“Mengapa Danisa keluar dari perawatan? Aku pikir akan bagus jika Danisa terus mendapat terapi agar mau berbicara lagi.” , tanya Agung saat mereka berdua sudah sama - sama duduk.
Ibu Danisa tersenyum sedih, “Yah, mau bagaimana lagi mas. Saya tidak memiliki cukup uang untuk membayar tagihan perawatan tiap harinya.” , katanya dengan pasrah, “Walaupun dari pemerintah ikut membantu membayar setengah dari tagihannya, tetap saja masih terasa berat untuk saya mas.”
Agung tetap diam mendengarkan.
“Penghasilan saya hanya dari menjual kue basah keliling. Tetapi dengan kondisi Danisa yang seperti ini..” , ibu Danisa berhenti sejenak untuk mengusap air matanya yang tiba - tiba saja jatuh, “Saya jadi tidak bisa berjualan dengan leluasa seperti biasanya. Saya merasa tidak tenang untuk meninggalkan Danisa di rumah sendirian, apalagi jika harus mengajaknya. Kejadian mengerikan itu kan terjadi saat Danisa ikut saya berjualan, dan saya kurang pengawasan saat itu. Saya tidak ingin hal mengerikan seperti itu terjadi lagi. Makanya untuk saat ini, saya hanya bisa mencari nafkah dengan menitipkan kue - kue basah buatan saya ke orang lain.”
Agung ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh ibu Danisa, walaupun Agung tidak bisa merasakannya dengan persis, “Saya ikut merasa bersedih atas kejadian mengerikan hari itu. Itu sebabnya saya ingin sekali menangkap pelakunya agar ia mendapatkan hal yang setimpal setelah semua penderitaan yang telah ia berikan pada korban dan juga keluarga korban.” , jelasnya.
“Tetapi.. Seperti yang mas Agung lihat, Danisa masih enggan untuk bicara. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya hingga Danisa enggan sama sekali membuka mulutnya untuk bicara.” , tenggorokan ibu Danisa tercekat saat bayangan apa yang terjadi pada putrinya tersebut terputar di kepalanya.
Dengan empatinya, Agung menepuk - nepuk pelan bahu ibu Danisa mencoba untuk menguatkannya, “Saya tidak akan menyerah, bu.”
Ibu Danisa mengangguk mengerti. Ia mengusap air matanya dan beranjak berdiri, “Mau minum apa, mas? Teh? Kopi?” , tanyanya.
“Air putih saja cukup.”
“Teh manis, ya?”
“Air putih saja tidak apa - apa, bu.”
“Ya sudah kalau mas memaksa.” , ibu Danisa pasrah menghadapi betapa keras kepalanya Agung dalam hal sesederhana minum. Ia pun beralih ke dapur.
Tak lama, ibu Danisa kembali dengan sebuah nampan berukuran cukup besar yang berisi teko air putih, sebuah gelas kosong, dan juga sepiring kue - kue basah yang masih hangat.
“Dimakan, mas. Saya mau melanjutkan pekerjaan saya.”
“Iya, bu. Silahkan.”
Dengan perasaan sedikit tidak enak karena meninggalkan tamunya sendirian, ibu Danisa kembali ke dapur untuk bergelut dengan adonan kue - kue basah yang sudah menunggunya sejak tadi. Namun sebelum itu, ia meraih kantung plastik bawaan Agung tadi dan membukanya.
“Aduh, mas, kenapa repot - repot. Saya jadi merasa tidak enak.” , ujar ibu Danisa saat mengeluarkan semua bawaan Agung.
Agung tersenyum ramah, “Tenang saja, itu bukan suap.” , katanya mencoba untuk melucu.
Sepertinya lelucon garing dari Agung berhasil menggelitik sedikit ibunya Danisa. Ia tersenyum geli mendengar respon Agung. Namun senyuman itu tidak bertahan lama kala ia membuka bingkisan yang berisi boneka mainan. Raut wajahnya langsung berubah menjadi murung.
“Sejujurnya, akhir - akhir ini..” , kata ibu Danisa mencuri perhatian Agung yang tengah berselancar dengan ponselnya.
Ibu Danisa berbalik menatap Agung sambil menunjukkan boneka yang Agung bawa, “Danisa sering ketakutan dan menjerit jika melihat karakter Misha ini.”
