BAB EMPAT : PERTEMUAN (part 5)

1883 Kata
Melihat Adelia di hadapannya, membuatnya teringat kembali pada kenangan bahagianya masa itu, saat dirinya masih dengan seragam abu - abunya, saat - saat ia bahagia. Semua gambaran tawa dan senyum lebar dari Adelia masa itu menyeruak keluar dari ingatannya, dilihatnya sungguh berbeda dengan saat ini. Ia terlihat lelah namun tetap manis. Hal lainnya yang membuatnya terenyuh adalah saat melihat Raya. Pikirannya langsung menyimpulkan bahwa Adelia telah hidup dengan baik selama ini. Menemukan cintanya yang lain, menikah dengannya, dan memiliki seorang putri yang cantik sepertinya, Rangga tidak tahu harus merasa senang atau merasa hancur. Selama ini Rangga mengkhawatirkan sekaligus bertanya - tanya bagaimana kehidupan Adelia setelah masa itu, saat mereka berpisah tanpa adanya omongan tentang hal itu. Sungguh, Rangga merasa lega mengetahui Adelia menjalani kehidupannya dengan baik. Tetapi di lain hal, ia merasa ada sesuatu yang hancur. Menyakitkan. Oh, ternyata harapan dan perasaannya. Ia sejak dulu percaya bahwa mereka pasti telah ditakdirkan untuk bersama. Ia pun meyakinkan dirinya bahwa ia pasti akan tetap bertemu dengan Adelia di masa depan. Dan itulah hari ini. Namun dengan situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun dengan situasinya sekarang ini, ia merasa lega karena setidaknya Adelia tidak melihatnya menangis seperti ini. “Rangga Zaidan!” , teriak Adelia yang masih dengan rambut panjangnya di sisi pantai pada sore itu pada ombak yang berdesir menerpa pasir - pasir di bibir pantai, “Jangan tinggalkan aku ya!” , tambahnya dengan wajah puas karena telah mengatakannya dengan jelas. Ingatan itu benar - benar memukul hatinya tiap kali muncul terputar dalam ingatannya. Berbeda dengan Rangga, Adelia yang adalah manusia yang masih hidup, tidak melihat Rangga sama sekali. Ia terus berjalan tanpa menyadari di hadapannya ada Rangga, orang yang telah tersembunyi dalam sudut pikiran dan hatinya selama ini. Rangga menanti - nanti dengan cemas untuk Adelia berjalan menembusnya. Di tengah - tengah itu ia terkejut saat melihat AdelIa berhenti. Pikiran Rangga langsung cemas takut - takut bahwa Adelia bisa melihat dirinya. Namun ternyata yang Adelia lakukan adalah mengangkat Raya untuk menggendongnya karena tidak ingin detak jantung Raya meningkat karena berjalan menuju jalan raya depan rumah sakit. Adelia berjalan terus dan menembus Rangga. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Rangga kecuali Raya. Tidak ingin kehilangan sedetik pun, Rangga langsung berbalik untuk melihat kepergian Adelia. Dilihatnya Raya yang digendong sambil melihat ke belakang, tersenyum manis kepadanya. Rangga tidak tahu pasti Raya tersenyum pada siapa, ia merasa senang jika itu benar untuknya. Manis wajahnya benar - benar mirip Adelia. Sean di belakangnya masih tidak melepas pandangannya pada Raya. Ia berjalan pelan menghampiri Rangga yang masih terdiam di tempatnya. Mereka melihat ke arah yang sama. Pada Raya yang terus tersenyum dan melambaikan tangannya kecil pada mereka berdua. “Dia.. melihat kita.” , ujar Sean tiba - tiba. “Apa maksudmu?” , tannya Rangga di sampingnya yang masih terbawa suasana hatinya, tidak cepat menangkap apa yang Sean katakan barusan. “Dia bisa melihat kita. Dia melambaikan tangannya kearah kita.” Setelah mendengarnya dua kali, baru Rangga kembali pada kesadarannya dan menoleh pada Sean terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya, “Apa?!” , ia menoleh lagi pada Raya untuk memastikan perkataan Sean namun Adelia sudah melewati pintu keluar. “Hal ini jarang terjadi, sebab--” Belum selesai Sean bicara, Rangga terkejut dengan dadanya yang tiba - tiba saja terasa seperti dihujamkan pisau. Dengan perlahan dan menahan sakit, ia terjatuh berlutut. “Hei, hei, ada apa?!” , tanya Sean ikut panik. Dengan susah payah Rangga berusaha memeluk kaki Sean meminta pertolongan untuk rasa sakit yang dirasakannya, “T-tol-long.. A-aku.. D-da.. daku..” Sean menengok ke arah belakangnya, tepatnya melihat ke lorong yang menuju ruang operasi Rangga , “Sepertinya sudah waktunya..” , ujar Sean pelan. *** Di ruang operasi, semuanya begitu serius dan tenang berjaga dan melakukan tugasnya masing - masing. Di tengah ketenangan dan semua konsentrasi itu, tiba - tiba saja alat pemantau denyut jantung tersebut berbunyi membuat dokter - dokter dan juga para perawat yang menangani operasi Rangga, dilanda panik kala tanda - tanda vital Rangga menurun dengan drastis seketika. Detak jantungnya semakin melemah hingga akhirnya alat yang menunjukkan pola detak jantung Rangga menunjukkan satu garis lurus diikuti bunyi panjang. Tentu saja orang - orang yang menanganinya tidak ingin hal itu terjadi, terutama dengan kondisi kepala Rangga yang masih dibiarkan terbuka di bagian atas kepalanya. Salah satu dokter yang ada disana langsung memberikan resusitasi jantung dengan memberikan tekanan pada d**a bagian kiri Rangga secara teratur namun tidak menunjukkan hasil yang bagus. “Defibrillator segera!” , sahut dokter dengan kacamata dengan panik. Segera salah satu perawat membawa alat besar yang tersambung dengan dua buah alat yang bentuknya seperti sebuah setrikaan dan memberikannya pada dokter berkacamata yang langsung beralih ke sebelah kiri Rangga, sementara perawat yang lain membuka jubah operasi Rangga hingga nampak d**a bagian kirinya. Salah satu perawat mengoleskan gel pada alas alat kejut jantung sebelum digunakan pada Rangga. “120!” , kata dokter berkacamata dengan tegas. Segera dokter yang menjaga mesin kejut jantung mengatur daya listrik yang akan dikeluarkan, mengaturnya sesuai yang dikatakan. “Clear,” , katanya lagi meminta orang - orang yang disekitar Rangga untuk menjauh, “Shock!” , ia menempelkan alat yang di tangannya pada d**a kiri Rangga hingga tubuh Rangga melompat terkejut. Namun alat pemantau denyut jantung tidak menunjukkan perubahan. Hanya ada garis panjang dan angka nol yang tertera. “130! Clear! Shock!” “130! Clear! Shock!” PIP PIP PIP PIP Semua yang ada di ruang operasi langsung bernafas lega kala denyut jantung Rangga kembali setelah kejutan listrik yang ketiga. Rasa sakit yang roh Rangga rasakan langsung menghilang kala denyut jantung tubuh Rangga kembali. Segera ia berusaha berdiri dengan kakinya yang masih gemetar dibantu oleh Sean. “Selamat. Kau baru saja selamat dari kematian yang hampir menjemputmu.” , ujar Sean saat Rangga sudah berdiri tegak di sampingnya masih dengan keterjutannya atas kejadian yang menimpanya tadi. Setelah kejadian tadi yang semakin membuatnya khawatir tidak akan selamat, “Aku harus bangun. Aku harus hidup.” , katanya mencoba untuk tidak membuat keyakinannya goyah. Dengan tergopoh - gopoh, Rangga berbalik dan berjalan menuju ruang operasinya meninggalkan Sean di belakangnya yang melihatnya sambil menggeleng - gelengkan kepalanya, “Yah, kukira aku akan punya teman baru.” , ucapnya dan memutuskan untuk mengikuti Rangga. *** Adelia membawa masuk Raya yang sudah tertidur di pundaknya. Dengan kakinya, ia menggelar kasur lantai tipis yang biasa dipakai untuk Raya tidur siang dan meraih bantal empuk kesayangan Raya untuk diletakkan di bagian atas kasur lantai tersebut. Setelah itu ia berlutut, dan dengan perlahan menidurkan Raya dengan kepala di atas bantal empuk tadi. Sekali, Raya menggeliat dalam tidurnya kala baru dipindahkan ke atas kasur dan kembali tidur saat dirasa tempatnya saat ini terasa nyaman. Adelia masih diam di tempatnya dan menatap Raya dengan penuh kasih sayang. Ada sedikit raut kesedihan di wajahnya mengingat apa yang telah menimpa putri malangnya selama ini. Dalam hatinya, ia meminta maaf untuk kesekian kalinya pada Raya karena telah menjadi ibu yang buruk sebab telah melahirkannya dengan keadaan tubuh yang tidak sehat. Sungguh, Adelia dipenuhi rasa penyesalan tiap kali melihat Raya. Ia benar - benar menyesal telah membuat Raya tidak bisa berlarian dengan bebas padahal Raya anak aktif yang suka berlarian kesana kemari dan melompat - lompat dengan riang. Namun karena kondisinya, ia tidak bisa melakukan semua hal yang disukainya lagi. Adelia menyelipkan anak - anak rambut Raya yang menutupi wajah manisnya dan mengusap lembut pipi Raya dengan punggung jari telunjuknya merasakan betapa lembut dan empuknya pipi Raya. Merasa gemas, ia juga mendaratkan satu kecupan pada pipi yang seperti bakpao itu. Saat itu, ponsel Adelia tiba - tiba berbunyi karena alarm pengingat untuk segera berangkat bekerja. Adelia lupa jika ia harus bekerja hari ini, tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan Raya mengingat yang terjadi siang tadi. Pergelutan antara naluri keibuannya yang ingin menjaga Raya dan juga naluri keibuannya yang ingin mencari uang untuk operasi transplantasi jantung Raya suatu hari nanti, bergelut dengan hebat dalam pikirannya. Akhirnya keputusannya memilih untuk memihak pada pikiran yang berniat untuk mencari uang untuk biaya operasi Raya. Dengan berat hati, Adelia pergi ke rumah sebelah dimana tempat bu Indira tinggal. Diketuknya pintu kayu berwarna putih dengan ukiran unik itu sebelum memanggilnya. “Bu, ini Adelia, bu.” , panggil Adelia. “Iya, nak. Sebentar.” , sahut bu Indira dari dalam. Dari luar terdengar suara langkah kaki mendekat dan kenop pintu yang di putar. Pintu terbuka dan terlihat bu Indira dengan tangannya yang masih basah. Adelia mendunga bu Indira sedang mencuci piringnya saat ia memanggilnya. “Kenapa? Apa sudah mau berangkat kerja? Tunggu sebentar ya, ibu bereskan dulu cucian piring ibu dulu. Hanya tersisa satu gelas lagi.” Adelia merasa senang sekaligus tidak enak hati pada bu Indira, sebab, beliau sendiri pun sudah hafal betul apa yang akan dirinya katakan sebelum ia mengatakannya. “Aku sebenarnya tidak enak hati untuk meninggalkan Raya disaat seperti ini..” , ujar Adelia mengakuinya dengan air muka sedih. Seperti biasanya, bu Indira selalu memberikan semangat dan mendukung keputusan Adelia, “Kau melakukan hal yang benar. Tidak apa, ibu akan menjaga Raya. Kau kumpulkanlah sebanyak yang kau bisa untuk biaya operasi Raya. Kau juga pasti ingin melihat Raya berlarian kesana kemari lagi, kan?” Bagaikan sebuah mantra, ucapan dari bu Indira selalu menghangatkan dan menenangkan, “Terima kasih, bu.” balas Adelia dengan mata yang hampir berkaca - kaca. *** Setelah durasi operasi yang panjang, akhirnya tubuh Rangga dipindakan ke ruang perawatan intesif. Kepalanya hampir seluruh bagiannya sudah dibalut perban. Tangannya tersambung dengan selang infus, dan pada dadanya tersambung kabel yang menghubungkannya dengan alat pantau denyut jantungnya. Belum lagi pada kepalanya juga tersambung beberapa kabel untuk memantau aktifitas otaknya pasca operasi pembedahan sebelumnya. Salah satu kakinnya memakai gips dan dibalut perban membuatnya jadi berukurand dua kali lipat dari kaki sebelahnya yang baik - baik saja. Ayah dan ibu Rangga juga dokter yang menangani Rangga sudah berpakaian khusus untuk dapat mendekat pada Rangga yang masih terbaring dengan suara alat pantau denyut jantung yang berbunyi lambat. Ayah dan ibunya menunggu dengan harap - harap cemas sambil memperhatikan dokter memeriksa kembali kondisi Rangga. Tanpa mereka ketauhi, disana juga ada Sean dan roh Rangga yang juga penasaran dengan kondisi Rangga setelah lama menunggu. Sean yang menunggu dengan bosan berbeda dengan roh Rangga yang menunggu dengan perasaan yang amat khawatir. Ia khawatir akan terjebak menjadi roh seperti ini untuk waktu yang lama. Setelah selesai dengan pemeriksaannya, dokter tersebut memasukan kembali senter kecil berbentuk seperti pulpen yang baru saja ia gunakan untuk memeriksa refflek pada pupil mata Rangga. Semua yang ada di ruangan itu, termasuk Sean dan roh Rangga, terkecuali sang dokter, diam menunggu dokter membuka suaranya untuk memberitahukan bagaimana kondisi Rangga. Dengan berat dokter itu menghela nafas berat dan menatap pada ayah dan ibu Rangga dengan wajah menyesal, “Untuk saat ini, anak ibu dan bapak, tengah mengalami koma karena benturan kepala akibat kecelakaan yang menimpanya.” , jelas dokter dengan singkat dan padat. Ibu Rangga langsung jatuh merosot namun dengan sigap suaminya menahan tubuhnya dan mendekapnya erat memberi kode untuk kuat menghadapi ini. Sementara itu roh Rangga yang ada disana terdiam tidak percaya. Hal yang ia takutkan justru terjadi. Sean yang tidak mengharapkan apapun, ikut terkejut mendengar ucapan dokter tersebut. “K-koma? Aku?..” , gumam Rangga berjalan perlahan mendekat dan melihat tubuh Rangga yang sungguh - sungguh tidak terlihat baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN