BAB DUA : BERTEMU DALAM INGATAN (part 3)

1756 Kata
“Apa kakimu tidak pegal berdiri seharian?” , tanya Rangga pada adiknya saat mereka keluar dari stadion tempat konser boygroup kesukaan adiknya yang berlangsung selama empat jam tersebut. Kaila yang terlihat sangat bahagia hari ini, menepuk bahu kakaknya, “Apa maksud kakak seharian? Tadi cuma sebentar, belum semua lagu mereka nyanyikan.” Rangga menggeleng, “Memang tidak seharusnya aku meragukan kekuatan fisik penggemar fanatik.” “Bagus kakak menyadarinya.” “Sudah, Ayo pulang.” , ajak Rangga sambil menarik tangan adiknya namun Kaila justru menahannya. “Apa maksudmu kita pulang dalam perut kosong?” , protes Kaila. Melihat kedua alis Kaila yang menekuk ke bawah, Rangga menghela nafas mengerti apa yang sekarang ini adiknya tersebut inginkan. *** Semakin malam, restoran semakin ramai orang datang. Adelia bahkan tidak sempat untuk duduk sejenak dan hanya berbolak-balik dari dapur ke meja tamu mencatat dan mengantarkan makanan. Adelia tidak bisa meminta rekan kerjanya untuk menggantikannya walaupun sesaat, karena rekan-rekan kerjanya pun sama sibuknya. Walaupun lelah, memberikan senyuman ramah pada pelanggan yang datang tetaplah prioritas. “Del, meja tujuh minta tambahan air putih, bisa tolong ambilkan?” , bisik salah satu rekan kerja Adelia saat berjalan melewatinya. Adelia yang baru saja menempelkan detail pesanan pelanggan yang baru saja ia layani pada penjepit kayu yang ada di jendela terbuka pembatas dapur dan ruang makan utama, segera mengiyakan dan mengambil teko kaca berisi air putih menuju meja tujuh seperti. “Bagaimana rasa pastanya?” , tanya Adelia ramah sambil menuangkan air pada masing-masing gelas yang ada di atas meja. Seorang pria paruh baya yang masih gagah mewakili keluarga yang duduk di meja tujuh untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Adelia sebagai bentuk keramahannya, “Tekstur pastanya enak, saus pastanya juga enak. Tapi, sepertinya terlalu banyak lada ditaburi di atasnya hingga membuat tenggorokanku sedikit pedas.” , katanya. “Ah maafkan aku, Pak. Seharusnya aku lebih peka pada pelanggan. Apa Bapak mau untuk diganti dengan yang baru, yang lebih sedikit taburan ladanya?” , Walaupun komentar dan kritik tersebut tidak ditunjukkan untuknya, Adelia membungkukkan tubuhnya sedikit untuk menunjukkan ketulusannya meminta maaf. Pria paruh baya tersebut tertawa pelan, “Tidak, tidak perlu. Ini bukan kesalahanmu. Terima kasih air putih gratisnya, ya.” Adelia pun merespon dengan tersenyum tulus, “Sama-sama. Jika ada yang dibutuhkan lagi, katakan saja. Selamat menikmati makanannya.” , pamitnya undur diri kembali ke dapur untuk mengambil pesanan yang lainnya. *** CLING Suara lonceng yang terpasang di atas pintu sebagai notifikasi jika ada pelanggan yang datang berbunyi saat Rangga membuka pintu kaca restoran yang ingin dikunjungi oleh Kaila. Mereka berdua tertegun melihat ramainya restoran tersebut saat ini. Hampir semua meja terisi oleh pelanggan. “Selamat datang.” , sapa salah satu pelayan yang datang menghampiri mereka tersenyum ramah. “Apa masih ada meja kosong?” , tanya Rangga langsung ke intinya. “Ada, mas. Tapi di pojok, apa tidak apa-apa?” “Tidak apa-apa, bukan masalah.” “Kalau begitu lewat sini mas.” , ajak pelayan tersebut menuntun Rangga dan Kalia menuju meja mereka. Meja yang ditunjukkan untuk mereka ternyata benar-benar di pojok. Jauh dari jendela dan dapur, bahkan kamar mandi. Tapi hal itu tidak jadi masalah untuk Rangga maupun Kaila selama mereka mendapat pelayanan yang sama seperti yang lainnya. Pelayan pergi begitu selesai mencatat pesanan mereka. Sambil menunggu, Rangga memperhatikan suasana restoran bernuansa Italia tersebut. Mulai dari penataan meja, lampu, dan juga musik yang di putar. Matanya meneliti sekeliling hingga pada akhirnya terhenti saat melihat adiknya yang malah asyik dengan ponselnya. “Hei, kakak tinggal sebentar ke kamar mandi dulu, ya.” , tegur Rangga pada Kaila yang hanya direspon dengan anggukan. Adelia membawa pesanan tiga porsi pasta dan juga hidangan penutup. Beban yang ia bawa termasuk berat untuk pesanan yang biasanya ia bawa. Dengan perlahan dan hati-hati ia membawa nampan besar keluar keluar dari dapur. Ia berusaha menjaga langkahnya agar seimbang, matanya fokus pada langkahnya dan nampan yang ia bawa. Rangga memperhatikan lukisan-lukisan yang terpasang di dinding hingga tanpa sadar ia hampir saja bertabrakan dengan Adelia. ‘Ups, maaf.” , ucap Rangga sambil menghindar memberi jalan pada Adelia untuk lewat. Adelia hanya membungkukkan kepalanya membalas permintaan maaf Rangga. Karena kepalanya yang menunduk, Rangga tidak melihat wajah Adelia dengan jelas. Begitu juga dengan Adelia, ia tidak sempat melihat wajah Rangga karena ia takut jika ia menengadahkan kepalanya, keseimbangannya akan kacau. *** Selagi ibunya sibuk bekerja, Raya berusaha menyibukkan dirinya juga bersama dengan bu Indira dan Lilo, kucing milik bu Indira yang jadi teman baik Raya sejak Lilo diadopsi oleh bu Indira. Ikut membantu menyapu lantai walaupun pada akhirnya ia hanya menyebarkan debunya, menyiram tanaman yang berujung bermain air dengan selang, ataupun membuat cookies yang berakhir dengan memenuhi dapur dengan jejak-jejak tepung. Kali ini, Raya ikut membantu bu Indira memandikan Lilo. Meskipun Lilo adalah seekor kucing yang notabenenya takut dengan air, ia sama sekali tidak takut atapun lari ketika air menyentuh badannya. Ia justru terlihat menikmatinya. Saat Raya menggaruk-garuk bagian atas kepalanya untuk membersihkan kotoran-kotoran dan debu yang tersembunyi di bagian dalam bulunya pun, ia hanya duduk diam keenakan di dalam bak kecil berisi air hangat suam-suam kuku. “Nenek!” , panggil Raya meminta perhatian dari bu Indira yang tengah membilas badan Lilo. “Iya, sayang?” “Dimana nenek menemukan Lilo? Apa nenek membelinya?” , tanya Raya dengan polosnya. Matanya benar-benar menunjukkan betapa besarnya rasa penasaran dari pertanyaan spontan yang lewat begitu saja di dalam pikirannya. Bu Indira diam sebentar untuk mengingat-ngingat kembali, “Nenek mendapat Lilo dari teman nenek. Teman nenek memelihara kucing hingga kucingnya melahirkan empat anak kucing lainnya termasuk Lilo. Tapi beberapa hari kemudian, ibu kucingnya mati tertabrak mobil di depan rumah teman nenek. Makanya nenek diberi satu anak kucing untuk nenek rawat.” Raya mendengarkan dengan hikmat, serasa ia dibawa ke masa ketika serangkaian kejadian tersebut terjadi, “Bagaimana dengan Ayah Lilo?” “Hmmm.. Nenek tidak tahu pasti dimana Ayah Lilo.” “Apa Ayah Lilo pergi seperti Ayah Raya?” , mendengar hal itu, bu Indira tertegun. “Apa maksud Raya?” Sambil kembali sibuk memandikan Lilo, Raya menimbang-nimbang apa sebaiknya menceritakan yang siang tadi ia dengar dari guru-guru TK rekan ibunya atau tidak. “Raya dengar dari orang-orang, katanya Ayah Raya pergi meninggalkan Raya dan Bunda sejak Raya belum lahir.” Bu Indira benar-benar tidak menyangka apa yang ia dengar dari mulut anak kecil berusia tujuh tahun dengan masalah jantung itu, “Siapa yang mengatakan hal jahat seperti itu?” , tanyanya dengan nada yang meninggi karena merasa kesal pada orang yang telah mengatakan hal seperti itu pada soerang anak kecil. Raya menggeleng, enggan untuk memberitahukan identitas orang-orang yang sudah mengatakan hal jahat seperti itu padanya. “Tidak apa-apa, nek. Raya tidak akan membenci Ayah Raya.” , pandangan bu Indira melunak. “Tapi Raya harap bisa bertemu dengan Ayah Raya walaupun hanya sekali. Apa nenek pernah melihat Ayah Raya?” Perasaan bu Indira benar-benar terenyuh mendengar ucapan Raya, ia merasa iba sekaligus merasa kesal pada Ayah Raya yang telah tega meninggalkan anak semanis Raya. “Belum, nenek belum pernah melihatnya. Tapi nenek yakin Ayah Raya pasti tampan sekali karena anaknya pun cantik seperti Raya.” , puji bu Indira berniat untuk mencerahkan suasana. Raya tersenyum malu-malu, “Nenek benar. Ayah Raya benar-benar tampan seperti pangeran dengan mata yang besar.” , ujar Raya bersemangat. “Benarkah? Apa Raya pernah melihat Ayah Raya?” , tanya bu Indira meragukan pernyataan Raya. Tak disangka, Raya mengangguk dengan yakin, “Pernah, walaupun hanya melalui foto. Apa nenek mau melihatnya juga?” Ekspresi terkejut sekaligus penasaran tak bisa disembunyikan oleh bu Indira, “Foto? Foto apa?” “Foto Bunda dengan Ayah. Ada disembunyikan Bunda diam-diam di balik sampul buku keuangan. Tapi Raya kan pintar menemukan benda yang disembunyikan, hihi. Apa nenek mau melihatnya?” , tanpa menunggu jawaban dari bu Indira, Raya langsung bergegas masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil barang yang dimaksud. Posisi buku keuangan yang Raya maksud berada di dalam lemari piring yang ada di atas kompor dan wastafel. Karena dirasa kurang tinggi untuk menjangkaunya, Raya mendorong bangku dari meja makan dan membawanya untuk membantunya menjangkau lemari piring tersebut. Bu Indira yang merasa khawatir segera menyusul Raya secepat yang ia bisa. Ia terkejut melihat Raya yang sudah naik ke atas bangku dan berjinjit diatasnya berusaha meraih gagang lemari piring. “Ya ampun Raya!” , segera bu Indira menghampiri Raya dan memegangi bangku yang dinaiki Raya agar tidak goyang. “Turunlah, biar nenek yang ambilkan.” , Raya menurut. “Ini?” , tanya bu Indira sambil menunjukkan sebuah buku kecil dengan sampul kulit berwarna coklat. Raya mengangguk mengiyakan dan bu Indira pun langsung memberikan buku tersebut pada Raya. Dengan bersemangat, Raya membawa buku tersebut naik ke atas kursi meja makan dan meletakkannya di atas meja. Setelah menutup pintu lemari piring, bu Indira menyusul Raya ikut duduk di sampingnya. Buku bersampul cokelat tersebut sudah terlihat usang dengan beberapa catatan kecil berwarna-warni tertempel di dalamnya. Beberapa kertas di dalamnya pun terlihat sudah terlepas dari punggung bukunya. Jika bukan karena diikat oleh karet pengikat yang mengikat buku tersebut secara vertikal, mungkin kertas-kertas tersebut sudah berhamburan keluar. Raya membuka buku tersebut dan dengan hati-hati menarik sesuatu dari sela-sela yang ada di sampul buku bagian depan. Ia menarik sebuah foto keluar dari sana dengan perlahan dan menunjukkannya pada bu Indira dengan senyum penuh di wajahnya. Dalam foto tersebut terlihat Adelia tengah tersenyum manis dengan malu-malu bersama dengan Rangga yang juga tersenyum manis sambil memeluk pinggang Adelia. Bu Indira yang melihat foto tersebut hanya bisa menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut sekaligus tidak menyangka akan hal ini, fakta bahwa Raya entah sejak kapan sudah mengetahui soal ayahnya dan itu sebabnya Raya tidak pernah menyinggung menanyakan soal ayahnya pada ibunya. Sejak dulu saat pertama kali bertemu dengan Adelia pun tidak pernah sekalipun Adelia menyinggung soal ayah Raya. Dan ini adalah pertama kalinya ia melihat ayahnya Raya. “Ayah Raya tampan, bukan? Seperti pangeran. Ah, mungkin sekarang sudah seperti raja, Nek!” , ujar Raya bersemangat. *** Saat mencuci tangan di kamar mandi, Rangga teringat pada pelayan yang hampir bertabrakan dengannya tadi. Walaupun ia tidak sempat melihat wajahnya dan hanya melihat puncak kepala juga merasakan seberapa tinggi badannya, ia benar-benar merasa familiar dengan semua itu. Hal yang membuatnya gelisah adalah entah bagaimana bayangan yang muncul di pikirannya saat mengingat hal itu adalah Adelia. Semua itu mengingatkannya pada Adelia. Saat keluar dari kamar mandi, Rangga berharap besar untuk berpapasan kembali dengan wanita tadi. Namun ia tidak mendapatkan harapannya tersebut terwujud. “Kenapa akhir-akhir ini semua hal mengingatkanku padamu?” , gumam Rangga dengan menghela nafas berat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN