BAB EMPAT : PERTEMUAN (part 4)

2012 Kata
Tentu saja kejadian tragis tersebut membuat semua pihak termasuk kedua orangtuanya, terkejut bukan main. Bahkan media pun sempat menyorot kasus tersebut karena terjadi di sekolah yang dibilang salah satu sekolah terbaik dan sekolah terfavorit. Kondisi Sean sudah kritis saat ambulan datang, dan semua pihak medis yang datang bersama ambulan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Sean bertahan dan tidak menyerah begitu saja pada kehidupan. Roh Rangga yang saat itu juga ada di dalam mobil ambulan, duduk dengan tegang melihat betapa sengitnya pertarungan antara hidup dan mati yang tengah diperebutkan oleh petugas medis dan juga dirinya. Ia takut - takut dirinya akan selamat dan kembali merasakan rasa sakit itu lagi. Dengan egoisnya, ia menyemangati dirinya untuk menyerah dan tidak perlu berusaha untuk kembali pada neraka kehidupan itu lagi. Sayangnya, bahkan anggota tubuhnya sendiri pun mengkhianatinya. Jantungnya enggan untuk berhenti berdetak dan membalas usaha para tenaga medis yang sudah berkeringat berusaha mati - matian untuk mempertahankan jantung Sean agar terus berdetak walaupun sempat berhenti beberapa saat lalu. Mendengar suara peringatan yang memekakan telinga dari alat monitor detak jantung rupanya lebih mereka tidak sukai dibandingkan harus bekerja lembur. Oleh karena itu mereka berusaha untuk menghentikan suara peringatan tersebut dengan memacu kembali jantung Sean agar berdetak kembali. Saat dinyatakan koma pun orangtua Sean masih terlihat kecewa saat menjenguknya. Mereka tidak menunjukan raut wajah sedih, namun, lebih kepada raut wajah kasihan. Roh Sean yang melihat hal itu tentu saja menjadi semakin tidak bersemangat untuk kembali. Bahkan ia berharap rohnya bisa merasuki orang lain dan menuntun orang yang dirasukinya untuk melepas alat bantu napas pada mulut dan hidungnya. Sayangnya, dirinya bukanlah roh yang sudah mati, yang bisa merasuki orang lain. Dirinya saat ini hanyalah sebuah roh yang berada pada ada dan ketiadaan. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali berkeliaran tanpa diketahui oleh orang lain. Saat dirinya masih hidup, ia merasa kesepian. Namun, menjadi roh juga tidak serta merta membuatnya tidak kesepian. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara kecuali roh sesamanya. Sayangnya, beberapa roh lain yang seperti dirinya, memilih memanfaatkan kesempatan ini untuk bepergian ke tempat yang tpdak bisa mereka kunjungi, hanya Sean yang betah di rumah sakit ini tanpa bepergian kemanapun karena ia tidak memiliki satupun tempat yang ingin ia kunjungi. Malam harinya, roh Sean tengah menemani tubuhnya yang terbaring di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang minim. Ia hanya menatap kosong gedung - gedung di kejauhan yang bisa ia lihat dari jendela kamar tersebut. Di tengah lamunannya, suara dua langkah kaki yang agak lambat terdengar mendekat diikuti suara pintu terbuka. Sean menoleh dan ia sedikit terkejut melihat ayah dan ibunya yang datang selarut ini. Dilihatnya mata ibunya yang merah berkaca - kaca dan juga raut wajah ayahnya yang sudah berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan siang tadi. Dengan tertatih ibunya menghampiri ranjangnya dan mengeluarkan esuatu dari tas mewahnya yang Sean yakin baru dibeli seminggu yang lalu. Ibunya mengeluarkan secarik kertas yang sudah agak lecak dan meletakannya dekat tangan Sean. Rupanya secarik kertas tersebut adalah surat darinya yang sengaja ia tinggalkan pagi tadi. Seketika itu juga ibunya menangis sejadi - jadinya sambil menggenggam erat tangan Sean. Ayahnya di belakangnya tidak jauh berbeda. Ia memijit kepalanya dengan raut wajah menyesal. Melihat pemandangan itu dan juga mendengar suara rintihan ibunya membuat air matanya menetes begitu saja,namun, kali ini ia tunjukkan dengan wajah yang tertawa miris. Terjawab sudah tanda tanyanya. Kedua orangtuanya telah membaca surat pengakuannya. “Mengapa harus menunggu aku jadi sehancur ini baru kalian mau mendengarkanku?” , lirih Sean dengan wajah kecewanya. Setelah hari itu rupanya tekad Sean masih sama. Hanya saja ia lebih pasrah pada hasil akhirnya nanti ia akan bangun atau justru menghilang pergi menjadi debu, dan tidak meminta ataupun menanti - nanti kepergiannya untuk disegerakan. Karena dengan kondisinya saat ini, ia merasa keinginannya untuk bebas telah terwujud. Walaupun ia tidak bisa merasakan nikmatnya makanan lagi, ia merasa senang. Setidaknya ia tidak lagi merasakan kekecewaan ataupun semua rasa sakit yang ia alami selama ia hidup sebelumnya. Kembali ke masa sekarang, Sean masihlah sama. Perasaannya pada kedua orangtuanya tidak berubah walaupun tiga tahun sudah berlalu. Rasa iba pun tidak timbul di hatinya kala melihat kedua orangtuanya, terutama ibunya yang tidak ada lelahnya datang untuk mampir melihat kondisi Sean yang masih sama setiap harinya. Setiap pagi saat ia hendak pergi bekerja dan saat malam sebelum ia pulang ke rumah, ia selalu menyempatkan diri walau hanya untuk beberapa menit. Melihat betapa frustasinya Rangga yang berusaha berbicara kepada orang - orang dekatnya yang masih hidup, membuat Sean tertawa geli. Sungguh ia tidak bisa merasakan empati untuk hal itu. “Mereka tidak akan bisa mendengarmu.” , katanya tidak tahan melihat tingkah Rangga. Rangga berhenti dan berbalik menatap Sean yang tengah menatapnya datar dengan wajah putus asanya. Ia berjalan cepat menghampiri Sean, “Kau yang lebih senior daripada aku. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan agar mereka bisa mendengarku?” , tanyanya sambil menguncang - guncangkan bahu Sean menuntut jawaban. “Ada satu cara.” , kata Sean datar. Raut wajah Rangga berubah jadi penuh harap, ia diam menunggu Sean melanjutkan kalimatnya. “Kau harus hidup.” , lanjut Sean. Dengan penuh kekesalan ia mencengkram bahu Sean dan menunduk mencoba sekuat mungkin untuk menahan diri agar ia tidak menghantam wajah mulus Sean dengan tinjunya. “Serius. Hanya itu satu - satunya cara.” , lanjut Sean lagi menekankan kalimat sebelumnya. Rangga melepaskan cengkramannya dan membuang nafasnya kasar membelakangi Sean. Ia memandang dinding di depannya dengan sorot mata seakan hendak melubangi dinding tersebut. Pikirannya benar - benar kalut. Ia benar - benar tidak mengerti mengapa hal ini harus terjadi disaat seperti ini. Ia merasa bisa lebih menerima jika saja kejadian ini terjadi setelah ia berhasil menangkap pelakunya. “Kau masih akan terus menunggu disini?” , interupsi Sean. Rangga berbalik menatap Sean, “Apa jika aku berkeliling akan membuatku hidup kembali?” Sean mengangkat kedua bahunya sekali, “Lalu apa jika kau menunggu disini bersama yang lainnya akan membuatmu hidup kembali? Tidak, bukan? Kau justru akan merasa sengsara. Ayo, kuajak kau berkeliling.” , Sean beranjak pergi lebih dulu dari sana. Rangga merasa perkataan Sean ada benarnya. Ia pun memilih untuk ikut Sean, setidaknya ia tidak terpuruk rasa bersalah jika terus menunggu bersama mereka sambil melihat kekhawatiran yang ada pada wajah mereka. *** Setelah mendapatkan bantuan nafas selama satu jam lamanya, siturasi oksigen dalam darah Raya akhirnya kembali normal. Jantungnya pun sudah berdetak lebih tenang dari sebelumnya dan keringat yang tadinya terus mengair, kini tidak ada lagi. Raya sudah pulih seperti biasanya. “Seperti yang ibu sudah lihat, keadaan jantung Raya sudah semakin lemah tiap harinya. Saya khawatir tidak menemukan pendonor sebelum batas waktu yang ditentukan tiba.” , ujar dokter yang menangani Raya dengan berat hati. Adelia menggenggam tangannya erat, ia berusaha untuk tegar mendengar semua fakta yang dokter sampaikan meskipun itu hanya akan menyakiti dirinya. “Antrian prioritas donor jantung untuk Raya sudah naik beberapa tingkat karena beberapa dari mereka tidak berhasil bertahan lebih lama lagi.” “Apa saya harus senang karena hal itu, dok?” , tanya Adelia akhirnya membuka suara. Mengerti perasaan bersalah sekaligus lega yang dirasakan Adelia, dokter tua itu melepas kacamatanya dan meletakkannya dengan pelan di atas meja, “Tergantung kau melihatnya dari sisi yang mana.” , jelasnya singkat. Adelia kembali terdiam meresapi apa yang baru saja dokternya Raya katakan padanya. “Saya akan mengusahakan yang terbaik. Ibu juga harus mempersiapkan diri untuk semua yang akan terjadi pada Raya.” Sungguh, kata - kata itulah yang tidak ingin didengar olehnya. Hatinya belum siap untuk menerima hari itu datang. Adelia menunduk sebentar untuk mengumpulkan kembali semua kekuatannya, “Baik, terima kasih, dokter. Saya pamit pulang.” , Adelia beranjak berdiri. “Kau harus kuat.” , kata dokter memberi semangat. Dengan terpaksa, Adelia melayangkan senyumannya untuk menghargai dorongan semangat yang telah diberikan padanya. Adelia beralih menghampiri Raya yang asyik melihat pemandangan kota di luar dari balik jendela kaca, “Ayo kita pulang.” , ujar Adelia ramah. Raya segera menoleh pada ibunya dan mengangguk dengan senang hati. Ia meraih tangan ibunya untuk bergandengan tangan dengannya menuju pintu. “Ayo berpamitan pada dokter.” Raya langsung menurut apa yang dikatakan oleh Adelia. Ia membungkukkan sedikit badannya menunjukkan rasa hormatnya, “Terima kasih dokter.” Sontak hal itu membuat sang dokter yang diberi ucapan terima kasih, tidak tahan untuk menunjukkan senyuman lembutnya, “Raya jaga kesehatan dan patuh pada Bunda, ya.” , Raya mengangguk mengerti dengan yakin. Mereka keluar dari ruangan dokter itu dengan tenang. Adelia menggenggam tangan Raya erat tidak ingin melepaskan putri kesayangannya itu. Raya merespon hal itu dengan memberikan senyum terbaiknya pada Adelia. Hal kecil seperti itu, berhasil membuat semua rasa khawatir Adelia sirna sesaat. Begitu menenangkan. “Raya mau es krim?” , tanya Adelia mencoba untuk bersemangat kembali. Mendengar kata es krim, sontak membuat Raya kegirangan. Ia mengangguk dengan penuh semangat dan wajah berseri - seri. Begitu membahagiakan. *** Berkat kemampuan yang mereka miliki, Sean dan juga Rangga dengan waktu cepat sudah mengitari seluruh bagian rumah sakit sampai ke toilet dan juga gudang penyimpanan. Dengan mudahnya mereka menembus dinding dan menembus orang - orang yang melewati mereka tanpa menyadari ataupun melihat kehadiran mereka. Rangga yang baru mengalami kejadian ini sejak beberapa jam yang lalu, masih belu terbiasa dengan semua kemampuan istimewa menjadi roh seperti ini. Melihat orang - orang di sekitarnya membuatnya merasa seolah - olah dirinya masih hidup. Namun ketika orang lain tidak sengaja menembus dirinya atau dirinya yang menembus sesuatu, membuatnya kembali sadar pada keadaannya saat ini. “Sudah~ Perjalanan kita berakhir disini.” , ujar Sean sambil merentangkan tangannya seolah menunjukkan pemandangan di luar pintu masuk utama. Tidak ada yang menarik. Hanya orang berlalu lalang yang kalut dalam urusan dan pikiran mereka masing - masing. “Mereka sama saja seperti kita, bukan?” “Apa maksudmu?” , tanya Rangga tidak menangkap apa yang Sean katakan barusan. “Lihat saja,” , Sean menunjuk orang - orang yang berlalu lalang di depan mereka dengan dagunya sebab kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku baju pasien yang ada di bagian bawah depan baju, “Mereka ada. Tapi mereka tidak menyadari satu sama lain.” , jelas Sean sarkas yang langsung berbalik masuk kembali ke dalam. Rangga masih mencoba menangkap apa yang Sean katakan. Ia memperhatikan beberapa saat orang - orang dan menggeleng, “Tidak juga. Setidaknya mereka akan langsung menyadari kehadiran satu sama lain saat mereka berpapasan atau saling bertabrakan.” Ia memutuskan untuk kembali ke dalam untuk kembali menunggu bersama keluarganya hingga operasinya selesai. Ia tidak tahu lagi hal apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini kecuali menunggu. Ia berharap dirinya bisa segera kembali ke tubuh aslinya dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Memikirkan apa - apa saja yang akan ia lakukan saat ia sudah pulih nanti sudah membuat semangatnya kembali berapi - api. Saat ia melihat pundak Sean dari belakang, Rangga merasa sedikit iba padanya. Sebab selama berkelilng tadi, ia sama sekali tidak melihat ada roh lain seperti mereka, yang artinya Sean telah sendirian selama ini tanpa ada yang bisa diajak bicara. Membayangkan betapa kesepiannya sungguh menyesakkan. Namun, ia juga tidak ingin menjadi roh hanya untuk menemani Sean bicara. Kehidupan menjadi manusia yang hidup sesungguhnya juga membutuhkan dirinya. Saat mereka berjalan kembali menuju ruang operasi, mereka berpapasan dengan Adelia yang tengah bergandengan tangan dengan putrinya, Raya. Rangga yang paling merasa tidak asing saat melihat Adelia, langkahnya terhenti. Seketika itu saja ia merasa dirinya dilempar jauh ke masa lalu, ke masa - masa saat ia merasakan manisnya cinta dan hangatnya kasih. Semua perasaan itu menyeruak kembali dalam hatinya. Sean yang memang memperhatikan wajah tiap orang yang berpapasan dengannya merasa tidak peduli pada adelia yang memang bersikap seperti orang - orang lainnya yang tidak bisa melihatnya. Namun perhatiannya sungguh tertarik saat melihat pandangan Raya yang bertatapan langsung dengan matanya. Raut wajah Sean yang tadinya datar, seketika berganti dengan mata yang membulat tidak percaya. Raya bisa melihatnya. “A-Adelia..” , dengan terbata - bata dan susah payah Rangga mengucapkan nama itu dengan jantungnya yang terasa seperti ingin meledak saat itu juga. Air di matanya segera berkumpul menggenang membentuk bendungan di pelupuk matanya bersiap untuk tumpah kapanpun Rangga berkedip.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN