Konten bab ini mengandung kekerasan, suicide, mental illness, darah dan hal tidak nyaman lainnya. Jika pembaca memiliki tendensi self-harming atau merasa tidak nyaman harap jangan dibaca dan skip ke bab selanjutnya. Tolong menghadapi bacaan dengan bijak. Mohon jangan ditiru.
Ibu Rangga langsung beranjak bangun dari duduknya dan menghampiri Agung, “Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?!” , tanyanya menuntut sambil mengguncang lengan Agung.
Melihat hal itu, ayah Rangga segera menghampiri istrinya dan menariknya untuk menjauh dari Agung, “Mira! Tenanglah!”
Hentakan dari suaminya membuatnya lemas, ibu Rangga kembali duduk dituntun oleh suaminya perlahan, “Tadi pagi dia masih baik - baik saja.. Dia berpamitan padaku, katanya mau menyelidiki sesuatu. Lalu.. kenapa jadi begini?”
Walaupun Agung bukan yang menyuruh Rangga untuk melakukan penyelidikan, ia tetap merasa bersalah karena telah memberitahukan informasi yang sebenarnya bisa ditunda hingga hari masuk kerja esok. Agung paham betul bagaimana sifat Rangga yang terkadang suka tergesa - gesa. Bayangan Rangga yang langsung pergi untuk melakukan penyelidikan sendiri tanpa memberitahunya tepat setelah ia memberikan satu petunjuk yang masih samar, membuat rasa bersalah itu semakin menghantuinya.
“Maafkan aku.” , kata Agung sambil membungkukkan tubuhnya dengan hormat dan tulus meminta maaf.
“Arrgghh! Kenapa kau malah meminta maaf?! Kenapa kau disini? Kenapa kau tidak mengejar mobilnya? Kan sudah aku sebutkan plat mobilnya tadi! Sia - sia aku mengorbankan diriku jika kau tidak mendapatkannya!” , keluh Rangga mengomel tepat di depan wajah Agung namun Agung tidak mendengarnya sama sekali.
Roh Rangga yang melihat hal itu merasa kesal karena walaupun ia berada di sana saat ini dan melihat semua kejadian ini, tetapi ia tidak bisa menjelaskan pada semuanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia kesal karena dirinya tidak terlihat dan tidak ada yang bisa mendengarnya sekeras apapun ia bicara kecuali sesamanya, seperti Sean salah satu contohnya.
Sean yang melihat betapa frustasinya Rangga untuk berbicara kepada mereka yang hidup, tidak tahan untuk tidak tertawa. Sebab, hal itu sangat berbeda dengan dirinya yang malah merasa kesal karena terjebak antara tiada dan ketiadaan ini. Melihat kedua orangtunya yang terus berusaha mempertahankan dirinya, membuatnya muak.
Pasalnya, dulu saat dirinya masih hidup dan masih sehat, kedua orang tuanya tidak pernah mempedulilkan dirinya kecuali jika ia mendapatkan nilai yang bagus. Hal itu membuatnya mati - matian berusaha mendapatkan nilai sempurna selama ia bersekolah. Hingga saat ia menginjak jenjang sekolah menengah atas, disitulah mimpi buruknya dimulai.
Diterima masuk oleh sekolah dengan nilai terbaik merupakan kebanggaan tersendiri untuk Sean. Sebab, setelah kelulusan dirinya dari sekolah menengah pertama, setiap hari, kedua orangtuanya tanpa terlewatkan satu hari pun, terus - terusan memamerkannya pada anggota keluarga yang lain dan juga rekan - rekan kerjanya tentang prestasinya itu. Dengan perlakuan seperti itu, Sean benar - benar merasa diakui dan dibanggakan.
Selain itu, mereka juga mau meluangkan waktu sibuk bekerja mereka untuk mengantarkan dirinya ke sekolah di hari pertamanya. Semua berjalan baik hari itu, seperti hari yang Sean impi - impikan. Sarapan pagi bersama kedua orang tuanya, bahkan ayahnya yang jarang bicara padanya memberinya beberapa nasehat untuk ia lakukan di sekolahnya nanti.
“Masa sekolah menengah atas adalah yang paling keras. Bukan hanya harus berusaha keras untuk persaingan mendapatkan nilai terbaik dari semua ujian dan tes yang ada, kau juga harus berhati - hati untuk tidak berteman dengan orang yang salah. Jika kau berteman dengan ikan, kau akan berenang. Jika kau berteman dengan burung, aku akan terbang. Perhatikan dengan baik, dengan siapa kau berteman.” , katanya sambil menikmati kopi paginya untuk menemani Sean sarapan.
“Aku mengerti.” , jawab Sean dengan sedikit canggung karena hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Ayahnya mengangguk puas mendengar jawaban Sean, “Dan satu lagi,” , katanya.
Sean yang tengah menyesap sup buatan ibunya itu langsung beralih menatapnya.
“Jika ada yang mengganggumu, jangan hanya diam saja. Kau harus melawannya. Jangan biarkan mereka meremehkanmu.” , tambah ayahnya.
Semua nasihat itu Sean tanamkan dengan baik dalam kesadarannya. Dan terjadilah, setelah satu semester pertamanya saat di sekolah menengah atas, Sean mendapatkan perundungan (bullying) dari beberapa teman sekelasnya yang merasa sok jagoan dan merasa sebal dengan Sean yang bertingkah sok pintar di kelas karena menjawab setiap pertanyaan yang guru mereka ajukan, seakan - akan sedang pamer hanya dirinya yang pintar dan teman sekelas lainnya hanyalah sekumpulan otak kosong .
Oleh sebab kedengkian dan kekesalan itu, Sean menjadi sasaran rundungan selama beberapa pekan. Hingga akhirnya ia merasa perundungan ini keterlaluan saat mereka sudah berani untuk memakai kekerasan secara langsung. Teringat akan nasehat dari ayahnya ditambah emosinya yang sudah terpendam selama ini, Sean langsung membalas mereka semua saat perundungan itu terjadi di atap sekolah.
Bagaikan dirasuki sesuatu, Sean benar - benar mengamuk hari itu. Ia menghajar habis lima orang yang merundungnya saat itu. Dirinya juga ikut babak belur karena perkelahian itu. Salah satu pipinya membiru, kedua sudut bibirnya robek mengeluarkan darah karena hantaman tonjokan dari salah seorang perundungnya.
Perkelahian itu membawanya ke ruang kepala sekolah bersama dengan lima orang pelaku perundungannya. Namun, awalnya yang dipikirnya itu adalah hal yang bagus, justru berbalik menjadi petaka untuknya. Tindakan pembelaan dirinya dianggap sebagai kekerasan dan semua perundungan yang terjadi padanya mereka tepis begitu saja, menganggap apa yang Sean akui soal perundungan dirinya adalah halu.
Mirisnya memang tidak pernah ada saksi mata saat mereka berlima melakukan perundungan pada Sean, hal itu membuat perkataannya tidak memiliki kekuatan untuk melawan fitnah dengan saksi mata yang mereka lakukan. Hati Sean sudah hancur saat itu. Ia tidak lagi merasakan keadilan pada sekolah yang mereka bilang sekolah terbaik di kota. Tidak sampai disitu, saat kedua orangtuanya menghadiri panggilan dari sekolah saat itu juga, tidak ada dari mereka yang datang karena pekerjaan mereka. Membuatnya mendapatkan semua hukuman yang seharusnya dirinyalah yang mendapat perlindungan dan pembelaan.
Hancur sudah. Kesempatannya untuk mendapat perhatian dari kedua orangtuanya hancur sudah. Tidak ada artinya lagi nilai sempurna jika mendapatkan cap pembuat masalah di sekolah, hal itu hanya menjadi racun pada kolam s**u. Namun, tentu saja ia tidak akan menyerah seperti itu. Ia masih memiliki orangtua kaya yang memiliki banyak koneksi yang pasti akan membantunya mengungkapkan kebenaran dari kasusnya.
Dengan bersemangat Sean pulang ke rumahnya, merasa tidak sabar untuk melaporkan hal itu pada kedua orangtuanya. Ia merasa senang karena kedua orangtuanya tidak mengangkat panggilan dari kepala sekolah tadi karena kesibukan mereka, setidaknya dengan begitu mereka tidak akan mendengar cerita fitnah yang dibuat - buat oleh pelaku perundungannya.
PLAK!
Satu tamparan mendarat pada pipinya yang dilayangkan oleh ayahnya. Luka lebam di pipi kanannya tidak lagi terasa sakit saat tamparan itu mendarat pada pipi kirinya. Kini kedua pipinya terasa impas. Tetapi luka - luka yang ada pada wajahnya ataupun rasa sakit akibat tamparan tadi tidak ada apa - apanya dibandingkan luka yang ada dalam hatinya. Perasaannya begitu hancur.
Belum sempat ia berbicara mengatakan kebenarannya, rupanya kedua orangtuanya sudah lebih dulu mendengar cerita fitnah dari kepala sekolah melalui panggilan telepon tanpa ia duga sebelumnya. Kekecewaan yang ayahnya ungkapkan seakan adalah kekecewaan dari pihak yang paling tersakiti dalam kasus ini. Sedangkan ibunya hanya diam membuang muka tidak ingin menatap Sean mencoba menunjukkan betapa kecewanya ia pada Sean. Mereka mengatakan bahwa dirinya telah membuat malu mereka karena berkelahi di sekolah hingga dari pihak keluarga lima orang yang babak belur olehnya menuntut Sean untuk meminta maaf dan membayar ganti rugi. Dua orang yang menjadi satu - satunya harapannya sebagai tempat untuknya berlindung dan ksatria yang akan membela serta melindunginya itu justru mencampakan dirinya dan meruntuhkan semua harga dirinya hanya dalam beberapa kata yang keluar dari mulut mereka tanpa mereka mau memberikan kesempatan untuknya menceritakan cerita dari sisi dirinya.
Dunia yang Sean impikan runtuh seketika. Saat itulah tidak ada lagi keinginannya untuk mengharapkan perhatian dari kedua orangtuanya. Tidak ada lagi nilai terbaik karena sejak dulu memang bukan itu yang ia inginkan untuk hidupnya. Tidak ada lagi yang ia inginkan. Hal yang memaksanya untuk tetap bertahan, hancur sudah. Ia tidak memiliki apapun lagi yang tersisa. Hari - hari yang ia jalani setelah hari menyakitkan itu menjadi hambar. Setiap harinya ia merasa langkahnya sudah berada di ujung jalan buntu. Hanya ada jurang di depan sana dan tidak ada lagi jalan untuk kembali.
Semua hal yang membuatnya bersemangat, kali ini tidak ada artinya lagi melainkan hanya seperti makan sup dingin. Tidak ada kehangatan yang dirasakan, hanya ada makanan yang membuatmu tidak lagi kelaparan. Hingga akhirnya Sean benar - benar merasa kosong dan tidak lagi ada keinginan untuk melihat hari esok, sebab ia merasa yakin bahwa hari esok tidak akan jauh berbeda dengan hari ini.
Sebelum memutuskan untuk pergi, Sean menyempatkan diri untuk menulis pesan untuk kedua orangtuanya yang berisi kebenaran kejadian pada saat itu. Tidak seperti surat perpisahan, Sean membuatnya lebih seperti surat petisi yang hanya berisikan fakta kejadian.
Setelah meninggalkan secarik kertas tersebut di atas meja makan besar yang pernah menjadi tempat berkesan untuknya. Hari itu Sean pergi ke sekolah seperti biasa, namun ia merasakan hal yang berbeda kali ini. Ia merasa lebih bersemangat seolah bebannya sudah terlepaskan semua, seolah - olah esok hari ia akan merasakan kebebasan yang sesungguhnya.
Mengikuti kelas seperti biasa, makan siang seperti biasa, ia benar - benar melakukan semuanya seperti dirinya yang biasanya. Hingga pada akhirnya saat semua teman - teman sekolahnya sudah membubarkan diri untuk kembali ke rumah mereka masing - masing. Sean masih di ruang kelasnya seorang diri tengah duduk menatap kosong pada papan tulis putih yang masih terdapat sisa - sisa catatan pelajaran terakhir yang dibawakan oleh guru sejarahnya tadi yang menceritakan bagaimana perjuangan para pahlawan terdahulu memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Sean merasa iri kepada para pahlawan yang memiliki alasan yang begitu kuat untuk tetap hidup. Sementara dirinya disini tengah mempertimbangkan lokasi yang bagus untuk dirinya mengakhiri hidup.
“Apa yang kau lakukan disini? Tidak pergi?” , tanya salah seorang teman sekelasnya yang tiba - tiba berada di pintu, ia berjalan masuk ke dalam menuju mejanya dan mengorek - ngorek isi loker mejanya mencari sesuatu.
“Sebentar lagi.” , jawab Sean dengan senyum penuh makna. Ia tahu betul teman sekelasnya itu bertanya pasal kapan dirinya akan pulang ke rumah, namun Sean menangkapnya dengan hal lainnya.
“Cepatlah. Sebelum guru menemukanmu disini jika kau tidak ingin menjawab rentetan pertanyaan darinya.” , ujarnya sebelum pergi setelah menemukan barang yang ia cari.
Sean hanya terkekeh kecil. Ia merasa alam semesta tengah menyuruhnya untuk melakukannya sekarang dan tidak menundanya lagi. Dengan langkah gontai ia meninggalkan tasnya di kelas untuk pergi ke atap sekolah. Disana sangat sepi dan langit mulai berwarna jingga. Langkah kakinya mengarahkan dirinya pergi mendekat pada pinggiran pembatas. Ia menatap pada matahari yang mulai menenggelamkan dirinya dari kejauhan. Tanpa sadar air matanya menetes, semakin lama semakin deras. Sesaat ia menyesal karena tidak mencoba bertahan lebih lama lagi, tetapi ia juga berharap luka dan beban di hatinya akan segera menghilang jika ia menghilang dari dunia ini.
Dengan langkah berat ia naik ke atas pembatas, dan menutup mata. Ia tidak ingin melihat ke bawah karena tidak ingin rasa takut sesaatnya akan menahannya untuk mengakhiri semua kesengsaraan ini. Setelah setetes air mata jatuh mengalir lagi di pipinya, ia menjatuhkan dirinya dan membuatnya mendarat tepat di halaman dekat tempat parkir. Suara jatuh yang terdengar keras membuat semua orang yang masih ada di sekolah itu terkejut dan mencari ke arah sumber suara.
Satu teriakan seorang siswi terdengar beberapa saat setelah suara jatuh tadi dan segera semua orang berlari ke arah sumber suara. Mereka terkejut sekaligus ngeri dengan pemandangan yang mereka lihat saat ini. Segera para guru dan orang dewasa yang ada disana berlarian mengerumuni Sean yang sudah terkapar masih dengan matanya yang terbuka sayu mengalirkan air mata kesedihannya.