Mendengar hal itu, spontan Rangga langsung berdiri, “Benarkah?!”
“Baru saja ibunya menelpon, memberitahukan pasal Danisa yang sudah mau berbicara.” , jelas Agung yang sudah siap dengan jaketnya dan menutup pintu apartemennya, “Saya akan pergi ke tempatnya sekarang, Kau menyusul ya.” , ujarnya sambil dengan terburu - buru menuruni tangga apartemennya.
“Aku akan segera kesana.” , balas Rangga dan langsung ditutup sepihak oleh Agung yang begitu terburu - buru.
Sebelum pergi, Rangga langsung meneguk habis es teh lemon yang dipesannya pada pedagang minuman yang ada disana, “Berapa, bu?” , tanyanya cepat sambil mengeluarkan dompetnya.
“lima ribu, mas.” , jawab ibu penjual secara singkat, padat, dan jelas, begitu melihat Rangga yang begitu terburu - buru.
Rangga mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah dari dalam dompetnya dan langsung memberikannya segera kepada ibu penjual tersebut, “terima kasih, bu!” , pamit Rangga yang langsung bergegas pergi dari sana.
Karena terburu - buru, Rangga tidak sengaja bertabrakan dengan pengamen yang memakai kostum Misha tadi hingga ember yang berisi uang - uang receh hasil pemberian orang - orang pada pengamen tersebut jatuh dan isinya berceceran kemana - mana.
“Maafkan aku! Aku sedang terburu - buru.” , jelas Rangga yang langsung berjongkok untuk mengumpulkan kembali uang - uang tersebut. Walaupun ia sedang terburu - buru, ia ingin menunjukkan rasa tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik sekaligus petugas kepolisian yang mengayomi masyarakat walaupun orang - orang yang ada disini tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang polisi.
Pengamen kostum itu masih dengan kostum lengkap, ikut berjongkok dan melepas sarung tangannya untuk mengumpulkan uang - uang yang berjatuhan. Rangga berusaha secepat mungkin mengumpulkan uang - uang receh yang bertebaran, saat itu ia melihat tangan dari orang yang berada di dalam kostum yang juga tengah memunguti recehan yang bertebaran, terdapat sebuah tato bunga mawar dengan warna yang gelap berukuran sedang berada pada punggung tangan dan menyebar hingga pergelangan tangannya.
Rangga langsung terkesiap melihat tato tersebut. Pasalnya, dulu saat Danisa baru - baru diselamatkan saat tengah melarikan diri, di rumah sakit, ia terus - terusan menjerit ketakutan saat melihat bunga mawar yang ada dalam vas bunga di atas meja samping ranjangnya. Pikiran Rangga dengan cepat menghubungkan petunjuk tentang mawar dan karakter Misha yang menjadi salah satu petunjuk kunci tentang identitas si pelaku.
Sambil memikirkannya, Rangga menatap bagian kepala kostum karakter Misha yang menunjukkan wajah tersenyum senang tersebut dengan serius, berusaha untuk melihat siapa sosok di balik kostum itu. Merasa begitu yakin dengan deduksinya, Rangga dengan sigap menahan tangan pengamen tersebut dan mencengkramnya dengan kuat. Sontak hal itu membuat orang dalam kostum tersebut terkejut dan menatap pada Rangga yang tengah menatapnya dengan tatapan yang menakutkan.
“Kau kah itu?” , tanya Rangga dengan begitu penuh penekanan. Rahangnya mengeras membentuk tegas garis pada bagian bawah wajahnya.
Alih - alih menjawab, orang yang ada dalam kostum tersebut menatap Rangga beberapa saat, begitu juga Rangga yang menunggu jawaban yang akan dilontarkan oleh sosok yang bersembunyi dalam kostum tersebut.
“Kau kah itu? Kasus penculikan, p*********n, dan pembunuhan anak yang terjadi sejak setahun yang lalu?” , tanya Rangga lagi mendesak orang dalam kostum.
Seolah menunggu waktu yang tepat, orang yang berada dalam kostum tersebut masih diam menatap Rangga. Saat itu juga ponsel milik Rangga berdering mengejutkan mereka berdua. Itulah momen yang dimanfaatkan oleh orang dengan kostum tersebut untuk kabur. Ia melemparkan ember yang berisi uang receh itu pada Rangga dan mendorongnya hingga terjatuh untuk kemudian ia berlari kabur dan berbelok menuju jalan raya sambil melepas kepala kostum karakter Misha agar lebih memudahkannya berlari.
“Sialan!” , umpat Rangga yang langsung bangkit dan berlari ke arah orang dengan kostum tadi pergi.
Pedagang - pedagang dan juga pengunjung taman yang ada disana hanya bisa terdiam melihat kejadian yang terjadi begitu cepat itu.
Rangga berbelok tepat di belokan yang dilalui oleh orang dengan kostum tadi. Dilihatnya orang tersebut masuk ke dalam sebuah mobil van tua yang bagian badan mobilnya banyak cat mobil yang mengelupas. Saat itu juga Rangga semakin yakin orang tersebut adalah si pelaku yang ia cari selama ini. Dalam kepalanya, ia bisa langsung bisa menebak bagaimana si pelaku menculik para korbannya dan membawanya untuk dihabisi.
“Berhenti disana!” , teriak Rangga saat melihat mobil van tua tersebut mulai membunyikan mesinnya.
Mendengar teriakan peringatan dari Rangga, membuat orang yang sudah berada di dalam van tuanya itu panik dan langsung menginjak gas untuk membawa vannya menjauh pergi dari Rangga.
Untuk saat ini, pertama kalinya bagi Ranga berharap hari ini adalah bukan hari liburnya jadi ia bisa membawa perlengkapannya termasuk senjata api yang biasa ia gunakan untuk memberi peringatan. Namun karena ia benar - benar tidak menduga hal ini akan terjadi, ia hanya berpakaian seperti biasa dan tidak membawa persiapan apapun. Segera ia berlari mengejarnya berharap van tua butut tersebut tidak lebih cepat dari kecepatan berlarinya.
Tidak diduga, walaupun mobil van itu terlihat tua dan sudah tidak layak pakai, kecepatannya masih seperti mobil miliknya. Merasa tidak akan terkejar, Rangga mencoba menghapal nomor plat mobil yang masih bisa terlihat jelas olehnya dalam pengejarannya. Ia mengucapkannya beberapa kali dan langsung menelpon Agung untuk memberitahukan hal ini padanya.
Agung tengah menyetir mobilnya menuju tempat tinggal Danisa dan sebuah panggilan masuk dari Rangga menginterupsinya dari perhatiannya pada jalan di depannya, “Halo?” , ucap Agung begitu ia mengangkat panggilan dari Rangga.
“Q 8402 T! Aku menemukan si pelaku! Q 8402 T! Lacak plat mo--”
BRAAKK!
Tanpa diduga sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak Rangga dari arah kiri Rangga saat pengejaran Rangga terhenti di jalan besar. Tubuh Rangga beserta ponselnya terlempar beberapa meter jauhnya ke depan. Daraah segar mulai mengalir dari kepalanya yang membentur aspal jalan.
TUT TUT TUT TUT
“Halo? Halo? Rangga? Apa kau masih disana?” , tanya Agung yang mulai khawatir karena panggilannya terputus begitu saja setelah suara kencang tadi. Segera Agung menepikan mobilnya dan membawanya berputar arah.
Rangga merasakan pusing yang hebat di kepalanya dan ia merasa tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Samar - samar ia bisa melihat orang - orang yang mulai berkerumun mengitarinya dan juga beberapa dari mereka terlihat panik dengan ponsel di telinganya. Tak lama pandangannya benar - benar buram bernuansa merah karena daraah yang mengalir melewati matanya dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan diri.
***
Adelia dengan panik berlari menuju meja administrasi masih sambil menggendong Raya. Hal itu membuatnya menjadi perhatian tiap orang - orang yang berpapasan dengannya. Salah satu perawat yang berjaga di bagian administrasi sontak langsung berdiri melihat Adelia berlari kecil ke arahnya.
“Tolong panggilkan dokter Damar! Anakku..--” , ujar Adelia dengan terburu - buru.
Perawat tersebut keluar dari meja administrasi untuk menghampiri Adelia, “Tenang dulu ya, bu. Ada apa dengan anak ibu?” , tanyanya berusaha menenangkan sambil melihat keadaan Raya yang sudah terlihat pucat dan bernafas dengan terengah - engah.
Sungguh Adelia untuk saat ini tidak ingin menjelaskannya panjang lebar karena nafasnya sudah habis untuk berlari dari taksi menuju kesini sambil menggendong Raya dan hanya ingin anaknya mendapatkan perawatan segera.
“Bu Adelia?” , tegur seseorang di belakangnya yang datang dari ruang Unit Gawat Darurat.
Merasa familiar dengan suara itu, Adelia langsung berbalik, “Dokter! Tolong Raya, dok! Tolong!” , mohon Adelia dengan wajah hampir menangis di depan orang yang paham betul bagaimana kondisi anaknya.
“Mari kita bawa ke ruanganku saja. Ruang Unit Gawat Darurat sudah penuh.” , ujarnya yang langsung memimpin jalan menuju ruangan dokter spesialis jantung.
Adelia di belakangnya segera mengikuti dokter kepercayaan Adelia itu meninggalkan perawat masih berdiri disana tidak tahu harus berbuat apa pada mereka dan hanya me
“P..permisi nona?” , tanya seorang wanita tua yang sudah renta yang datang menghampirinya dengan tergopoh - gopoh, perawat tadi langsung berbalik ke arah sumber suara. Wanita renta itu rambutnya sudah memutih seluruhnya dan kulit wajahnya sudah benar - benar mengendur.
“Iya, nek? Ada yang bisa saya bantu?” , balas perawat tadi yang langsung memasang wajah ramah.
***
“Akh..” , pekik Rangga saat mencoba untuk duduk. Ia memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing.
Ia memaksakan diri untuk membuka matanya saat telinganya mulai mendengar suara berisik orang - orang di sekitarnya dan ia juga mendengar adanya suara sirine yang memekakan telinga. Ia terkejut melihat banyaknya orang - orang yang berkerumun di sekitarnya. Dari wajah mereka, ia bisa melihat kengerian dan keprihatinan yang mereka rasakan. Sontak hal itu membuatnya penasaran apa yang baru saja mereka lihat hingga mereka tampak begitu.
Rangga lebih terkejut lagi saat ia melihat tak jauh dari tempatnya terduduk, ada seseorang yang sudah terbaring dengan darah di kepalanya. Hal itu membuat wajahnya otomatis berekspresi tidak jauh berbeda dengan orang - orang yang ada disana.
Rangga masih terduduk di tempatnya saat para petugas ambulan turun dari mobil mereka dan mengeluarkan peralatan juga papan tulang belakang yang mereka turunkan dari bagian belakang ambulan. Salah satu dari mereka memeriksa denyut nadi orang yang terkapar itu untuk memeriksa apakah ia masih bisa tertolong atau tidak. Dari wajahnya, raut wajah seriusnya tiba - tiba saja terlihat meyakinkan saat dirasanya masih ada denyut nadi lemah yang ia rasakan dari pembuluh nadi yang ada di bagian leher orang tersebut.
“Apakah anda bisa mendengar suara saya, pak?” , tanyanya mencoba untuk mengecek kesadaran orang tersebut yang tentu saja tidak akan mendapat balasan.
Mengetahui hal itu, dengan cekatan ia memeriksa berbagai luka dan cedera yang dialami orang malang itu. Sebelum mengangkatnya ke atas papan tulang belakang, terlebih dulu ia memasang cervical collar (alat yang biasa digunakan pada pasien yang mengalami cedera pada bagian lehernya) untuk menyangga leher pasien yang mengalami cedera. Saat itulah yang dimanfaatkan oleh Rangga untuk melihat lebih dekat. Masih dengan kepalanya yang pusing, ia berusaha bangun dan berjalan mendekat untuk melihat lebih dekat. Betapa terkejutnya Rangga saat melihat orang yang terkapar itu adalah dirinya sendiri. Matanya membulat dan ia tidak bisa berkata - kata melihat pemandangan yang sedang terjadi di depannya sekarang ini.
“I-itu.. kan..” , Rangga benar - benar terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi padanya saat ini.
Masih berkutat dengan keterjutannya, ia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya tidak terlihat oleh orang lain. Hal itu terbukti saat ia tidak diminta menjauh saat ia melihat lebih dekat sedangkan orang lain yang ada di sekitarnya selain petugas ambulan, dijaga oleh polisi, diminta untuk menjauh dan tidak diijinkan untuk melihat lebih dekat dari jangkauan enam meter agar tidak mengganggu para petugas medis.
Setelah selesai memasangkan cervical collar pada leher tubuh Rangga yang terkapar itu, ia menginstrusikan rekan - rekannya untuk mengangkat pasien dengan cepat, hati - hati, dan bersama - sama. Tubuh Rangga dipindahkan dengan selamat ke atas papan tulang belakang dan langsung diangkat masuk ke dalam ambulan diikuti dengan petugas ambulan yang juga ikut masuk. Rangga yang masih bingung dengan kejadian yang dialaminya, ikut naik bersama dengan petugas ambulan lainnya yang akan menangani tubuh Rangga selama perjalanan menuju rumah sakit.
Pintu bagian belakang ambulan ditutup dan segera melaju menuju rumah sakit dengan membunyikan sirine juga lampu yang menyala untuk memperingatkan pengendara yang lain agar memberikan jalan karena ada pasien darurat yang harus segera ditangani.