“Hei.. Kau harus bangun.. Apa yang kau lakukan dengan berbaring disini?” , panggil Rangga menahan dirinya yang tengah frustasi saat ini.
Sean hanya diam saja melihat apa yang tengah Rangga lakukan dengan bicara pada tubuhnya yang kosong tanpa rohnya. Ia sudah pernah beberapa kali melihat pemandangan seperti itu sebelumnya.
Rangga memejamkan matanya dan mengatur nafasnya beberapa kali hingga pada akhirnya ia tidak bisa menahannya lagi, “HAAAAA! KENAPA AKU DISINI?! KAU HARUS BANGUN! APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN HANYA BERBARING SEPERTI INI?! TIDAK ADA BEDANYA DENGAN ORANG YANG SUDAH MATI!” , protesnya lagi pada tubuhnya yang tentu saja tidak akan bereaksi apa - apa.
“Percuma. Dia tidak akan mendengarmu. Dia hanya tubuh.” , sela Sean dengan tenang.
Mendengar itu, dalam pikiran Rangga ada sebuah lampu yang tiba - tiba saja menyala menandakan dirinya terpikirkan sebuah ide. Ia langsung naik ke atas tempat tidur pasien dan mencoba berbaring di atas tubuhnya berharap rohnya akan menyatu kembali masuk ke dalam tubuhnya. Sean yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak bisa memahami mengapa Rangga begitu ingin segera bangun dan hidup kembali.
Roh Rangga sudah benar - benar berbaring dan memposisikan dirinya sesuai dengan bagaimana posisi tubuhnya terbaring. Ia memejamkan matanya, menunggu ada suatu keajaiban akan terjadi padanya. Beberapa saat berlalu dan ia tidak merasakan ada perubahan apapun. Ia pun mencoba membuka matanya dengan ragu, ia khawatir cara ini tidak akan berhasil. Hingga akhirnya matanya benar - benar terbuka, ia bisa melihat langit - langit ruang perawatan dengan jelas. Kemudian ia mencoba melihat ke arah sampingnya dan melihat ada Sean yang tengah berdiri memperhatikan dirinya tidak jauh dari tempat tidur. Rangga kembali menutup matanya rapat - rapat, berharap tidak akan melihat Sean lagi. Sebab, jika ia masih melihat Sean, itu artinya ia masih menjadi roh dan tidak berhasil kembali ke tubuhnya.
Sean sendiri tidak tahan melihat kelakuan roh baru yang tidak terima dengan kenyataan seperti Rangga. Ia pun mendekat hingga ia tepat berada di samping tempat tidur Rangga, “Tidak akan berhasil dengan cara seperti itu.” , katanya.
Rangga yang bisa mendengar perkataan Sean dengan jelas, membuka matanya dan menatap pada Sean, “Tapi aku harus bangun..”
***
Duduk sendirian di depan ruang instalasi gawat darurat bukanlah hal yang buruk. Namun, ketika salah satu teman atau rekanmu yang ada di dalam sana, tentu akan berbeda. Agung sadar posisi dirinya sebagai ketua, memaksanya untuk terus berpikir realistis dan mampu mengambil keputusan juga langkah yang tepat, yang tentunya harus berdasarkan logika berpikir, bukan perasaan pribadi.
Profesinya yang ia jalani ini tidaklah mudah. Sulit rasanya untuk tetap memikirkan solusi disaat perasaan pribadimu terus menghantuimu dengan rasa bersalah. Walaupun begitu, Agung terus berusaha untuk menjaga pikiran rasionalnya tetap yang memegang kendali atas keputusan juga langkah yang akan ia ambil.
Disaat Rangga tengah terbaring koma di rumah sakit, Dimas justru bersenang - senang di hari terakhir cuti singkatnya. Ia sudah dalam perjalanan menuju tempat penyelaman selanjutnya. Dengan bermodalkan kapal mesin dan peralatan menyelam yang ia sewa dari tempat penyewaan di pinggir pantai tadi, Dimas dengan rekan - rekan satu grup sosial medianya bersiap untuk menyelam dan menyapa ikan - ikan yang tinggal di pemukiman terumbu karang di bawah mereka.
Berkat pengalaman menyelam yang sudah ia geluti beberapa tahun terakhir, memakai perlengkapan menyelam bukanlah hal yang sulit baginya. Disaat rekan - rekannya tengah saling membantu memakaikan perlengkapan menyelam, Dimas dengan tenang langsung memakai semua perlengkapannya seorang diri. Menjadi orang pertama yang selesai memakai perlengkapannya, membuatnya harus membantu rekannya yang lain sebagai salah satu bentuk keramahan darinya.
Drrrtt Drrrrtt Drrrrrtt
Ponsel milik Dimas bergetar disebabkan oleh sebuah panggilan nasuk dari seseorang dengan nama kontak PAK BOS tertera pada layar ponselnya.
“Mas, ada panggilan masuk dari seseorang dengan nama Pak Bos.” , ujar salah satu rekan menyelamnya.
Mendengar nama Pak Bos, Dimas langsung bergegas mengambil ponselnya dengan langkah kikuk karena sepatu kataknya dan langsung menjawabnya, “Iya halo, mas?”.
“Kau ada dimana?”
Dimas merasa heran karena tidak biasanya ketua timnya menelponnya di hari libur apalagi untuk menanyakan keberadaannya, “Memangnya kenapa, mas?”
“Kau belum mendengar beritanya?”
“Berita apa?” , tiba - tiba saja Dimas merasakan ada sesuatu yang buruk telah terjadi dari nada bicara ketua timnya tersebut.
“Rangga kecelakaan. Sekarang ia terbaring koma di rumah sakit.”
Mendengar hal itu bagaikan sambaran petir di siang bolong untuknya. Pasalnya baru dua hari yang lalu mereka pergi makan malam bersama, siapa yang menyangka hal ini akan terjadi.
“Halo? Dimas?” , tegur Agung saat tidak mendapat jawaban lagi.
“O-oh iya. A-aku..” , Dimas memegangi kepalanya panik tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia tidak memiliki gairah untuk menyelam setelah mendengar kabar tersebut.
“Tidak apa. Aku hanya ingin memberitahukanmu soal ini. Nikmati liburanmu. Sampai bertemu besok.”
Sungguh, Dimas justru merasa bersalah mendapat ucapan seperti itu, “Tidak, mas. Aku akan kesana sekarang. Akan ku telpon lagi nanti.” , kata Dimas dengan tergesa - gesa.
Segera Dimas beralih ke depan kapal dimana pengemudi kapal yang dinaikinya tengah menikmati pemandangan laut di depannya dengan rokok bertengger di tangannya. Sesekali ia menghisapnya dan mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya.
“Pak! Bawa aku ke daratan, sekarang!” , ujar Dimas mendesak.
Rekan - rekannya yang juga mendengar hal itu langsung menatap padanya keheranan. Dimas balik menatap mereka dengan wajah yang benar - benar terlihat panik sehingga tanpa ia bicara pun rekan - rekannya bisa memahami seberapa genting situasi yang baru saja terjadi pada Dimas. Kompak, mereka pun setuju untuk menuruti permintaan Dimas yang tidak mereka tahu pasti alasannya. Mereka ingin menghargai hak Dimas untuk tidak harus menceritakan apa yang terjadi.
Sesampainya di daratan, Dimas berterima kasih sekaligus meminta maaf karena telah mengacaukan penyelaman kali ini dan langsung bergegas menuju mobilnya yang diparkirkan tak jauh dari pantai. Tepatnya di depan sebuah toko kelontong yang buka dua puluh empat jam sehari.
Begitu masuk ke mobil, Dimas meraih ponselnya dan memasangnya di dashboard untuk kemudian memanggil ketua timnya sambil menyalakan mesin mobilnya dan segera melajukan mobilnya. Setelah dering ketiga, Agung menjawab panggilan itu.
“Halo?”
“Iya, halo, mas. Aku sudah di mobil. Tepatnya di rumah sakit mana?”
“Rumah sakit universitas Jakarta. Pergilah ke lantai tiga, Rangga sudah dipindahkan ke ruang perawatan pribadi. Aku akan menunggumu di luar ruangan.” , jelas Agung padat, singkat, dan jelas, seperti biasanya.
“Aku mengerti.” , Dimas memutuskan panggilan tersebut dan menginjak gas untuk menambah kecepatan laju mobilnya begitu ia memasuki jalan tol yang renggang.
***
Rangga yang tengah kebingungan, sejak sepuluh menit yang lalu ia hanya berjalan bolak balik seperti setrikaan di dekat ranjang dimana tubuhnya tengah terbaring koma. Ia berusaha memikirkan jalan keluar atas apa yang terjadi padanya dan mencari tahu apa yang bisa ia lakukan dengan kondisinya yang seperti ini. Sean yang sejak tadi tiduran di atas sofa yang ada di ruang perawatan Rangga, merasa terganggu dengan Rangga yang terus berjalan mondar mandir di depannya.
“Bisakah kau berhenti mondar mandir seperti itu? Aku sungguh terganggu.” , protes Sean yang langsung bangun duduk dari tidurnya.
Rangga masih mondar mandir tanpa mendengarkan keluhan dari Sean. Kemudian ia berhenti sejenak dan menatap pada Sean. Ia menatap Sean dengan mata membulat saat sebuah ide muncul di kepalanya. Ditatap seperti itu, Sean justru merasa khawatir.
“Hei, roh tidak punya batas jangkauan untuknya pergi berkeliaran, kan?” , tanya Rangga tiba - tiba.
Sean mengernyitkan alisnya heran dengan ide apa yang tengah terpikirkan oleh roh teman barunya itu, “Tidak ada. Aku kan sudah mengatakannya padamu beberapa roh yang sama seperti kita ini tengah berjalan - jalan keluar negeri. Mereka benar - benar tahu bagaimana menikmati hidup sebagai roh seperti kita ini.”
Mendengar hal itu, Rangga menjetikan jarinya dan raut wajahnya terlihat begitu yakin dengan ide yang muncul di kepalanya.
“Apa?” , tanya Sean heran.
Rangga langsung mendekat padanya dan duduk di sampingnya dengan bersemangat, “Kau tahu? Aku tetap bisa menyelidiki kasusku. Justru ini hal yang bagus karena kita tidak terlihat oleh orang lain.”
Sean kembali berbaring di sisi lain sofa, “Tidak semua orang tidak bisa melihat kita. Ada beberapa yang bisa melihat kita.”
Rangga langsung teringat pada anak yang bersama Adelia, “Ah iya, anak itu..”
“Iya benar. Anak kecil yang tadi. Betapa malangnya dia karena bisa melihat kita..” , ujar Sean menerawang sambil menatap langit - langit kamar tersebut.
Rangga tidak mengerti mengapa bisa melihat mereka adalah sesuatu yang buruk.
“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah melakukan penyelidikan? Membawanya hingga kau terbangun nantinya?” , tanya Sean mengaburkan rasa penasaran Rangga.
“Tepat seperti yang aku pikirkan.”
Sean terkekeh geli, “Apa kau tidak tahu bahwa ketika bangun, kita tidak akan mengingat semua yang terjadi selama menjadi roh.”
Mendengar hal itu tentu menimbulkan kekecewaan tersendiri bagi Rangga yang berpikir rencananya sudah bagus. Namun, saat itu juga ia langsung terpikirkan sebuah ide.
“Aku tahu! Aku hanya harus menemukan orang yang bisa melihatku dan berbicara denganku. Dengan begitu dia bisa membantuku untuk menuliskan semua hal yang aku temukan selama penyelidikan ini.” , kata Rangga dengan yakin.
Mata Sean beralih menatap Rangga, “Anak itu maksudmu? Kau yakin ingin memanfaatkannya?”
Rangga ragu sejenak saat teringat Adelia yang saat itu bersama dengan anak kecil yang bisa melihatnya. Hatinya belum siap untuk menerima fakta jika Adelia sudah menikah dan bahkan memiliki seorang anak. Sementara dirinya disini masih terjebak pada masa lalunya.
Rangga menatap nanar ke depan, “Mau bagaimana lagi.. Aku tidak punya pilihan lain.”
Sean berusaha mengerti situasi macam apa yang tengah menimpa Rangga, “Lalu..” , Sean kembali bangun terduduk, “Bagaimana caramu menemukan anak itu?” , tanyanya menguji Rangga.
Dengan pandangan menerawang, Rangga berusaha meyakinkan dirinya, “Pasti ada cara. Aku akan menemuinya bagaimanapun caranya.”
Sean menatap Rangga dengan heran. Ia tidak mengerti keyakinan macam apa yang Rangga pegang teguh dalam dirinya.
***
Sudah kurang lebih dua puluh lima menit Agung duduk menunggu kedatangan Dimas di bangku depan ruang perawatan Rangga dengan sekaleng soda di tangannya. Saat ini ia tengah berpikir keras. Dalam pikirannya seperti banyak benang merah yang membelit satu sama lain sehingga ia harus berusaha keras untuk memisahkan mereka dan mencari ujungnya.
Di tengah ketenangan suasana di koridor ruang perawatan, terdengar suara langkah kaki berisik tengah berlari mendekat padanya. Agung menoleh dan dilihatnya Dimas yang tergesa - gesa berlari ke arahnya.
“Maaf aku terlambat!” , ujar Dimas dengan nafas yang terengah - engah.
Agung berdiri dan menepuk bahu Dimas beberapa kali, “Tidak apa. Lagipula belum ada perubahan pada kondisi Rangga.”
Dimas langsung mencuri - curi pandang ke dalam ruangan tempat Rangga terbaring koma. Ia bisa melihat sisi ranjang berwarna putih dari kaca kecil yang terpasang di pintu.
“Kau mau menengoknya?” , tanya Agung yang bisa melihat kekhawatiran pada air muka Dimas.
Dengan cemas, Dimas menatap Agung beberapa saat menunjukkan keraguan sekaligus kekhawatirannya.
“Ayo, masuk. Aku yakin Rangga juga pasti ingin melihatmu. Siapa tahu dia akan langsung bangun begitu mendengar suaramu.”
Air mata Dimas langsung berkumpul pada kelopak matanya mendengar perkataan ketua timnya yang justru membuatnya merasa sedih. Dimas mengusap air matanya sebelum jatuh membasahi pipinya dan mengangguk mengiyakan ajakan Agung.