BAB TIGA : SAKSI TERSEMBUNYI (part 4)

1979 Kata
Adelia berkacak pinggang dan menghela nafas panjang begitu ia melihat tugasnya sudah selesai. Dengan senyuman kecil di wajahnya ia mengelap dahinya yang mudah basah oleh keringatnya sendiri. Kepalanya menengadah keluar jendela untuk melihat kondisi langit. Ia bertanya - tanya mengapa hari ini terasa lebih panas dari biasanya. Dan benar saja, ketika ia menengadahkan sedikit kepalanya, ia tidak melihat ada awan yang melintas ataupun mampir sejenak untuk membantu meneduhkan tanah dari terpaan sinar matahari. Yang terlihat hanya matahari yang begitu bundar dan panas. Saat itu ia langsung terpikirkan tentang Raya. Ia khawatir dengan suhu yang lebih panas, keringat akan lebih banyak keluar dan denyut nadinya akan lebih cepat dari biasanya. Ia pun langsung bergegas keluar untuk menyuruh Raya diam di dalam rumah yang lebih sejuk dibandingkan di luar. Belum sampai ia di depan pintu, salah seorang tenaga didik yang usianya lebih muda dari Adelia datang dengan tergesa - gesa dan terlihat panik, “Tolong kapas dan obat merah!” , ujarnya dengan terburu - buru masuk ke dalam kelas dan membuka tiap laci lemari yang ada di sudut kelas untuk mencari barang yang ia sebutkan tadi. Melihatnya begitu panik, tenaga didik lainnya yang ada disana terkejut sekaligus heran secara bersamaan, termasuk Adelia dan juga bu Indira. “Ada apa? Siapa yang terluka?” , tanya yang lainnya masih tidak mengerti ada situasi apa di luar. “Gilbran. Dia terluka di taman bermain saat bermain perosotan. Dan Raya yang membawanya dengan menggendongnya.” , jelasnya dengan terburu - buru, masih mencari kapas dan obat merah. Spontan yang lainnya langsung ikut membantu mencari barang yang disebutkan tadi. Sedangkan Adelia menatap bu Indira dengan mata terbelalak mendengar nama putrinya disebutkan dan ditambah putrinya yang membawa anak yang terluka tersebut dari taman bermain. Bu Indira paham betul arti tatapan itu. “Dimana mereka sekarang?!” , tanya Adelia dengan wajah panik. Yang ditanya terheran - heran mengapa Adelia yang pendiam itu tiba - tiba menjadi sepanik itu, “Ada di ruang tunggu di depan.” Segera, Adelia dengan terburu - buru memakai sandalnya dan bergegas ke ruang tunggu terbuka di depan. Setelah berbelok, ia bisa melihat kerumunan ibu - ibu yang menunggu anak - anaknya tengah meriung. Semakin mendekat, ia bisa mendengar suara isakan tangis Gilbran dengan hidungnya yang mimisan di samping ibunya yang mencoba menenangkan tangisannya dan menjaga agar kepala Gilbran tetap menengadah menghadap atas agar mimisannya segera berhenti. Melihat keadaan itu, perhatian Adelia lebih ke putrinya, Raya, yang berdiri tidak jauh dari Gilbran. Raya tampak terengah - engah dan pucat ditambah bunyi peringatan dari jam tersebut yang berbunyi. “Raya!” , panggil Adelia segera menghampiri Raya dan berjongkok untuk melihat keadaan Raya. Lantas hal itu menjadi perhatian yang lainnya, termasuk ibunya Gilbran, “Mana kapasnya, bu?” , tanya ibu Gilbran mendesak pada Adelia. Adelia yang datang tidak membawa apa - apa hanya menatap bingung pada ibu Gilbran dan yang lainnya. “Permisi! Permisi! Ini kapas dan obat merahnya!” , ujar salah seorang tenaga didik dengan celemek berwarna kuning terang yang lembut sama seperti yang dipakai oleh Adelia juga tenaga didik yang lainnya. Perhatian Adelia kembali pada Raya yang banyak berkeringat dan wajahnya mulai terlihat pucat. Ia meraih tangan Raya yang terpasang jam tangan khusus dan melihat angka yang tertera pada jam tersebut menunjukkan angka yang cukup tinggi. “Apa yang kau lakukan?!” , ujar Adelia dengan nada sedikit meninggi dengan wajah yang begitu panik dan khawatir. Hal itu membuat ibu - ibu yang lainnya serta tenaga didik yang juga ada disana untuk membantu melihat kepada Adelia yang tengah terlihat marah pada anaknya. Adelia yang terlampau panik, memukul betis Raya dengan tangannya, “Kenapa kau melakukan itu?! Kan berkali - kali ibu sudah mengatakannya padamu untuk menjaga agar jam ini tidak berbunyi!” Alih - alih menjawab, Raya hanya menatap ibunya dengan lesu dan berusaha untuk tetap bernafas walaupun terasa sangat berat hingga ia terengah - engah. Tidak tega melihat keadaan putrinya, Adelia segera menggendongnya, “Bertahanlah. Kita ke rumah sakit, ya. Tahan sebentar.” , katanya sambil pergi dari sana dengan terburu - buru ke