BAB EMPAT : PERTEMUAN (part 2)

1974 Kata
Selama di perjalanan, para petugas yang bersama Rangga di bagian belakang ambulan langsung mengambil tindakan medis pada Rangga. Mereka memasangkan selang infus pada tangannya dan EKG pada dadanya. Tak lupa mereka juga memasangkan alat bantu nafas pada Rangga yang pada EKG nya menunjukkan angka yang rendah. Salah satu dari mereka berusaha untuk menghentikan pendarahan pada kepala Rangga dan sebagian yang lain memasangkan penompang pada kaki Rangga yang patah. “Pak? Pak? Bisakah anda mendengar saya?” , tanya salah satu dari mereka berharap Rangga merespon namun nihil. Segera ia mengambil senter kecil, membuka kelopak mata Rangga dan mengarahkan senternya pada pupil mata Rangga berharap masih merespon cahaya dari senter. Namun pupil Rangga tidak merespon sama sekali. Dan hal yang membuat petugas ambulan tersebut merasa khawatir adalah pupil Rangga yang membesar. Hal itu membuatnya menduga adanya cedera otak yang terjadi pada Rangga akibat benturan keras saat kecelakaan. Saat itu juga alat EKG yang menunjukkan aktifitas jantung Rangga berbunyi dan angka pada layar yang seperti komputer kecil itu semakin menurun. Segera petugas ambulan yang memeriksa pupil Rangga tadi berdiri dan menekan kedua tangannya pada jantung Rangga. “Bertahanlah!” , ujarnya sambil terus memberikan resusitasi jantung untuk menjaga jantung Rangga terus berdetak. Roh Rangga yang melihat semua kejadian itu hanya bisa duduk terdiam dengan syok dan tidak tahu berbuat apa. Ia sendiri masih tidak mengerti mengapa ia bisa berada disini sedangkan tubuhnya jelas - jelas sedang berbaring sekarat disana. *** Ambulan yang mermbawa Rangga berhenti tepat di depan pintu masuk dan disana sudah menunggu dokter dengan jubah putihnya bersama dengan beberapa perawat sudah menunggu kedatangan Rangga. Begitu pintu belakang ambulan dibuka, dengan cekatan mereka memindahkan tubuh Rangga masih dengan papan tulang belakang ke atas brangkar untuk memudahkan membawa Rangga menuju ruang perawatan. “Laki - laki berusia dua puluh enam tahun, trauma kepala berat akibat kecelakaan. Pupilnya tidak merespon, tekanan darah enam puluh per dua puluh dan patah tulang kaki kiri.” , jelas petugas ambulan yang ikut mendorong brangkar Rangga menjelaskan pada dokter. “Baik, dimengerti.” , kata dokter wanita dengan kacamata bulat yang bertengger pada hidungnya, “Tolong persiapkan ruang operasi di ruang tiga.” , katanya lagi beralih pada salah satu perawat yang bersamanya. Roh Rangga sejak tadi terus mengikuti kemana tubuhnya dibawa pergi. Ia melihat tubuhnya dengan tatapan miris saat mendengar penjelasan tentang kondisinya saat ini. Seumur hidupnya ia tidak pernah membayangkan kecelakaan tragis seperti ini juga akan menimpa dirinya. Apalagi terjadi saat mengejar pelaku yang sudah berada di depan matanya. Sungguh, hal ini akan menjadi dendam tersendiri bagi Rangga pada si pelaku. Rangga dibawa menuju ruang operasi yang melewati bagian administrasi, depan ruang unit gawat darurat, dan juga ruang spesialis jantung. Adelia yang membawa Raya menuju ruangan spesialis jantung, berpapasan dengan Rangga yang dibawa oleh dokter dan juga beberapa perawat lainnya. “Bunda.. Ayah..” , ujar Raya lirih begitu melihat roh Rangga ikut berlari mengikuti dokter yang membawa tubuhnya menuju ruang operasi. Ia tersenyum melihatnya. Adelia terkejut dengan putrinya yang berbicara ditambah mengatakan sesuatu yang tidak biasanya, “Apa sayang?” , tanyanya memastikan. Saat brangkar yang membawa Rangga melewatinya, Adelia menyingkir sedikit sambil memeluk Raya erat. Ia melihat tubuh Rangga sekilas dengan tatapan kasihan sekaligus ngeri. Akibat guncangan roda brangkar, tangan kanan Rangga tersingkap dan Adelia yang melihat hal itu sedikit terkejut. Bukan karena melihat tangannya, melainkan karena melihat gelang yang melingkar pada pergelangan tangan Rangga yang membuatnya merasa tampak familiar. Roh Rangga berlari melewati Adelia yang tengah menggendong Raya, merasa heran saat melihat sekilas Raya yang terlihat tersenyum lemah padanya. Begitu ia melihat Adelia dengan sekilas, ia langsung merasa tidak familiar dengan wajah itu. Ia terhenti dan membalikkan badannya untuk melihat lebih jelas, namun Adelia sudah membuka pintu ruangan spesalis jantung sehingga Rangga tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas. Walaupun hanya sekilas, Rangga benar - benar merasa yang ia lihat tadi adalah orang yang ia pikirkan selama ini. Namun melihat situasinya saat ini, ia merasa bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu. Ia harus memastikan tubuhnya selamat. Segera ia berlari menyusul kembali. *** Di dalam ruang operasi beberapa dokter dan juga perawat sudah bersiap. Tubuh Rangga pun sudah lebih bersih dan pakaiannya pun sudah ganti. Selang infus dan juga kantung darah sudah tersambung ke tubuh Rangga untuk menjaga kestabilan kondisi Rangga saat operasi nanti. Mereka semua hanya berdiri mengitari Rangga seperti sedang menunggu sesuatu sambil memeriksa peralatan dan memantau kondisi vital Rangga. Tak berselang lama, masuklah dokter berkacamata tadi dengan baju yang sama seperti semua orang yang ada dalam ruang operasi tersebut dan ttangan di angkat ke depan seakan tidak ingin menyentuh apapun. Segera salah satu perawat datang menghampiri dan memasangkan jubah operasi juga sarung tangan karet pada kedua tangan dokter tersebut. “Sudah kau dapatkan persetujuan keluarganya?” , tanyanya sambil melirik pada perawat yang sedang mengikatkan tali jubah operasi di belakangnya. “Sudah dokter. Tadi orangtuanya sudah menyetujui untuk melakukan tindakan operasi. Mereka sedang dalam perjalanan menuju kemari dan mereka bilang akan menandatangani persetujuannya nanti saat mereka sudah sampai disini.” , jelasnya singkat, padat, dan jelas. “Oke, kerja bagus.” , balas dokter berkacamata tersebut dan langsung berjalan menuju meja operasi, tepatnya di depan bagian kepala Rangga. “Operasi akan di mulai.” , katanya tegas pada semua tenaga medis yang ada disana, “Anestesi?” , tanyanya. “Sudah baik, dokter.” , kata salah satu perawat yang berdiri dekat infus sambil memeriksa cairan infus. “Baik. Operasi dimulai sekarang.” , ujarnya dan semua yang ada disana langsung mengerjakan bagian mereka masing - masing. Salah satu dari mereka menekan tombol untuk mengubah warna dan tulisan yang ada pada bagian atas pintu ruang operasi menjadi “operasi sedang berlangsung” yang berwarna hijau. Roh Rangga yang tidak kuat melihat kepalanya dilubangi seperti itu, memilih untuk menunggu di depan ruang operasi sambil berjalan bolak - balik seperti orang linglung. Sesekali ia melongok ke dalam ruangan operasinya dengan cara menembus dinding kaca buram tersebut. Namun tetap ia tidak berani melihat mendekat. Mendengar suara bor yang mencoba membolongi tulang tengkoraknya saja sudah membuatnya merasa ngilu dan lututnya menjadi lemas. Beberapa saat sudah berlalu, ia mendengar suara derap banyak kaki datang dengan terburu - buru. Itu adalah ayah, ibu, dan juga adiknya dengan matanya yang sudah memerah. Rangga merasa bersalah sudah membuat adiknya menangis padahal kemarin adalah hari ulang tahunnya dan sehari kemudian ia sudah membuatnya menangis seperti ini. Ibunya yang selalu tegar terlihat begitu khawatir dan gelisah, tidak jauh berbeda dengan ayahnya yang selalu tenang kini terlihat ada kegelisahan dalam hatinya. Rangga juga merasa bersalah pada kedua orangtuanya karena telah merusak hari bahagia mereka. Baru pagi tadi mereka diliputi perasaan penuh cinta, siang hari ini Rangga telah merusaknya begitu saja dalam hitungan jam. Kabar kecelakaan Rangga bagaikan sambaran petir di siang bolong. “Ibu, maafkan aku bu.” , ujar Rangga mencoba untuk memeluk ibunya namun selalu saja tembus begitu saja. Ayahnya merangkul ibunya dan mengelus lengannya mencoba menenangkan istrinya yang masih terlihat begitu syok, “Semua akan baik - baik saja, Mira. Kau harus percaya padanya.” , katanya dengan tenang, “Kemarilah, duduk disini. Aku akan membeli beberapa makanan.” , katanya lagi sambil menuntun istrinya untuk duduk di ruang tunggu depan ruang operasi. “Bagaimana bisa Ayah masih memikirkan tentang makanan disaat seperti ini?” , protes Kaila dengan matanya yang masih memerah karena telah menangis lama sepanjang perjalan ke rumah sakit. “Kita juga harus punya tenaga untuk menyambut Rangga saat bangun nanti. Kau juga duduklah.” , jawab ayahnya yang menurutnya cukup masuk akal. Ia pun membiarkan ayahnya pergi meninggalkannya hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kaila memilih untuk duduk disamping dan bersandar pada pundak ibunya sambil menunggu. Roh Rangga yang tidak terlihat oleh mereka berdua ikut duduk disana bersandar juga pada sisi lain pundak ibunya. “Aku disini, tetapi kenapa kalian tidak menyadarinya? Aku ada disini tetapi seperti tidak ada..” , ratap Rangga sambil menyandarkan kepalanya pada bahu ibunya yang masih terus menatap pada pintu ruang operasi. Di tengah - tengah kesedihan itu, seorang laki - laki muda berpakaian seperti pasien lainnya di rumah sakit ini dengan santainya berjalan melewati mereka bertiga dan sempat menengok pada mereka bertiga. Rangga melihatnya bahkan matanya terus mengikuti kemana arah perginya laki - laki muda tersebut. Ia heran mengapa ibu ataupun adiknya tidak menegur laki - laki tersebut. Matanya membelalak begitu ia melihat laki - laki tadi berjalan menembus dinding kaca ruang operasi. Sontak Rangga berdiri. “Dia menembusnya? Aku tidak salah melihatnya, kan?” , tanya Rangga entah pada siapa. Karena baik ibunya ataupun adiknya tidak ada yang meresponnya karena mereka bahkan tidak mendengar ataupun melihatnya. Tidak ingin membuang waktu hanya untuk bertanya - tanya, Rangga masuk ke ruang operasi mengikuti laki - laki muda tadi. Begitu ia masuk, ia bisa melihat laki - laki tersebut tengah duduk dengan santai diatas kereta barang yang berisi tumpukan jubah operasi sekali pakai dan kain operasi sekali pakai, sambil memandangi dokter yang tengah serius membedah kepala Rangga. Sama sepertinya, orang - orang yang ada dalam ruang operasi juga tidak ada yang menyadari kehadiran laki - laki itu, yang artinya laki - laki itu juga tidak terlihat sama seperti dirinya. Segera Rangga menghampiri laki - laki tersebut. “Apa yang kau lakukan disini?” , tanya Rangga menginterupsinya. Laki - laki tersebut hanya melirik sebentar pada Rangga dan kembali melanjutkan aktifitasnya memandangi dokter wanita berkacamata, “Kau yang terbaring di meja operasi, ya?” , tanyanya datar. Rangga menatap pada tubuhnya yang terbaring di atas ranjang operasi, “Iya.” “Tidak perlu khawatir,” , balas laki - laki itu dan beralih menatap Rangga yang berdiri di sampingnya, “Kau ditangani oleh ahlinya.” , katanya dengan tersenyum bangga dan menunjuk dokter yang dipandanginya tadi dengan dagunya. Rangga tidak mengerti apa itu salah satu hal baik yang harus ia syukuri atau tidak. Yang jelas, yang ia inginkan untuk saat ini adalah kembali ke tubuh aslinya. “Kau pasti bertanya - tanya kita ini apa, bukan?”, ujar laki - laki tersebut beranjak turun dari kereta barang dan membuat kereta barang itu bergerak sedikit. Salah satu perawat yang ada disana melihat hal itu dan memandang pada rekan - rekannya yang tengah fokus pada tugasnya masing - masing, yang artinya hanya dirinya yang melihat hal barusan. Seketika ia merasakan bulu kuduk pada leher belakangnya merinding. Ia bertanya - tanya apakah ini karena suhu ruangan operasinya atau karena hal mistis yang menggerakkan kereta barang tadi. Laki - laki tadi berbalik dan berjalan menuju pintu diikuti oleh Rangga di belakangnya, “Aku Sean. Aku sudah tiga tahun disini, namun wajahku dan tubuhku masih sama seperti diriku tiga tahun yang lalu.” Rangga langsung berpikir apakah masih banyak yang seperti dirinya di rumah sakit ini ataupun di dunia ini, “Aku begini karena upaya percobaan bunuh diriku melompat dari atap sekolah. Sial sekali aku tidak mati dan malah jadi seperti ini.” , katanya lagi bicara lebih banyak. Rangga masih diam mendengarkan mencoba mengerti jenis makhluk seperti apa mereka ini. Karena mereka seperti arwah orang mati tetapi tubuh mereka masih bertahan. “Kau terlihat lebih tua dariku, tapi karena aku lebih lama disini, jadi aku tidak perlu memanggilmu dengan sebutan kak, bang, mas, ataupun sejenisnya, ya?” Rangga menghentikan langkahnya mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan tersebut, “Apa kita harus membahas soal nama panggilan sekarang ini?” , tanya Rangga pada akhirnya membuka suara. Tanpa sadar mereka telah berada di luar ruang operasi. Berdebat di depan ayah, ibu, dan juga adiknya yang tidak melihat dan mengetahui kehadiran mereka sama sekali. Saat itu juga derap kaki seseorang yang berlari mendekat ke arah mereka mengalihkan perhatian semua orang yang ada disana. Orang tersebut adalah Agung yang terengah - engah. “Mas Agung..” , Rangga langsung menghampiri Agung yang sedikit linglung melihat tanda tulisan dengan cahaya lampu berwarna hijau yang terdapat di atas pintu kaca ruang operasi, menandakan operasi sedang berlangsung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN