Sore itu Adelia bekerja dengan lebih santai dibandingkan beberapa hari yang lalu. Terhitung hanya ada beberapa pelanggan yang datang, bisa dihitung dengan jari. Walaupun begitu, bukan berarti ia bisa bersantai dan duduk - duduk menunggu pelanggan yang lain berdatangan. Tidak ingin terlihat sebagai pekerja yang malas, setelah mengantar pesanan ke meja pelanggan, Adelia beralih mengambil kain lap dan semprotan pembersih untuk mengelap meja yang belum terisi pelanggan.
“Permisi mba, bisa tolong ganti channel TV nya jadi siaran berita?” , ujar salah satu pelanggan saat rekan kerja Adelia melewatinya.
Dengan tersenyum ramah, rekan kerja Adelia itu mengangguk sekali, “Bisa bu, sebentar ya.” , katanya dan langsung menuju meja kasir untuk mengambil remote TV besar yang menempel pada dinding.
“BERITA SELANJUTNYA. HARI INI SEBUAH KECELAKAAN TABRAK LARI TELAH TERJADI PAGI MENJELANG SIANG TADI DENGAN KORBAN SATU ORANG YANG MERUPAKAN ANGGOTA SATUAN POLISI YANG TENGAH MENGEJAR PELAKU KEJAHATAN YANG TIDAK DIKETAHUI IDENTITASNYA.”
Berita yang muncul sontak menarik perhatian semua orang yang ada disana, termasuk Adelia. Ia langsung teringat pada pasien yang bersimbah darah saat berpapasan dengannya di koridor rumah sakit siang tadi. Lantas Adelia merasa merinding mengingat hal itu. Bukan hanya karena kengerian yang dilihatnya, tetapi ia khawatir jika itu adalah seseorang yang ia kenal dulu walaupun kemungkinan hal itu terjadi hanya dibawah satu persen.
“Adelia! Tolong bantu aku sebentar!” , panggil salah satu rekannya yang langsung mengaburkan pikirannya dari berita tadi.
“Iya, aku datang!” , sahut Adelia. Ia bergegas menghentikan aktifitasnya dan datang menghampiri rekannya yang ternyata meminta bantuannya untuk memindahkan salah satu meja yang sudah agak jelek ke gudang belakang.
***
Rangga yang tengah bersemangat menjelaskan apa saja yang akan ia lakukan, menghentikan ocehannya kala pintu kamar perawatannya dibuka dan melihat Agung yang kemudian disusul oleh Dimas. Baik Sean maupun Rangga, perhatian mereka sekarang teralihkan kepada dua orang yang baru masuk itu. Di dalam kamar perawatan Rangga kosong tidak ada siapapun selain tubuh Rangga yang terbaring koma dengan banyak kabel dan selang yang terhubung dengan tubuhnya. Kedua orangtua Rangga serta adiknya meminta bantuan pada Agung untuk menjaga Rangga hingga mereka kembali dari rumah untuk mengambil beberapa pakaian. Ibunya Rangga berniat untuk menginap untuk beberapa hari karena Kaila-- adik Rangga, sudah akan kembali masuk kuliah dan tidur di messnya. Ia tidak ingin sendirian di rumah saat suaminya pergi bekerja.
Dimas tak mampu menahan air matanya begitu melihat Rangga lebih dekat. Baik Agung maupun Rangga, mereka sama - sama tahu fakta bahwa Dimas adalah laki - laki yang sensitif. Ia bisa menangis dengan mudah. Seperti yang terjadi saat ini. Dimas menangis seakan Rangga sudah benar - benar pergi meninggalkan mereka semua. Rangga yang melihat hal itu bahkan membuang muka karena malu. Sedangkan Sean menatap Dimas yang menangis dengan mengernyitkan alisnya.
“Jangan dilihat.” , ujar Rangga yang sudah membuang muka terlebih dahulu.
“Apa dia pacarmu? Dia terlihat begitu kehilangan dirimu.” , tanya Sean yang justru terdengar seperti sarkas dan ledekan bagi Rangga.
“Tidak, tidak! Sudahlah kita pergi saja dari sini. Aku tidak kuat lagi melihat hal seperti ini.” , keluh Rangga sambil mendorong Sean menembus dinding untuk keluar dari ruangan itu.
Tidak hanya Rangga, Agung pun sampai menggeleng - gelengkan kepalanya melihat tingkah Dimas.
‘Hei, dia tidak mati.” , tegur Agung berniat untuk mengingatkan.
Mendengar kata ‘mati’ justru membuat Dimas menangis semakin heboh. Ia menangkap perkataan Agung dengan mengira Rangga akan mati nanti dan bukannya sekarang.
Agung hanya menghela nafas melihat hal itu. Ia tidak ingin bicara apa - apa lagi, takut perkataannya justru akan membuat Dimas menangis semakin kencang.
***
Dimas sudah berhenti menangis dan sudah lebih tenang sekarang. Agung mengajaknya untuk duduk di luar saat kedua orangtua Rangga dan juga Kaila kembali. Mereka memilih untuk duduk di dalam mobil Dimas sambil berbincang - bincang.
“Apa kau sudah tau penyebab Rangga seperti itu?” , tanya Agung sambil memberikan sekaleng soda dingin yang sudah dibukakan olehnya untuk mendinginkan kembali kepala Dimas.
Dimas menerimanya dan langsung meneguknya sedikit, ia menggeleng begitu selesai meneguk minumannya.
Agung mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya, “Sebuah mobil menabraknya saat ia sedang mengejar si pelaku.” , katanya dan memutarkan rekaman saat kejadian.
“Q 8402 T! Aku menemukan si pelaku! Q 8402 T! Lacak plat mo-- BRAAKK! Tut.. Tut.. Tut..”
Dimas terdiam. Ia bergidik ngeri mendengar rekaman itu. Ia tidak menyangka akan mendengar suara terakhir Rangga sebelum kecelakaan itu terjadi. Selain itu, ia juga bergidik ngeri mengingat Agung yang merekam semua itu.
“K-kau merekamnya, mas?” , tanya Dimas memastikan.
Agung memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dalam jasnya, “Tentu. Aku selalu merekam semua pembicaraan dari panggilan yang masuk untuk berjaga - jaga. Yah, siapa yang tahu.. ternyata benar - benar berguna.
Dimas tidak menyangka memiliki ketua tim yang begitu teliti sekaligus sedikit menakutkan.
“Kita tidak ingin menyia - nyiakan pengorbanan yang sudah Rangga lakukan, bukan? Oleh karena itu kita harus secepatnya melanjutkan penyelidikan ini secepatnya.” , jelas Agung, ia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, “Sudah lima jam berlalu sejak kejadian itu. Waktu yang cukup untuk pelaku melarikan diri. Tetapi jika ia sempat melihat kecelakaan itu ataupun melihat beritanya, pasti tidak akan pergi jauh karena mengira dirinya aman. Itu kesempatan yang bagus untuk kita bergerak.” , tambahnya.
“Tunggu dulu,” , Dimas menahan tangan Agung yang hendak memakai sabuk pengaman, “Bagaimana mas bisa yakin bahwa yang Rangga kejar itu benar - benar si pelaku?” , tanyanya memastikan ketua timnya itu sudah memikirkan dugaan itu juga.
Agung tersenyum miris, “Apa menurutmu Rangga mau mengejar seseorang sampai senekat itu? Hal itu tidak akan terjadi jika dia masih belum terlalu yakin dengan orang yang tengah dikejar olehnya. Sudah pasti Rangga sudah memastikan semua kemungkinannya.. Lagipula orang macam apa yang akan kabur padahal Rangga tidak memberitahu identitasnya yang adalah polisi? Percayalah pada Rangga.” , jelasnya membuat keraguan yang ada dalam pikiran Dimas menguap seketika.
“Maaf, aku masih harus banyak belajar.” , kata Dimas sambil menunduk malu.
“Tidak apa. Sekarang kau cari tahu informasi mobil dengan plat nomor tadi dan ikut aku.” , Agung meraih tablet pintar yang biasa Dimas gunakan dan memberikan padanya, “Kita akan mendengar kesaksian korban yang selamat. Aku sudah membuat janji dengan Komisi Perlindungan Anak untuk membantu berbicara dengan korban.”
Dimas terkejut begitu menyadari perkembangan kasusnya sudah sejauh itu. Ia benar - benar merasa tertinggal.
Agung mulai menyalakan mesin mobilnya, “Maaf harus mengurangi masa liburanmu.” , katanya dan langsung membawa mobilnya melaju pergi meninggalkan parkiran rumah sakit.
***
Sesampainya di depan pintu gerbang apartemen Danisa, Agung menghentikan mobilnya. Tepat di depannya ada sebuah mobil sedan abu - abu yang lebih dulu ada disana.
“Oh ini kan..”
“Iya, benar. Tempat tinggal korban yang selamat. Danisa.” , timpal Agung mengiyakan sebelum Dimas menyelesaikan kalimatnya.
Setelah mematikan mesin mobilnya, segera Agung melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobilnya diikuti oleh Dimas yang menyusulnya. Begitu ia menutup kembali pintu mobilnya, seorang wanita keluar dari mobil abu - abu yang berada tak jauh di depan mereka. Wanita itu nampak berpakaian santai, hanya sebuah hodie berwarna abu - abu pucat dengan gambar bebek di tengahnya dan juga celana yoga berwarna hitam sambil mengemut permen lolipop di mulutnya.
Dimas mengernyitkan dahinya bingung melihat penampilan wanita itu, sementara Agung berdecih geli. Setelah saling bertatap beberapa saat, Agung memilih untuk menghampiri wanita tersebut lebih dulu sebelum dia yang menghampirinya.
Agung lebih dulu mengulurkan tangannya mengajak untuk berjabat tangan, “Saya Agung dari kepolisan sektor kota yang menelpon Komisi Perlindungan Anak tadi. Mohon bantuannya.” , katanya dengan penuh rasa hormat.
“Saya Riska. Saya profesional dalam menangani trauma anak. Harap tidak menilai saya dari penampilan saya.” , balasnya dengan yakin tanpa melepaskan lolipop yang masih di mulutnya.
“Tidak. Saya justru bisa langsung melihat keprofesionalan anda dalam bidang ini saat melihat penampilan anda.” , sanjung Agung saat melepaskan jabat tangannya.
“Yah, saya tidak tahu pasti yang barusan itu pujian atau ledekan untuk saya, hahaha.” , katanya tertawa terbahak seorang diri.
“Anak muda ini..” , katanya lagi setelah selesai dengan tawa singkatnya sambil melihat ke arah Dimas.
“Ah,” , Dimas buru - buru mengelap tangannya sebelum mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, “Saya Dimas. Bawahan dari mas Agung.”
“Ah kau pasti yang paling muda, ya?” , tebak wanita bernama Riska itu sambil mencabut permen lolipop dari mulutnya.
“Iya.” , Dimas tersenyum canggung. Ia bertanya - tanya pada dirinya sendiri apakah dia begitu terlihat menonjol soal dia yang paling muda dan paling baru di timnya.
“Aku sudah mengirimkan informasi detail tentang anak ini. Saya harap anda tidak akan salah langkah dalam membongkar informasi darinya.” , ujar Agung memberi peringatan dengan halus.
Mengerti bahwa perkataan dari Agung barusan adalah peringatan untuknya, Riska merasa kemampuannya baru saja diremehkan. Ia kembali ke mobilnya dan mengambil sebuah map dari sana, “Sepertinya kau meremehkanku. Ayo, langsung saja. Kau pimpin jalannya.”
Agung mengiyakan dan berjalan lebih dulu disusul oleh Dmas dan dikuti oleh Riska yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung diijinkan masuk begitu Agung menunjukkan kartu identitasnya sebagai polisi pada satpam tua yang waktu itu kepergok sedang tidur saat bertugas. Sepulang dari rumah Danisa waktu itu, Agung menitipkan beberapa pesan pada satpam tua tersebut, terutama untuk tidak membiarkan sembarang orang masuk. Agung tidak menyangka, permintaannya itu benar - benar didengar dan dilaksanakan dengan baik. Mengetahui hal itu, Agung merasa sedikit lega, begitu juga dengan ibunya Danisa. Kekhawatirannya berkurang sedikit setelah ada kebijakan seperti itu berlaku di lingkungan tempat tinggalnya.
TOK TOK TOK
“Permisi..”
Suara ketukan pintu dan suara yang terdengar familiar mengalihkan perhatian ibu Danisa yang sedang mencuci piring dan juga Danisa yang sedang bermain masak - masakan bersama boneka - bonekanya yang lain. Segera ibu Danisa mematikan keran air dan mengeringkan tangannya dengan bajunya sebelum membuka pintu.
“Halo mas Agung, silahkan masuk.” , ujar ibu Danisa begitu melihat sosok Agung yang tinggi terpampang di depan pintunya begitu ia membuka pintu.
“Permisi..” , katanya sambil melepas sepatunya dan masuk ke dalam, diikuti Riska dan Dimas yang menyusul di belakangnya.
Bu Danisa terkejut begitu mengetahui Agung tidak datang sendirian.
“Halo ibu~” , sapa Riska dengan wajah penuh keramahan. Sangat berbeda dengannya saat di depan gerbang tadi, “Saya Riska dari Komisi Perlindungan Anak yang akan mencoba untuk berkomunikasi dengan anak ibu.”
“Ah.. Begitu.. Ayo masuk, silahkan masuk, dek. Silahkan masuk.” , balas ibu Danisa tak kalah ramah.
Tak lupa Riska masih mempertahankan senyumnya sambil menatap pada Agung seakan berkata ‘Kau lihat tadi?’ untuk memamerkan kemampuannya. Agung balas menatapnya sambil mengangguk mengiyakan.
Mereka bertiga dibawa oleh ibunya Danisa ke ruang makan untuk duduk melingkar di meja makan, sedikit menjauh dari Danisa agar ia tidak merasa terganggu dengan kedatangan mereka. Dengan singkat mereka menjelaskan tujuan dan hal apa saja yang akan dikorek informasinya dari Danisa. Mendengar semua itu, jantung ibu Danisa tiba - tiba saja berpacu cepat. Ia khawatir jika mengorek semua itu, akan membuat Danisa mengingat kembali ingatan hari mengerikan itu dan akan menggila seperti saat ia melihat karakter Misha di televisi.
Riska meraih kedua tangan ibunya Danisa dan menggenggamnya memberi kekuatan, “Ibu tidak perlu khawatir.. Saya akan membuat Danisa membuka mulutnya tanpa ia harus merasa sakit lagi saat mengingat semua itu.” , katanya meyakinkan.
“Tolong jangan buat Danisa tersiksa lagi..” , balas ibunya Danisa memohon. Riska mengangguk mengerti.
“Baiklah.. Aku akan langsung mulai. Kalian cukup mengamati dari sini dengan sikap sewajarnya. Jangan terlalu kelihatan sedang mengamati, mengerti?” , tegas Riska memperingatkan. Mereka bertiga mengangguk menyanggupi permintaan Riska yang lebih mengerti bagaimana teknisnya.