Agung mengernyitkan dahinya mencoba menangkap apa yang ibu Danisa maksudkan.
“Padahal sebelumnya, ia sangat menyukai karakter Misha. Sejak kejadian ini, dia jadi sangat berbeda.” , ujar ibu Danisa menatap boneka yang masih dalam kotak segel dengan air wajah sedih.
Mendengar pernyataan itu, sontak Agung langsung berdiri, “Danisa ketakutan saat melihat Misha? Benarkah? Sejak kapan hal itu terjadi?”
Dari nada bicara Agung, ibu Danisa bisa menangkap bahwa hal yang baru saja ia kemukakan adalah suatu hal yang penting. Saat itu juga ia tiba - tiba saja merasa gugup mencoba mengingat - ingat kembali hari dimana Danisa menjadi histeris kala melihat pengamen badut karakter Misha lewat di depan apartemen mereka.
“Beberapa hari yang lalu. Dan itu terjadi beberapa kali saat kartun Misha terputar di televisi.”
Agung tampak berpikir, ‘Apa ini ada kaitannya dengan pelaku? Ataukah hal itu sesuatu yang ia lihat saat kejadian? Mengapa ia menjadi trauma?’ , pikir Agung serius. Ia kembali duduk dengan banyak pertanyaan lainnya yang berputar - putar di kepalanya.
Ibu Danisa sudah kembali bergelut dengan adonan - adonan kue basahnya. Sementara Agung masih di sofa sambil mencatat fakta - fakta penting yang sudah terungkap selama penyelidikan. Ia menambahkan fakta tentang karakter Misha yang mungkin berhubungan dengan pelaku. Namun, hal itu masih menjadi pertanyaan besar untuknya. Karakter Misha dalam bentuk apa yang ia lihat saat itu yang berkaitan dengan pelaku.
Di tengah ketenangan itu, pintu kamar terbuka perlahan dan gadis kecil dengan rambut hitam lurus terurai, malu - malu mencoba untuk keluar dari sana. Matanya menatap langsung pada Agung, begitu juga Agung yang langsung menatap pada Danisa. Agung merasa Danisa benar - benar sudah pulih,
Mencoba untuk mengabaikan Agung, Danisa berjalan dengan cepat melewati Agung dan dengan hati - hati melompat setiap loyang dan nampan yang tersebar untuk menuju dapur tempat ibunya berada. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia menghampiri ibunya dan menepuk pundak ibunya meminta perhatiannya sebentar. Agung pun tak melewatkan kesempatan ini untuk memperhatikan gerak - gerik dan cara berkomunikasi yang Danisa lakukan.
“Ada apa? Danisa butuh sesuatu?” , tanya ibunya penuh perhatian.
Namun Danisa yang masih enggan untuk bicara, hanya mengalihkan pandangannya pada teko yang ada di atas meja dekat Agung seakan hal yang ia inginkan ada disana.
Ibu Danisa yang sudah hapal betul bagaimana cara Danisa meminta sesuatu padanya, ikut memandang ke arah objek yang Danisa tunjuk dengan matanya, “Kue? Danisa mau kue dadar gulung itu? Yang hijau itu?” , tanya ibunya mencoba memastikan.
Mendengar hal itu, Agung meraih piring yang berisi tumpukan dadar gulung yang memang disediakan untuknya itu, dan menyodorkannya pada Danisa dari jauh. Danisa pun menatap Agung sejenak.
Namun ia menggeleng. Ia masih menatap ke arah meja tersebut, “Minum?” , tanya ibunya lagi dengan sabar. Agung pun meletakkan kembali piring yang ia angkat tadi dan menunggu jawaban Danisa seakan tengah menunggu perintah.
Danisa mengagguk perlahan mengiyakan, dan saat itu juga Agung langsung mengambil gelas dan mangangkat teko tersebut untuk menuangkan air pada gelasnya yang masih belum ia gunakan dan menyodorkannya pada Danisa dari tempat duduknya.
Ibu Danisa tersenyum menatap pada Agung yang sudah sigap menyiapkan, “Sana ambil minum yang sudah diambilkan oleh om.” , katanya sambil mengelus punggung Danisa.
Agung menunggu dengan khawatir, takut - takut Danisa tidak ingin menerima minum darinya. Tak disangka, Danisa melangkahkan kakinya menghampiri Agung walaupun dengan sedikit malu - malu. Ekspresi wajah lega terlukis jelas pada wajah ibu Danisa melihat putrinya masih mau untuk berinteraksi dengan orang lain, terutama Agung yang tengah menyelidiki kasus putrinya tersebut.
“Ini untuk Danisa.” , kata Agung sambil menyodorkan gelas yang sudah berisi air pada Danisa yang sudah berada di dekatnya. Danisa menerimanya dan meneguknya sedikit lalu mengembalikannya kembali pada Agung.
Agung sedikit terkejut melihat betapa sedikitnya Danisa minum. Ia sempat berpikir apakah itu disebabkan oleh kehadirannya. Ia menerima gelas tersebut dan meletakannya lagi. Danisa masih berdiri disana menatap Agung sebentar seakan ingin mengungkapkan ucapan terima kasihnya melalui tatapan matanya yang berharap Agung akan mengerti.
Agung yang tidak suka basa - basi, tidak menangkap hal itu. Ia tidak mengerti mengapa Danisa masih berdiri di situ sambl menatapnya. Agung balas menatap Danisa berharap menemukan kata - kata yang ingin Danisa katakan padanya melalui maniknya yang bulat. Berselang beberapa detik, Agung masih tidak berhasil mendapatkan apa yang sebenarnya Danisa inginkan dengan berdiri di tempatnya sambil menatapnya.
“Apa.. Danisa mau ini?” , tanya Agung mencoba menebak dengan menyodorkan piring yang berisi dadar gulung.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Danisa berlalur pergi menuju kamarnya kembali, meninggalkan Agung yang masih memegang piring di tangannya. Hal itu membuat Agung semakin bertanya - tanya. Ingin rasanya bertanya pada ibu Danisa, namun dilihatnya ibu Danisa sudah kembali sibuk dengan adonan - adonan yang harus ia selesaikan. Akhirnya ia hanya pasrah dan meletakkan kembali piringnya ke atas meja untuk ia kembali melanjutkan bekerja dengan pikirannya menganalisis kembali kasus Danisa dan empat anak lainnya.
Di saat Agung sudah kembali berkutat dengan catatannya, dari dalam kamar tempat Danisa bermain, diam - diam ia memperhatikan Agung. Dalam hatinya ia menimbang - nimbang apakah Agung adalah orang yang bisa ia percaya atau tidak. Dua karakter yang berbeda tengah berdebat dalam pikirannya untuk memperebutkan keputusan tersebut.
***
Pagi itu matahari masih malu - malu untuk menampakan dirinya dan memilih untuk bersembunyi di balik awan dan hanya menunjukkan sinarnya yang membentuk berkas - berkas cahaya berwarna jingga kekuningan yang ramah. Aktifitas di rumah orangtua Rangga pun masih terbilang belum banyak aktifitas yang terjadi. Ibu Rangga yang memang selalu bangun awal lebih awal dari sang mentari, selalu mengawali harinya dengan membaca buku dalam jubah tidurnya ditemani secangkir teh melati yang hangat. Benar - benar wanita yang elegan.
Tidak jauh berbeda dengan ibunya, ayah Rangga yang merupakan salah satu orang berpengaruh di perusahaan tempatnya bekerja, bangun pagi sudah menjadi rutinitas wajib. Ia juga meyakini tidak ada orang sukses yang bangun terlambat.
Selepas dari kamar mandi, masih dengan jubah tidurnya yang berwarna senada dengan jubah tidur milik istrinya, ia berjalan dengan santai menghampiri istrinya yang sudah duduk di sofa ruang tengah dan langsung memeluknya dari belakang.
Ibu Rangga yang tengah fokus dengan buku bacaannya sedikit terkejut dengan hal itu. Namun, sedetik kemudian ia menyadari itu adalah suaminya berkat aroma parfum yang menjadi ciri khasnya. Ia pun membalas pelukan tidak terduga tersebut dengan elusan lembut pada tangan yang memeluknya.
Dirasa cukup untuk menunjukkan cinta mereka satu sama lain di awal hari, ayah Rangga beralih ikut duduk di samping istrinya dan mengambil koran yang sudah tersedia di atas meja rendah yang ada di depan mereka, “Apa hari ini hari terakhir liburnya Rangga?” , tanyanya dengan suara berat sebagai ciri khasnya.
“Iya, kurasa begitu. Kemarin dia bilang hanya diberi libur dua hari.” , katanya sambil meraih cangkir kesayangannya yang berisi teh melati dan menyeruputnya dengan anggun.
“Oh begitu..”
Ibu Rangga meletakkan kembali cangkirnya dan menghela nafasnya sebal, “Rangga ini, sudah tahu liburnya hanya dua hari tapi memilih untuk menghabiskan waktu liburnya untuk tidur seharian. Apa dia tidak ingin mengobrol dengan ibunya? Cih.” , keluh ibu Rangga sambil menutup kasar buku yang dibacanya dan meletakannya di atas meja dengan sedikit kasar untuk mengungkapkan kekesalannya.
Melihat istrinya menggerutu seperti itu, Ayah Rangga terkekeh kecil, “Kkk, Mira.. Dia polisi detektif, ingat? Dibandingkan pekerja sepertiku, dia memiliki persoalan yang lebih rumit untuk dihadapi dibandingkan aku. Aku yakin di usianya yang masih muda itu waktu tidurnya juga tidak jauh berbeda denganku.” , balasnya dengan tenang membolak - balikan kertas koran.
“Itu sebabnya dulu aku tidak setuju saat dia bilang ingin menjadi polisi. Aku sudah tahu akan seperti ini jadinya. Lihat? Di usianya yang sudah mau memasuki kepala tiga tapi dia bahkan tidak memiliki waktu untuk mencari pasangan untuk dinikahinya. Bagaimana jika dia menikah di usia tua, Bimo?”
“Menikah bukan tujuan hidup, Mira. Apakah tidak cukup Rangga sehat dan bersemangat seperti ini? Itu hal yang bagus. Lagipula jika dia menjadi sepertiku, bukankah akhir ceritanya akan sama? Aku senang dia memilih akhir cerita yang berbeda untuknya.” , ujar ayah Rangga dengan senyum bangga.
Ibu Rangga yang sudah hapal suaminya pasti akan membela anaknya dibandingkan dirinya, mendesah sebal, “Iya aku mengerti. Tapi apa kau tidak kasihan melihatnya hidup seperti ini? Pulang ke rumah orangtuanya hanya untuk tidur seharian? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi apartemennya.”
Ayah Rangga yang merasa bosan mendengar keluhan istrinya tersebut memilih untuk meletakkan korannya, mengubah posisinya menghadap istrinya yang masih terlihat kesal dan mulai memijit pundaknya pelan, mencoba untuk meredakan emosi istrinya, “Iya iya aku mengerti. Kau hanya khawatir. Tapi jika tidak seperti itu, Rangga tidak akan dewasa. Sudah cukup mengeluhnya. Tidak baik memulai hari dengan menggerutu.” , jelas ayah Rangga lembut dengan suara beratnya.
Sesaat kemudian ia berhenti memijit dan mendekatkan lagi dirinya pada istrinya, “Bagaimana kalau kita bermain sebentar?” , godanya yang berhasil membuat istrinya terkekeh seketika.
Mendengar ajakan itu, Mira memukul pelan lengan suaminya, “Ah kau ini, kita sudah berumur. Bukan waktunya untuk melakukan hal seperti itu lagi.”
“Mengapa tidak? Perasaanku padamu masih sama seperti dulu, kok.” , goda ayah Rangga sambil mencium telinga istrinya dengan lembut.
Kecupan lembut tersebut tidak diduga seperti menghantarkan listrik pada Mira yang membuatnya merasa seperti saat masih muda dulu. Perasaan yang sama tiap kali Bimo, suaminya, mencumbunya dengan manja.
Ayah Rangga menunggu sesaat untuk melihat reaksi istrinya. Merasa tidak mendapat perlawanan ataupun penolakan, ayah Rangga tersenyum menggoda dan melanjutkan aksinya dengan mendorong membawa Mira untuk berbaring di atas sofa dan menyerangnya dengan kecupan dan juga cumbuan pada tubuh MIra yang bagi dirinya masih terasa sama seperti mereka muda dulu.
“Aww, Bimo, jangan disini, nanti anak - anak akan melihat!”
“Tidak akan, mereka tidak akan bangun sepagi ini.”
***