rumahnya yang berada di belakang taman kanak - kanak untuk mengambil dompetnya sambil menggendong Raya di depannya. Setelah kepergian Adelia dari kerumunan, ibu - ibu disana mulai berbisik satu sama lain bertanya - tanya sikap Adelia yang berlebihan di mata mereka. Pandangan heran mereka lontarkan saat melihat kepergian Adelia yang sambil menggendong putrinya yang sudah berumur tujuh tahun. Semua yang disana, kecuali bu Indira, tidak mengerti mengapa Adelia justru memarahi anaknya yang sudah menolong anak lain yang terluka dan bersikap berlebihan seperti itu. “Ada apa dengannya? Anakku yang terluka disini mengapa dia justru membawa putrinya yang ke rumah sakit?” , tanya ibu dari Gilbran yang tidak tahan untuk menjulid. Ia tidak menyadari perkataannya itu telah membawa pengaruh kepada ibu - ibu lainnya untuk berpikiran hal yang sama. Satu per satu dari mereka pun mulai berbisik satu sama lain. “Luka anakmu tidak ada apa - apanya dibandingkan dengan yang sedang terjadi pada putrinya.” , ujar bu Indira yang maju selangkah ke depan dari kerumunan. Pernyataan itu semakin membingungkan yang lainnya, terlebih para tenaga didik yang sering membicarakan pasal Adelia di belakangnya. “Apa maksudnya, bu?” , tanya ibu Gilbran mewakili mereka semua yang ada disana, yang juga ikut bertanya - tanya dalam hati mereka. “Putrinya memiliki jantung yang lemah sejak lahir. Hingga hari ini keadaannya semakin memburuk dan sangat memerlukan donor untuk jantungnya. Kalian tahu berapa persen kemungkinan ada donor jantung terlebih lagi untuk anak sekecil itu? Lebih mudah untuk mencari biaya operasinya dibandingkan mencari pendonor. Oleh karena itu ia bersikap seperti itu. Berhentilah melihatnya dengan sebelah mata. Kalian bahkan belum pernah mencoba untuk lebih akrab dengannya.” , jelas bu Indira dengan serius sambil memberikan sebotol s**u pada Gilbran dengan senyuman singkat pada wajahnya yang langsung berhenti menangis begitu menerimanya. Tak ingin berlama - lama lagi disana, ia beranjak pergi dari sana tanpa berkata apa - apa lagi meninggalkan ibu - ibu yang merasa terenyuh sekaligus iba pada Adelia. Begitu juga dengan rekan - rekan tenaga didik Adelia yang biasanya menggunjing Adelia yang langsung merasa bersalah atas semua pembicaraan buruk yang pernah mereka lakukan dulu. *** Setelah mengambil tas kecil yang berisi perlengkapan yang biasa ia bawa tiap membawa Raya ke rumah sakit untuk memeriksakan diri, ia bergegas berjalan dengan cepat ke depan jalan masih dengan menggendong Raya untuk mencari taksi, ia bahkan lupa untuk melepas celemeknya. Hari itu benar - benar bukan hari yang baik untuk menunggu sebuah taksi lewat. Ia lupa Panas terik matahari masih menerpa dan awan masih enggan untuk sekedar lewat. Hal itu membuat Adelia semakin berkeringat begitu juga dengan Raya. Dengan perasaan yang semrawut, Adelia berusaha keras untuk membuat Raya tetap dingin. Dengan tangannya ia mengelap semua keringat yang ada pada wajah Adelia dan mencoba untuk memberikan sedikit angin dengan mengipaskan tangannya. Beruntung, tak lama sebuah taksi berwarna biru muda dengan lambang burung yang sudah familiar, terlihat dari ujung jalan. Segera Adelia merentangkan tangannya ke depan untuk menghentikan taksi tersebut. “Selamat siang, bu.” , sapa supir tersebut ramah begitu Adelia membuka pintu penumpang di belakang, “Tujuannya kemana?” “Rumah Sakit! Tolong cepat ya, pak!” , ujar Adelia mendesak untuk menunjukkan betapa gentingnya situasi yang sedang dialaminya saat ini. Melihat kekhawatiran yang tampak begitu jelas di wajah Adelia, pak supir tersebut mengangguk mengerti dan langsung melajukan taksinya dengan kecepatan lebih dari biasanya. Sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri, Adelia mengelap semua keringat yang sudah terkumpul lagi di wajah Raya dan juga menyapu rambut Raya ke belakang sambil meniup - niupnya berharap agar suhu tubuh Raya segera menurun. Bapak supir taksi yang melihat hal itu dari spion yang tepat berada di atas dahsboard bagian tengah, dengan pengertian menyalakan AC mode kipas pada pendingin mobil yang berada tepat di atas Adelia dan juga Raya. Adelia yang sedikit kaget karena tiba - tiba dari atasnya terasa ada udara dingin yang mengalir, segera menatap pada supir taksi melalui spion yang sama. Mereka saling bertatap, dan Adelia spontan memberikan senyuman rasa terima kasihnya karena sudah pengertian padanya tanpa bertanya. Beruntung jalanan tidak sepadat biasanya karena hari sudah siang, dalam lima menit saja mereka sudah sampai di depan pintu masuk rumah sakit tujuan mereka. “Ini, pak. Terima kasih, ya.” , kata Adelia sambil memberikan uang pas sesuai yang tertera pada argo taksi dengan terburu - buru dan langsung masuk ke dalam. *** Setelah panggilan pagi dari ketua timnya yang mengganggu waktu hibernasinya, kini Rangga ikut memikirkan kasus tersebut. Ia juga bertanya - tanya pasal petunjuk baru yang berkaitan dengan si pelaku. Hal itu membuatnya mengunjungi kembali tempat - tempat kejadian mengerikan itu terjadi. Metode kejahatan yang digunakan si pelaku selalu sama, hanya tempat penemuan mayat korbannya saja yang berbeda - beda. Setelah mengunjungi satu per satu tempat kejadian saat anak - anak tersebut mulai hilang karena diculik oleh si pelaku, Rangga masih belum mendapatkan titik terang ataupun sedikit petunjuk lainnya yang bisa mengarahkannya pada pelaku. Pemandangan dari tiap lokasi masih sama seperti sebelum - sebelumnya. Tidak ada tanda - tanda si pelaku datang kembali ke tempat kejadian ataupun petunjuk - petunjuk yang mungkin terlewat oleh forensik saat menelusuri tempat kejadian. Nihil. Merasa sudah cukup lelah dengan semua perjalanan dan pikiran yang menguras energi, Rangga memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah taman yang tak jauh dari tempat terakhir yang ia kunjungi. Yaitu tempat dimana Danisa mulai hilang. Taman itu tidak terlalu ramai pengunjung. Mungkin karena lokasinya juga yang tersembunyi di dalam sebuah gang dan tidak dekat dengan jalan besar, membuatnya tidak begitu populer. Walaupun begitu, jalan masuk menuju taman ini masih bisa dilalui oleh kendaraan mobil pribadi. Hanya ada beberapa pedagang yang masih menunggu pembelinya datang dan juga beberapa anak yang tengah bermain - main di belakang tempat Rangga duduk. Rangga merasa lega karena pepohonan besar di taman ini masih dibiarkan apa adanya dan tidak ditebang dengan alasan perluasan wilayah ataupun pengadaan lahan untuk arena bermain lainnya. Tepat di bawah sebuah pohon besar yang daunnya rindang dan akar - akar besarnya yang menggantung, Rangga duduk di atas tempat duduk yang terbuat dari semen dan di cat berwarna hijau yang sudah luntur. Di beberapa sudut memang disediakan tempat duduk sejenis yang di cat dengan warna - warna berbeda yang beberapa dari mereka warna catnya sudah mulai luntur dimakan hujan dan panas. Sambil duduk beristirahat ditemani es teh lemon segar yang membantunya menghilangkan dahaga dan mengisi kembali energinya untuk kembali memutar otaknya berpikir lebih keras lagi. Tetapi, di tempat seperti ini ia tidak bisa mengharapkan otaknya dapat berkonsentrasi dengan semua suara bising anak - anak dan juga pengamen boneka di belakangnya yang menyalakan musik kencang - kencang agar menarik perhatian orang - orang untuk melihatnya. Benar saja, mendengar musik yang begitu mengganggu telinganya, Rangga spontan menoleh ke belakang dan dilihatnya sebuah pengamen boneka karakter Misha and The Deer berukuran kurang lebih dua meter tengah menari - nari dengan menggerak - gerakan kaki dan tangannya mengikuti irama dikellingi anak - anak yang tadinya asyik bermain di arena bermain. Melihat maskot tersebut, terlebih karakternya adalah karakter kartun yang sedang ia pusingkan sepanjang hari ini, Rangga menduga si pelaku mungkin memakai metode seperti itu. Dalam pikirannya mulai terputar skenario bagaimana si pelaku menarik perhatian korbannya dengan dirinya yang memakai kostum karakter Misha tersebut. Ia merasa spekulasinya adalah benar karena dengan begitu semuanya jadi tampak masuk akal. Saat masih menimbang - nimbang dan menduga - duga kemungkinan lainnya, ponselnya berdering oleh satu panggilan masuk. Segera ia merogoh sakunya dan melihat kontak Agung yang menelponnya di siang hari bolong seperti ini. Ia sudah merasakan firasat bahwa ada sesuatu yang penting yang baru saja Agung temukan, dan segera menggeser dial jawab pada layar ponsel pintarnya. “Halo, bagaimana? Apa sudah ada petunjuk baru?” , tanya Rangga langsung menodong Agung dengan pertanyaan. “Danisa sudah mau bicara!” , balas Agung di seberang sana dengan bersemangat dan terdengar tengah tergesa - gesa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN