miskin tiba-tiba memandang ketakutan dan meminta maaf seolah ia baru saja diancam oleh …. Mata sendu Marina memandangi botol itu seperti benda misterius yang tak seharusnya berada di sana. “Siapa sebenarnya kamu, Draco?” gumamnya pelan. Pria itu muncul hanya lewat telepon, tetapi dalam waktu sesingkat itu mampu menghentikan polisi, menundukkan manajer restoran, bahkan melunasi semua tagihan tanpa perlu tanda tangan atau persetujuan kartu kredit apa pun. Ia kembali mengingat ekspresi ketakutan manajer restoran, wajah yang seolah melihat malaikat maut turun dari langit setelah menerima telepon dari sang pemilik. “Tidak mungkin hanya pengusaha biasa,” desis Marina lirih. Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di kamarnya yang redup. Sesekali kuku di ibu jarinya ia gigiti saking gugup dan penasarannya terhadap sosok lelaki yang dijodohkan dengannya. Setiap langkah terasa berat oleh pertanyaan yang menggantung di udara. Seolah Draco tidak hanya tahu di mana ia berada, tetapi juga tahu persis kapan harus menolong. Seolah ada mata yang mengawasinya tanpa henti. “Bagaimana dia bisa tahu?” Kepala berambut cokelat menggeleng, “Pasti hanya kebetulan semata. Ya, dia menelepon hanya untuk mengabari kalau besok tidak jadi bertemu. Dan kebetulan, aku sedang ditinggal Antonio di restoran.” Ponsel tergeletak di meja, diam tanpa cahaya. Ia mengambilnya, menatap layar kosong, berharap ada yang tiba-tiba menghubunginya secara misterius. Akan tetapi, tidak ada apa-apa. Draco Lycenzo seperti angin. Datang tiba-tiba, meninggalkan jejak kekuasaan, lalu menghilang tanpa suara. Marina menekan pelipisnya yang berdenyut. “Aku harus tahu siapa dia.” Jari-jarinya meraih ponsel, mengaktifkan layar, lalu berhenti di ikon kontak. “Mungkin Bibi Carol tahu sesuatu.” Ia pun menekan nama itu. Panggilan tersambung. Suara lembut terdengar dari seberang. “Marina? Sudah malam kenapa menelepon, ada apa, Dear?” Marina menarik napas panjang. “Bibi, aku ingin tanya sesuatu. Apa Bibi tahu siapa itu sebenarnya Draco Lycenzo yang akan dijodohkan denganku?” Hening sejenak di ujung telepon, hanya suara deru napas Marina yang terdengar. Lalu, wanita paruh baya itu menjawab, “Saat dulu ayahmu menyelamatkannya di pinggir pantai, 25 tahun lalu, tidak banyak yang kita tahu.” “Bibi hanya diberitahu oleh ayahmu kalau keluarga Lycenzo adalah keluarga pengusaha. Itu saja.” Marina duduk di kursi, menatap anggur itu lagi. “Jadi cuma pengusaha?” “Sepertinya iya. Kenapa? Kamu sudah bertemu dengannya atau belum? Bagaimana perkembangan kemajuan pernikahan kalian?” Suara sang keponakan lirih menjawab, “Kami belum bertemu. Susah sekali mencari waktu di antara kami berdua. Kalau aku bisa, dia tidak bisa. Begitu pula sebaliknya. Aku hanya ingin tahu dia siapa karena … entahlah, dia sepertinya bukan orang biasa.” Tawa pelan Bibi Carol terdengar. “Kalau begitu, tanya saja langsung padanya nanti saat kalian bertemu.” “Landasan pernikahan yang paling utama adalah kejujuran dan keterbukaan. Semoga dia orang baik yang mau jujur padamu mengenai dirinya, keluarganya, pekerjaan, dan lain-lain.” Ucapan itu membuat Marina menghela. “Ya, baiklah. Aku akan tanya kepadanya nanti saat kami bertemu. Terima kasih, selamat malam.” Nona Woodhsen sekali lagi menatap ponselnya yang kini kembali hening. “Ya, mungkin itu jalan satu-satunya.” Desis pelan terucap sambil menatap lagi botol anggur mahal itu. “Semoga setelah ini tidak lagi ada masalah yang membuatku gagal bertemu dengannya. Dia … aku harap dia bisa sungguh menjadi lembaran baruk setelah Antonio.” *** Asap rokok menebal di ruangan khusus yang hanya diterangi lampu gantung berwarna kuning redup. Aroma cerutu Kuba mengepul di udara bercampur dengan bau alkohol kencang. Tiga wajah pria yang menjadi simbol kekuatan dunia gelap bawah tanah terlihat duduk di satu meja bundar yang sama. Draco duduk di kursi kulit hitam, mengenakan kemeja gelap yang lengan atasnya digulung. Di seberangnya ada Draven, kembarannya. Pria yang berwajah identik dengannya itu menyandarkan tubuh dengan posisi santai, tetapi tatapannya tajam seperti bilah pisau. Sementara itu, sang sepupu, yaitu Keane duduk di antara mereka, menatap dua kembar dengan tenang. “Gudang kita di pelabuhan Kanada terbakar semalam,” ujar Draven sambil meniup asap cerutunya. Suaranya bengis, mengandung bara dendam yang tertahan. “Orang-orang Moretti menandai kapal kita. Mereka jelas ingin perang.” Ia meletakkan cerutu di asbak, jari-jarinya mengetuk meja penuh amarah tertahan. “Kita harus balas sekarang sebelum mereka mengira Klan Lycenzo sudah mati.” Draco menatap kembarannya dingin tanpa ekspresi, lalu mengambil segelas bourbon dari meja. “Aku setuju,” ujarnya datar. “Terlalu lama kita diam, mereka lupa siapa yang menguasai lintas lautan.” Ia meneguk minumannya pelan, lalu menatap Keane dari balik kepulan asap. “Kalau kita tidak bergerak sekarang, kita akan diremehkan terus. Sejak kapan Lycenzo diam saja ketika diusik?” “Dunia bawah tidak menghormati kelemahan. Musuh akan melahap kita hidup-hidup sedetik saja kita terlihat lemah,” timpal Draven menyeringai. Dua lelaki kembar bersamaan menatap sepupu mereka yang merupakan Putra Mahkota utama, putra dari Reagan Aaron Lycenzo, pemimpin Klan Lycenzo saat ini. Keane menyandarkan punggung gagah ke kursi, wajahnya tampak lelah dan sama marahnya seperti kedua sepupu. Akan tetapi, sorot mata selalu penuh perhitungan. “Aku sudah bicara dengan ayahku,” katanya perlahan. “Dia tidak mengizinkan serangan apa pun sebelum penobatan Antonio Zambrotta selesai.” Sebuah informasi yang diucap tegas, lebih menyerupai keputusan final. Kedua kembar itu terdiam sesaat. Hanya suara denting es dari gelas Keane yang memecah kesunyian. “Ayahku bilang semua tindakan besar harus dikoordinasikan antar klan. Lycenzo, Zambrotta, dan beberapa klan lain adalah sekutu. Jika satu menyerang tanpa sepengetahuan dan persetujuan lainnya, kita dianggap memecahkan diri.” Draven mendecak keras. “Sementara kita menunggu, Moretti bisa menanam bom di gudang berikutnya. Aku tidak mengerti kenapa kita harus tunduk pada aturan sekutu yang lelet ini. f**k!” Ia memukul meja dengan kepalan tangan, membuat abu cerutu beterbangan. “Ayahmu terlalu berhati-hati, Keane. Dunia mafia tidak mengenal aturan bertele-tele! s**t! Kita lama-lama menjadi pengecut!” desis Tuan Muda Lycenzo yang memang lebih temperamen daripada kembarannya tersebut. Keane menatapnya dengan tatapan tajam yang sama dinginnya. “Hati-hati bicara tentang pemimpin kita di depanku, Draven,” katanya bernada dingin, tetapi penuh peringatan. “Ayahku bukan pengecut. Tapi satu langkah salah, kita bisa memicu perang antar sekutu. Itu bukan strategi, itu bunuh diri. Kita kuat bersama sekutu.” Draco tertawa kecil, suara tawanya serak sembari mengepulkan asap rokok ke udara. “Tenang, tenanglah kalian semua” ujarnya sambil menepuk bahu kembarannya. “Keane benar. Kita harus sabar kali ini.” “Saat penobatan Antonio, kita akan bicara langsung dengannya. Setelah itu, Moretti akan menyesal pernah menyentuh pelabuhan kita.” Ia lalu memainkan pemantik rokok berbentuk segi empat dari besi berwarna hitam legam dengan lambang serigala di bagian depan. Apinya ia nyalakan, lalu menatap dengan seringai bengis ke arah cahaya terang tersebut. “Aku ingin Moretti hancur perlahan, bukan cepat. Mereka harus belajar arti ketakutan karena berani bermain dengan Lycenzo.” Desis suara Draco selalu menggema menyeramkan di kegelapan ruang rahasia tempat mereka bertemu malam ini. Draven mendongak dengan kekeh mengejek ke udara. “Antonio Zambrotta ...?” ucapnya penuh nada merendahkan. “Pria itu bahkan tidak pantas disebut pemimpin.” “Dia lebih banyak menghabiskan waktu di klub malam, bermain penari telanjang daripada mengurus klan dan bisnis. Aku yakin ayahnya yang sudah di dalam tanah lama-lama akan bangkit dari kubur kalau tahu kelakukannya!” kekeh Draven menggeleng, lalu menyesap Bourbon-nya. Keane tersenyum datar, tetapi matanya menatap lekat. “Hati-hati, Draven,” katanya pelan. “Kadang orang yang tampak lemah bisa jadi justru menyimpan sesuatu yang mematikan.” Draco mematikan rokoknya di asbak, suaranya berat dan dingin. “Pemberitahuan kalau kita mau menyerang Moretti sebenarnya hanya sekadar formalitas. Supaya kalau nanti pertempuran meletus, sekutu kita sudah tahu alasan penyerangan dan mereka siap membantu.” Keane mengangguk, “Sampai penobatan itu selesai, kita tunggu. Tapi setelah itu ...?” Ia menatap kedua sepupu kembarnya bergantian. “Tidak akan ada belas kasihan untuk Klan Moretti.” Draven terkekeh, “Aku suka itu! Anggap saja darah Moretti adalah hadiah kita untuk pernikahan Draco!” Yang disebut namanya melirik dan tersenyum tanpa ekspresi. “Hmm,” desisnya menanggapi, lalu meneguk sisa Bourbon di dalam gelas. Keane ikut menimpali, “Kamu sudah bertemu dengannya? Bagaimana dia? Apa dia takut denganmu?” Draco tertawa dingin. “No, aku belum bertemu dengannya. Kami sama-sama sibuk. Tapi, aku sudah beberapa kali berbicara dengannya di telepon.” Lalu, ia segera menghentikan pembicaraan mengenai kehidupan pribadinya. Sejak dulu, Draco tidak suka membuka apa pun mengenai isi hati kepada siapa pun. “Pernikahanku tidak untuk kita bahas malam hari ini.” Baiklah, kita tunggu momen di mana Draco bertemu dengan Antonio dan mari kita lihat apa yang terjadi setelahnya. *** Cahaya matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menyentuh kulit Antonio yang telanjang tak tertutupi sehelai kain pun di atas ranjang king size. Tubuh terbaring dengan seorang wanita berambut pirang di sebelahnya. Rodee …. Nada panggilan dari ponsel di meja samping tempat tidur memecah mimpi sang pria, membangunkannya. Antonio mengerjap malas, mengambil gadget kotak, lalu menatap sekilas ke layar yang menampilkan nama Mommy. Dengan suara berat dan serak karena terlalu banyak minum alkohol semalam, ia menekan tombol loudspeaker. “What, Mom?” engah sang pria terdengar sangat malas berbicara. “Antonio, kamu baru bangun? Mommy ingin mengingatkan bahwa malam ini akan ada pesta ulang tahun Grandma Cicilia. Semua keluarga akan datang. Mommy ingin kamu hadir.” Suara ceria sang ibu berhenti sejenak. “Jangan lupa bawa Marina bersamamu. Grandma Cicilia sangat menyukai gadis itu. Dia bilang ingin sekali melihat kalian datang bersama.” Antonio mengembus panjang, menutup mata sebentar, mengusap pelipisnya yang terasa berat menekan. “Oke, Mommy. Aku akan datang,” jawabnya malas. “Aku akan membawa Marina.” “Bagus. Mommy tahu kamu sibuk, tapi jangan buat Nenek kecewa. Dia sudah menyiapkan tempat duduk khusus untuk kamu dan Marina di meja utama.” “Ya, oke ….” Sambungan kemudian berakhir dan pria itu melempar ponselnya pelan ke meja kecil di sebelah ranjang. Rodee masih memejamkan mata, tetapi telinganya tajam menangkap setiap kata. Dalam hatinya, amarah dan rasa iri menyala. ‘Antonio akan membawa Marina ke pesta keluarga?’ pikirnya gelisah. ‘Tidak bisa! Aku tidak akan biarkan perempuan itu mencurinya! Aku harus berbuat sesuatu untuk membuat seluruh keluarga Zambrotta membencinya!’ ‘Setelah malam ini, Marina harus pergi selamanya dari kehidupan Antonio! Ya, itu harus! Astaga! Aku harus cepat berpikir bagaimana cara menghinakan Marina nanti malam!’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN