Sementara itu di kamar Rangga, suasananya begitu tenang. Hanya terdengar suara dengkuran lembut dari makhluk besar yang tidur tengkurap di atas kasur dengan acak - acakan. Setelah kemarin telah menguras tenaga dan juga energinya untuk menuruti semua permintaan adiknya yang berulang tahun, semalam Rangga sudah membulatkan tekad untuk tidur seharian esok sebagai bentuk balas dendamnya atas waktu tidurnya kemarin yang sudah terpotong hanya untuk mendengar teriakan - teriakan para wanita yang benar - benar memekakan telinganya dengan berdiri di antara mereka selama kurang lebih tiga jam.
Seperti biasanya, dunia selalu punya caranya sendiri untuk mengacaukan tekad dan keinginan manusia. Di tengah kedamaian yang sederhana itu tiba - tiba saja ponsel Rangga berdering mengaburkan kedamaian tadi. Mata Rangga bergerak dan mencoba untuk membuka matanya namun terasa sangat berat. Ia menyerah untuk membuka matanya yang masih ingin terlelap, dan memilih untuk meraba - raba meja di samping tempat tidurnya dengan tangan kanannya mencari - cari ponselnya.
“Halo? Siapa ini?” , katanya dengan suara parau khas bangun tidur dan mata yang masih tertutup.
“Nyenyak ya tidurmu.” , sarkas suara si penelpon yang terdengar segar tidak seperti Rangga yang masih berusaha untuk membuka matanya.
“Ah mas Agung.” , kata Rangga sambil menggaruk - garuk kepalanya begitu mengenali suara si penelpon walaupun tidak melihat nama kontak yang tertera pada layar ponselnya, “Ada apa pagi - pagi buta menelpon?”
“Apa katamu? Pagi - pagi buta?” , Agung yang sudah dengan baju santainya tengah menikmati paginya dengan secangkir kopi hampir tersedak kopinya sendiri mendengar perkataan Rangga, “Cepat buka matamu dan lihat ke luar jendela kamarmu, dunia sudah memulai aktifitasnya.”
Rangga yang terlalu malas untuk mendengar ocehan dan omelan dari ketua timnya tersebut mengacak - acak kasar rambutnya yang entah bagaimana bisa mengembang dan berdiri tidak beraturan, “Langsung saja, ada apa?” , kata Agung tidak sabaran karena ingin cepat - cepat kembali tidur.
“Jadi begini,” , Agung menarik berkas - berkas kasus pembunuhan berantai anak yang sampai sekarang masih belum dapat mereka pecahkan, “Kemarin aku mengunjungi korban selamat dari kasus kita yang belum berhasil kita pecahkan.”
Mendengar nada bicara Agung yang serius ditambah hal yang tengah dibicarakan adalah kasus yang juga menjadi tanda tanya besar untuk Rangga, seketika kesadaran Rangga pulih sepenuhnya dan matanya langsung membuka, “Maksudmu anak kecil bernama Danisa?” , tanyanya.
“Iya. Ibunya memutuskan perawatan gadis kecil tersebut karena masalah biaya. Yah, walaupun dari segi fisik bisa dibilang sudah pulih sepenuhnya. Namun dari segi psikis sepertinya dia masih ada trauma. Dia masih belum mau bicara sampai sekarang.” , jelas Agung.
“Ah begitu..”
“Tapi saya mendapat petunjuk bagus dari Danisa yang dapat membawa kita pada pelaku.”
“Bukannya tadi kau berkata bahwa Danisa tidak mau berbicara?” , tanya Rangga.
Agung meraih cangkir kopinya dan menyeruputnya sedikit, “Iya memang begitu. Tapi ibunya merasa ada yang janggal saat Danisa menjadi histeris dan ketakutan tiap kali melihat karakter Misha. Kau tahu? Misha and The Deer. Kartun yang sedang populer setahun ke belakang.”
“Tidak. Aku tidak tahu.” , balas Rangga dengan santainya, “Tapi aku akan mencari tahu soal itu nanti. Lalu bagaimana? Apa sebelumnya Danisa menyukai karakter itu sampai kejadian mengerikan itu menimpanya?”
Agung menyeruput kembali kopinya dan baru meletakkan cangkirnya, “Benar sekali. Saya yakin hal itu bukannya terjadi begitu saja. Kemungkinan besar karakter Misha ini ada kaitannya dengan si pelaku. Saya yakin sekali. Tetapi saya masih belum mengetahui pasti bentuk karakter Misha ini seperti apa yang berkaitan langsung dengan si pelaku.”
Rangga sudah benar - benar terbangun sekarang. Ia mendengarkan dengan serius dan memikirkannya baik - baik.
“Maaf mengganggumu di hari liburmu. Tapi saya tidak bisa menahannya.” , tambah Agung yang malah mengaburkan pikiran Rangga.
Bibir Rangga tersungging sedikit mendengar pengakuan ketua timnya itu, “Apa kau tidak berlibur?” , tanya Rangga yang membuat Agung terdiam sejenak.
Membutuhkan waktu beberapa detik bagi Agung memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan sederhana namun terasa sulit saat memikirkan alasannya itu, “Saya tidak memiliki waktu untuk berlibur saat diluar sana pelakunya masih berkeliaran dengan bebas. Entahlah, saya merasa bersalah pada korban - korban yang harus meregang nyawa karena kepayahan polisi jika saya berlibur untuk sejenak saja.”
“Walaupun begitu kau harus memiliki waktu untukmu sendiri.” , nasihat Rangga.
Agung diam. Dirinya menolak untuk mendengar nasehat itu, “Nanti akan saya kabari lagi.” , balas Agung dan langsung menutup panggilannya secara sepihak.
Rangga heran dengan sikap ketua timnya itu. Namun, ia tidak ingin memusingkan diri di pagi hari hanya untuk memikirkan sikap ketua timnya yang begitu kaku dan tertutup. Karena sudah terlanjur bangun dan terlalu sadar untuk kembali tidur, Rangga memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri hari ini.
Rangga meletakkan kembali ponselnya dan meregangkan otot - ototnya dengan meregangkan tangan dan juga punggungnya kuat - kuat. Merasa lebih baik setelah peregangan singkatnya, ia beralih meraih handuk yang tergantung di balik pintunya dan berjalan keluar kamar.
Saat hendak ke kamar mandi di lantai dua yang tak jauh dari kamarnya, dari lantai dua, Rangga melihat ayah dan ibunya yang tengah b******u dengan panas di sofa bawah. Ia berhenti sebentar dan berkacak pinggang melihatnya.
“Sepertinya mereka lupa pada kamar mereka.” , sarkas Rangga pelan dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
Saat hendak menutup pintu kamar mandi, Rangga dengan sengaja menutupnya dengan sedikit membantingnya hingga terdengar suara yang terdengar hingga ke lantai satu. Sontak, hal itu benar - benar membuat ayah dan ibunya terkejut. Mereka berdua dengan kompak langsung menatap ke arah lantai dua yang bisa terlihat dari tempat mereka sebelum mereka saling melempar tatapan seakan menanyakan satu hal yang sama satu sama lain.
***
Pagi itu seperti biasa, Adelia membantu mengajar di taman kanak - kanak milik bu Indira. Setelah satu jam pelajaran, waktu istirahat tiba. Biasanya anak - anak akan menghabiskan waktu istirahat untuk bermain di taman bermain yang berada tepat di samping ruang belajar. Sementara itu para ibu - ibu yang mengantarkan dan menunggu anak - anaknya, tengah asyik mengobrol satu sama lain dengan topik pembicaraan yang tidak jauh dari menceritakan keluarga mereka masing - masing.
Sedangkan para tenaga didik yang mengajar, membagi - bagi tugas mereka. Adelia mendapat tugas untuk menyiapkan peralatan yang akan dipakai untuk kelas selanjutnya yang akan berlangsung setelah waktu bermain mereka sudah selesai beberapa menit lagi. Adelia yang memang sudah terkenal tidak banyak bicara, memilh untuk mengerjakan bagiannya tanpa berbincang - bincang dengan yang lainnya. Tidak seperti tenaga didik lainnya yang melakukan tugas mereka sambil berbincang - bincang dan juga tertawa - tawa bersama.
Di taman bermain, Raya ikut bermain bersama anak - anak yang lainnya. Karena menjadi yang tertua diantara anak - anak lainnya, seringkali Raya bertindak layaknya seorang kakak untuk anak - anak lainnya. Ibunya pun seringkali berkata padanya untuk menjaga dan bersikap baik pada anak - anak lainnya karena anak - anak itu adalah adik - adik yang usianya lebih muda dari Raya dan masih butuh bimbingan untuk diajari bagaimana cara berteman yang baik. Itu sebabnya, seringkali Raya membantu anak - anak lainnya untuk bermain ketimbang bermain sendiri.
Kali ini, Raya merasa semua anak - anak sudah bermain dengan baik dan tidak ada yang bertengkar, ia pun memutuskan untuk bermain permainan yang ia sukai yaitu membuat istana pasir. Dengan ramah setelah membantu salah satu anak untuk naik ke atas ayunan, Raya bergabung dengan anak - anak yang lainnya yang sudah lebih dulu berada di dalam bak pasir.
“Aku mau membuat istana yang besar!~” , ujar Raya mendeklarasikan proyeknya hari ini walaupun ia tidak yakin anak - anak tersebut mendengarkan ucapannya.
Raya mengambil sendok pasir dan juga berniat untuk mengambil ember pasir berwarna biru. Namun, saat mengambil ember pasir, bersamaan dengannya, seorang anak laki - laki dengan ingus yang tersisa - sisa di hidungnya juga mengincar bak pasir tersebut. Mereka berdua saling menatap satu sama lain dan terdiam. Beberapa saat kemudian Raya tersenyum dan melepaskan ember tersebut, membiarkan anak itu untuk mengambilnya.
“Kamu boleh pakai duluan, baru setelah itu aku yang pakai.” , ujar Raya yang mengundang senyum senang di wajah anak tersebut. Raya ikut senang melihat hal itu.
Anak ingusan tadi menepati kesepakatan mereka. Setelah ia selesai menggunakan ember pasirnya untuk membuat dua gundukan besar yang tidak begitu rapi, tanpa bicara apapun, ia memberikan ember pasirnya pada Raya yang tengah membuat cekungan panjang yang di klaimnya sebagai jalanan menuju istana yang akan ia buat.
Semuanya bermain dengan tenang dan damai hingga seorang anak dengan sepeda roda tiganya menyerobot masuk ke dalam bak pasir dan melindas istana pasir milik Raya. Jelas Raya terkejut dibuatnya, begitu juga anak - anak yang lainnya sama terkejutnya.
“Jeno!” , protes semua anak - anak yang ada di dalam bak pasir memperingatkan Jeno atas tindakannya.
“Kenapa kamu melindas istanaku?” , protes Raya sedikit kesal.
Angka yang tertera pada jam tangannya pun naik perlahan seiring bertambah cepat detak jantung Raya akibat rasa kesal yang ia rasakan saat ini.
Alih - alih menjawab, anak dengan sepeda roda tiga yang dipanggil Jeno itu tidak mempedulikan teguran teman - temannya ataupun pertanyaan Raya. Ia mengayuh sepedanya, membawanya keluar dari bak pasir. Anak - anak lainnya hanya memandangnya dengan tatapan kesal. Tak terkecuali Sora.
“Tidak apa teman - teman, aku bisa membuatnya kembali.” , ujar Raya menenangkan anak - anak yang lain agar tidak menyimpan dendam pada Jeno.
Anak bernama Jeno ini melanjutkan perjalanannya bersama sepeda roda tiga yang memang disediakan disana, berkeliling di taman bermain seakan - akan ia adalah polisi yang tengah berpatroli. Tepat di depan sebuah perosotan, Jeno menghentikan sepedanya dan turun dari sana untuk ikut bergabung bermain dengan teman - temannya yang sedang asyik bermain ayunan secara bergantian.
Tanpa ada yang mengetahui, salah seorang anak tengah bersiap untuk meluncur di atas perosotan yang di bawahnya ada sepeda roda tiga yang tadi dipakirkan dengan sembarangan oleh Jeno. Anak yang sudah berada di atas perosotan tahu ada sepeda yang menghalangi jalan pendaratannya jika ia meluncur.
“Turun - turun. Ada sepeda yang menghalangi. Dipindahkan dulu!~” , ujarnya pada teman - temannya yang sudah menaiki tangga di belakangnya.
Namun teman - temannya tidak mendengarkan dan terus naik sambil tertawa - tawa. Saat itulah ada seorang anak yang sudah mengantri dengan tidak sabar, dengan tanpa merasa bersalah mendorong anak laki - laki tersebut hingga ia meluncur ke bawah. Oleh sebab itu kecelakaan tidak dapat terhndarkan. Begitu ia sampai di bawah, badannya tidak senpat membuat posisi mengelak ataupun mendorong sepeda tesebut sehingga ia tersungkir dengan wajahnya membentur sepeda tersebut.
Semua anak - anak yang tengah mengantri untuk naik perosotan, mendadak menjadi hening melihat kejadian itu. Anak - anak yang lain tanpa terkecuali Raya, langsung menoleh ke arah sumber suara keras yang membentur sesuatu dan ikut terkejut. Sesaat kemudian terdengarlah suara tangisan anak tersebut saat ia bangun dan menunjukkan hidungnya mimisan mengeluarkan darah.
Dengan sigap Raya melompat dari bak pasir dan berlari menghampiri anak tersebut. Ia lupa jika dirinya dilarang untuk berlari demi kesehatannya, “Kamu tidak apa - tanya?”, tanya Raya dengan cemas.
Namun anak tersebut tidak menjawab. Ia hanya diam untuk mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Raya dan kemudian kembali menangis lagi.
“Apa kamu bisa berdiri? Ayo kita ke ibu guru.” , alih - alih menjawab, anak yang menangis itu menunjukkan lututnya yang juga berdarah karena benturan tadi.
Raya memaksa pikirannya untuk berpikir dengan cepat. Hanya dalam beberapa detik, Raya sudah memutuskan keputusannya.
Ia berbalik dan berjongkok di hadapan anak tersebut, “Cepat naiklah ke punggungku!” , ujar Sora mendesak.
***