BAB DUA : BERTEMU DALAM INGATAN (part 4)

1491 Kata
Hari sudah mulai larut. Adelia sudah selesai dengan pekerjaannya setelah selesai mengelap meja dan mengganti kain penutup meja. Ini adalah saat-saat yang ia tunggu setiap harinya. Yaitu saat waktu pulang ke rumah dan beristirahat. Sebelum mengganti pakaiannya, ia meregangkan pinggang dan juga bahunya hingga terdengar bunyi dari sendi-sendi dan tulangnya. Bekerja sepanjang hari memang menguras tenaga dan waktunya. Ia tidak punya pilihan lain. Ia adalah kepala keluarga sekaligus tulang punggung untuknya dan juga putrinya. Tanggung jawab yang ia miliki hanya dua jiwa untuk saat ini, namun, kondisi jantung Raya yang tidak baik membuat tuntutan tanggung jawabnya menjadi dua kali lebih besar. Tidak hanya beban fisik yang harus ia hadapi kala mencari uang untuk pengobatan Raya, tetapi juga beban pikiran saat memikirkan Raya. Entah ia merasa tidak yakin atau terlampau khawatir, ia merasa seperti sedang memegang bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Saat Raya harus dilarikan ke rumah sakit itulah situasi yang terasa seperti bom waktu tersebut sedang menghitung mundur dari angka sepuluh. Walaupun begitu, tidak pernah sekalipun Adelia menyesali semua hal yang telah terjadi padanya. Ia tidak menyesal sudah melahirkan Raya. Satu-satunya hal yang ia sesali adalah ia tidak melakukan yang terbaik saat masa kehamilannya. Ia merasa kondisi Raya yang sekarang ini adalah karena dirinya yang kurang perhatian pada kandungannya hingga Raya terlahir dengan jantung yang lemah dan belum sempurna. Dirinya sadar betul bahwa tidak ada gunanya menyesali hal itu sekarang. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah membayar atas kemalangan tersebut dengan berusaha menyembuhkan Raya. Ia rela melakukan apapun asalkan Raya bisa bertahan hidup lebih lama lagi dan tumbuh dengan sehat. Saat tubuh sudah lelah, dan pikiran sudah tidak sanggup lagi menahannya, terkadang Adelia berharap ayah Raya ada di sisinya saat ini. Bukan untuk menggantikkan dirinya ataupun membagi bebannya. Adelia ingin ada seseorang yang bisa mengatakan padanya bahwa ia sudah bekerja keras selama ini. Setiap kali ia memikirkan ayah Raya, hatinya yang sudah terluka terasa seperti ditaburi garam diatasnya. Dalam hitungan detik, air mata yang tidak ia harapkan selalu menyelinap keluar. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan pada ayah Raya. Perasaan marah ataukah perasaan rindu yang begitu dalam, semuanya menjadi satu hingga ia sulit memisahkan keduanya. Di tengah lamunannya, ponsel Adelia bergetar tanda ada pesan masuk. Segera ia membetulkan posisi duduknya agar lebih tegak sambil merogoh kantung celananya di balik celemek pinggang berwarna hitam yang masih dipakainya. Layar ponsel yang menyala menampilkan foto dirinya bersama dengan Raya yang sedang tertidur. Senyumnya seketika mengembang di sela matanya yang sudah berkaca-kaca ketika membuka pesan masuk yang ternyata dari putri kesayangannya, Raya. Bunda masih lama? Kapan Bunda akan pulang? Alih-alih membalas pesan tersebut, Adelia segera menekan dial panggil dan melakukan panggilan. Yang di seberang sana langsung menjawab panggilan tersebut pada dering kedua. “Halo, Bundaaaa!” , terdengar suara Raya bersemangat. Adelia tidak bisa menyembunyikan senyumnya mendengar putrinya memanggilnya dengan bersemangat seperti itu, “Halo sayang~ Maaf Bunda lama, ya?” “Iya, Bunda lama sekali. Raya, Lilo, dan juga nenek sudah menunggu sejak tadi.” , nada suara Raya terdengar mengeluh. Adelia yang sadar bahwa malam sudah semakin larut, segera berganti pakaian dan membereskan barang-barangnya sambil tetap melakukan panggilan, “Iya, ini Bunda sudah bersiap-siap pulang. Tadi banyak pelanggan yang datang, jadi banyak yang harus dikerjakan.” “Bunda pasti capek, ya? Nanti Raya pijit Bunda, yaa~” Semua lelah Adelia terasa menguap saat berbincang-bincang dengan Raya. Ia merasa tenaganya sudah terisi kembali untuk hari esok, “Waaah~ Bunda jadi tidak sabar untuk pulang.” “Hihihi. Raya tadi memandikan Lilo bersama nenek.” Tak lupa Adelia mengunci lokernya dan berpamitan kepada rekan-rekan kerjanya masih sambil mendengarkan celotehan Raya tentang hal - hal yang ia lakukan hari ini kecuali memperlihatkan foto ayahnya yang Adelia sembunyikan selama ini. *** Kaila sejak tadi memperhatikan kakaknya yang terlihat tidak fokus dan sedang memikirkan sesuatu dengan begitu dalam. Sejak dari restoran tadi, kakak satu - satunya itu sama sekali belum bicara. Hal itu membuatnya bertanya - tanya apakah ada sesuatu yang terjadi di restoran tadi hingga kakaknya terhanyut dalam pikirannya. Kaila tahu betul kakaknya sangat ahli dalam mengemudi, namun, sejak tadi mobil yang dikendarainya melaju dengan begitu lambat dibandingkan pengendara - pengendara lainnya yang berlomba - lomba untuk mengisi celah kosong yang ada di depan mereka. Tatapan Kaila pada kakaknya beralih ke depan. Dilihatnya lampu lalu lintas beberapa meter di depan yang sebelumnya berwarna kuning berubah menjadi warna merah saat itu juga, namun kakaknya masih mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang sama. “LAMPU MERAH, KAK!” , sahut Sora tiba - tiba, sambil berpegangan pada kursi duduknya bersiaga untuk guncangan yang akan terjadi. Benar saja, Rangga yang segera tersadar dari lamunannya itu segera menginjak rem sekuat yang ia bisa untuk menghindari tabrakan dengan motor - motor yang sudah berbaris menunggu di depan mereka dan mereka pun berguncang karena itu. Kaila yang kesal pada kakaknya yang membuatnya terguncang dan shock sesaat, menatap marah pada orang yang duduk di sampingnya, “Apa sih yang sebenarnya sedang kakak pikirkan?! Tidak bisa ya memikirkannya nanti saja saat sudah di rumah?!” , omel Kaila yang jantungnya masih berdegup kencang karena guncangan. “M-maaf. Sepertinya aku kurang tidur.” , elak Rangga. Ia membetulkan posisi duduknya agar lebih tegak dan fokus pada jalanan di depannya. Selagi menunggu lampu lalu lintas berubah warna, Rangga meraih botol minum di sampingnya dan meneguknya. Ia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya agar fokus pada saat ini dan bukannya menyelami ke masa lalu dan hanyut di dalamnya. Adelia yang sudah lelah hari ini, terpaksa harus naik bus dengan berdiri karena semua kursi duduk telah penuh terisi dengan pekerja - pekerja yang pulang malam sama seperti dirinya. Adelia bersyukur, setidaknya hari ini tidak terlalu penuh dan sesak seperti hari - hari kemarin. Tidak tahan dengan lelah dan kantuk yang menyerangnya, Adelia mulai tertidur sambil berdiri dengan kedua tangannya berusaha berpegangan erat pada pegangan yang tergantung pada tiang - tiang di atasnya. tubuhnya bergerak mengayun kesana kemari mengikuti pergerakan bus. Hingga pada akhirnya bus mengerem mendadak karena lampu lalu lintas di hadapannya memberi perintah untuk berhenti dengan mengeluarkan cahaya warna merah. Adelia yang hampir benar - benar tertidur, hampir saja terjatuh karena rem dadakan yang dilakukan oleh supir bus. Dengan hentakan itu, tangan Adelia secara otomatis mengencangkan genggamannya pada pegangan, menahannya agar tubuhnya tidak terjatuh terhempas ke belakang. Matanya pun otomatis terbuka karena terkejut. Dirinya benar - benar dibawa kembali pada kesadaran. Setelah guncangan itu, adelia berusaha untuk tidak tertidur dan terjaga sepenuhnya. Ia mencoba mengalihkan rasa kantuknya dengan melihat cahaya - cahaya lampu dari gedung - gedung tinggi di kejauhan yang terlihat begitu cantik saat malam hari. Membuatnya teringat pada kunang - kunang yang beterbangan pada malam hari di bukit yang pernah ia kunjungi bersama Rangga saat mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Bibir Adelia tertarik sedikit membentuk sebuah simpul senyum kecil saat mengingat masa - masa itu. Menunggu lampu lalu lintas berganti warna menjadi kegundahannya tersendiri. Rangga benar - benar sudah muak dengan kemacetan ibu kota. Ia merindukan jalan raya yang benar - benar sepi saat malam hari di tempat tinggalnya dulu sebelum pindah ke Jakarta. Jalanan yang begitu sepi dan hanya terdengar suara serangga - serangga malam yang bernyanyi dengan riangnya dan juga bintang - bintang di langit yang terlihat begitu jelas. Sangat kontras dengan keadaan di Jakarta. Saat pandangannya menoleh ke langit pun, yang ia lihat hanya langit gelap dan lampu - lampu pesawat yang lewat. Baik Adelia maupun Rangga sama - sama tidak menyadari betapa dekatnya mereka saat ini. Bus yang dinaiki oleh Adelia berhenti tepat di samping mobil yang dikendarai oleh Rangga. Perhatian mereka sama - sama menatap pada langit. Saat itu juga, tiba - tiba sesuatu yang bercahaya lewat dengan cepat seperti bintang jatuh. Rangga dan Adelia tersentak dan dengan otomatis langsung teringat satu sama lain saat mereka saling mengucapkan permintaan mereka tiap kali melihat bintang jatuh saat dulu. Adelia yang masih dengan rambut panjangnya yang lembut diikat dengan pita merah polkadot menyatukan kedua tangannya dan menempelkannya pada dadanya sambil memejamkan matanya saat mengucapkan permintaannya. ‘Aku harap.. Rangga tidak akan pernah meninggalkanku.’ , ucap Adelia dalam hati dengan sungguh - sungguh. Rangga remaja di sampingnya yang melihat Adelia begitu khusyuk dengan permintannya, ikut memejamkan matanya untuk mengucapkan permintaannya. ‘Aku harap permintaan Adelia akan terwujud.’ Adelia tersenyum miris mengingat permintaan yang pernah ia buat dulu. Ia yang selalu mempercayai bintang jatuh sejak dulu, pernah di kecewakan oleh permintaannya sendiri yang pernah ia katakan pada bintang jatuh, saat ini pun masih tetap ingin mempercayai hal itu. Adelia mulai memejamkan matanya dan tangan kanannya menggenggam erat sambil mendekatkannya pada dadanya, ‘Aku harap.. bisa bertemu denganmu sekali lagi.’ , ucapnya dalam hati. Sementara itu, Rangga yang merasa sedih mengingat permintaannya dulu, bertanya - tanya apakah harapan yang Adelia ucapkan hari itu sudah terwujud. Saat ini pun ia masih berharap permintaan Adelia hari itu sudah terwujud. Rangga bersandar pada sandaran kursi kemudinya dan menutup matanya perlahan, ‘Aku harap.. permintaanmu saat ini benar - benar terwujud.’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN