BAB LIMA : KABAR (part 3)

1929 Kata
Sebelum melancarkan aksinya, Riska terlebih dahulu menyalakan alat perekam suara kecil yang ia sembunyikan di dalam kantung besar hoodienya. Agung tersanjung dengan cara Riska. Segera Riska berjalan santai mendekati Danisa yang asyik dengan mainannya. Danisa tentu menyadari kehadiran Riska yang mendekat padanya, dari sudut matanya ia memperhatikan langkah kaki Riska yang berjalan memutar dan berjongkok seperti anak kecil di sebelah kirinya. Riska hanya diam dan tidak bicara sepatah kata pun untuk sesaat. Ia hanya berjongkok disana melihat bagaimana Danisa main dengan peralatan masak mainannya. Sementara Agung, Dimas, dan ibunya Danisa memperhatikan dan menunggu gerak gerik Riska dari meja makan. Mereka bertiga tidak mengerti mengapa Riska hanya berjongkok disana dan tidak mengatakan apapun. Dalam hati Danisa pun bertanya - tanya hal yang sama. “Saya akan menyiapkan minum. Mau minum apa, mas?” , tanya ibu Danisa yang sudah bosan menunggu beranjak dari kursinya. “Saya air--” “Wah~ Kelihatannya enak~ Apa aku boleh ikut bermain?” , akhirnya Riska membuka suaranya dengan nada seperti anak kecil. Mendengar Riska yang akhirnya membuka suara, membuat perhatian mereka kembali padanya. Bahkan ibu Danisa pun kembali duduk untuk melihat perkembangan dan reaksi Danisa pada orang asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Danisa tidak menjawab apapun. Ia hanya menatap Riska sebentar dan kembali pada mainannya. Baik Riska maupun mereka yang memperhatikan, sama - sama cemas dengan kelanjutannya. Walaupun begitu, Riska tidak putus semangat. Ia mendekat selangkah dengan berjinjit sedikit demi sedikit, “Ibuku pernah mengajariku bagaimana cara memasak pizza. Mau aku tunjukkan?” , tanya Riska lagi. Tertarik dengan topik yang dibicarakan oleh Riska, Danisa langsung menoleh beberapa saat dan mengangguk perlahan. Riska langsung tersenyum lebar hingga matanya pun ikut tersenyum, “Sini, sini, biar aku ajari cara memasak pizza.” , ia beralih ke sisi lainnya dan duduk disamping Danisa. Mereka yang memperhatikan akhirnya bernafas lega begitu melihat Danisa yang sudah mengijinkan Riska untuk masuk ke dalam dunianya. Merasa lebih tenang, ibu Danisa beranjak berdiri, “Saya akan menyiapkan minum.” , pamitnya dengan berbisik pada Agung dan Dimas yang masih memperhatikan gerak gerik Riska dan juga Danisa. Mereka berdua mengangguk mengijinkan. “Nah, seperti ini caranya~ Mudah, bukan?” , ujar Riska setelah menunjukkan bagaimana cara memasak pizza khayalan dengan mainan peralatan masak milik Danisa. Tidak disangka hal itu membuat Danisa sedikit tersenyum dan mengangguk pelan. Riska ikut tersenyum. Hatinya merasa sedih mengingat anak sebaik dan sehangat Danisa pernah menjadi korban dari kasus yang keji itu. Tidak ingin berlarut - larut dalam pikirannya, segera ia mengalihkan dirinya pada hal lain. Ia melirik pada ketiga boneka yang didudukan sejajar ke samping yang ada di depan mereka. “Wah lucunya~ Siapa namanya?” , tanya Riska mencoba membuat Danisa mau membuka mulutnya untuk bicara. Perhatian Danisa beralih pada boneka kelinci berwarna merah muda yang ditunjuk oleh Riska, ia tidak langsung menjawabnya. Danisa masih diam ragu dan Riska menunggu dengan sabar, “Bento.” , bisik Danisa beberapa saat kemudian. “Beno?” , tanya Riska lagi mencoba mengoreksi apa yang ia dengar. Secara tidak langsung Riska ingin agar Danisa menaikan volume nada bicaranya. Danisa yang secara naluriah tidak ingin ada orang yang salah menyebutkan nama teman bermainnya langsung mengoreksi ulang, kali ini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, “Bento.” , katanya singkat. “Oh Bento~ Hai, Bento~ Aku Riska, senang berkenalan denganmu~ Sekarang kita adalah teman!” , ujar Riska berbicara dengan boneka kelinci tersebut seolah - olah boneka tersebut nyata. Ingin agar Danisa tertarik dengannya, Riska bahkan meraih tangan boneka kelinci itu dan bersalaman dengannya. Orang - orang dewasa yang memperhatikan mungkin akan merasa apa yang dilakukan Riska adalah sia - sia dan telah keluar dari tujuan utama. Namun, Agung tidak ingin berspekulasi apapun sebelum proses ini berakhir. Agung hanya memedulikan hasil akhirnya dan bukan metodenya. Justru ia memperhatikan dengan seksama tiap gerak - gerik dan intonasi bicara dari Riska untuk ia serap dan pelajari sebanyak yang otaknya bisa. “Bagaimana dengan yang ini?” , Riska beralih menunjuk sebuah boneka sapi di sebelah boneka kelinci tadi, “Siapa namanya?” Danisa menoleh ke arah boneka yang ditunjuk sekilas, “Moli.” , katanya dengan lebih santai. Riska menilai bahwa Danisa sudah mau menerima dirinya dalam dunianya dan merasa aman di sekitarnya. “Ooh Moli~ Nama yang bagus! Siapa yang memberimu nama? Dia benar - benar pintar memberi nama!” , mendengar pujian dari Riska, sontak Danisa tersenyum malu - malu. Riska melihat hal itu dan langsung bisa mengetahui bahwa Danisa lah yang telah menamai mereka. “Bagaimana denganmu? Siapa namamu?” , Riska ganti mengulurkan tangannya pada Danisa. Danisa menatap tangan itu cukup lama, “Apa kau mau berteman denganku? Aku sudah berteman dengan Bento dan Moli.” , jelas Riska meyakinkan. “Danisa..” , jawab Danisa masih malu - malu. Ia bahkan tidak mau menerima jabat tangan dari Riska. Riska berusaha memahami Danisa yang tidak ingin melakukan kontak fisik sembarangan dengan orang lain, ia menarik kembali tangannya, “Wah, namamu juga cantik! Danisa..” Riska teringat sesuatu dan ia merogoh kantong besar yang berada di bagian depan hoodienya, “Taraaa~” , katanya sambil mengeluarkan sebuah lolipop yang sama dengan lolipop yang tengah diemutnya, “Ini untukmu sebagai bentuk pertemanan kita. Teman harus saling berbagi.” , jelas Riska sambil menyodorkan permen tersebut pada Danisa. Dengan ragu - ragu Danisa menerima permen tersebut tanpa bicara sepatah kata pun lagi. Yah, Riska pun tidak mengharapkan ada ucapan terima kasih dari anak kecil. “T-terima kasih.” , kata Danisa tiba - tiba. Tak ayal Riska langsung merasa bersemangat mendengar Danisa yang sudah berani untuk mengatakan hal - hal seperti ucapan terima kasih. “Sama - sama~” , balas Riska mengapresiasi. Setelah berhasil menerobos dinding pertahanan yang dipasang Danisa, kali ini Riska hanya tinggal menggali informasi darinya. Tantangan selanjutnya adalah, bagaimana caranya untuk menggiring Danisa kembali pada pengalaman mengerikan itu tanpa harus ada rasa sakit saat mengingatnya. Hal itu menjadi tantangan tersendiri untuk Riska. Walaupun tidak mudah, ia sama sekali tidak berniat untuk meminta bantuan pada ketiga orang yang tengah menontonnya ataupun orang lain dari pihak Komisi Perlindungan Anak. Riska melihat Danisa yang terlihat kesulitan untuk membuka bungkusan permen lolipop, ia tidak ingin menyia - nyiakan kesempatan itu untuk menjadi lebih dekat pada Danisa, “Mau aku bantu bukakan?” , tanyanya menawarkan bantuan. Danisa tanpa ragu langsung memberikan permen lolipop di tangannya kembali pada Riska yang kemudian langsung ia lepaskan dari bungkusannya dan memberikannya kembal pada Danisa. “Oh bagaimana dengan yang ini?” , Riska menunjuk boneka satunya lagi yang didudukan tepat di sebelah boneka sapi, “Oh ya ampun sepertinya dia terluka.” , katanya sambil meraih boneka beruang kusam itu untuk melihat lebih dekat. “Oh ya ampun, dia terluka. Lihat ini, tangannya ada jahitannya yang terbuka sampai dakronnya muncul keluar.” , jelas Riska sambil menunjukkan luka yang dimaksud pada Danisa yang perhatiannya langsung teralihkan padanya. “Aku dulu juga pernah terluka di tanganku. Sama seperti boneka beruang ini, tapi punyaku lebih panjang. Danisa mau lihat? Moli mau lihat? Bento mau lihat? Beruang mau lihat?” , Riska menatap mereka satu per satu saat menyebutkan nama mereka. Danisa mengangguk bersemangat karena penasaran. Riska pun menyanggupinya. Ia menarik lengan hoodie nya yang sebelah kiri hingga ke sikunya. Dan Danisa terkejut begitu melihat ada bekas luka sayatan panjang di lengan bagian dalam tangan kiri Riska. “Panjang, ya? Hehe. Ada cerita di balik luka ini, kalian mau mendengarnya?” Danisa langsung mengangguk bersemangat. Lagi - lagi disebabkan oleh rasa penasarannya. “Oke - oke, aku akan bercerita. Tetapi berjanjilah kalian tidak akan menceritakannya pada siapa pun, karena ini akan menjadi rahasia hanya diantara kita. Oke?” , bisik Riska sambil mencondongkan tubuhnya ke depan berniat untuk mendekat agar suara bisiknya bisa terdengar. Danisa pun mengangguk setuju. Agung yang sejak awal memperhatikan bagaimana usaha Riska untuk menjadi dekat dengan Danisa membuatnya terkagum - kagum. Sekarang ia yakin benar bahwa Riska memang sudah profesional dalam menangani hal itu. Ia sedikit malu pada dirinya sendiri karena telah menyepelekan Riska di awal. Dimas dan ibunya Danisa pun berpendapat tidak jauh berbeda dengan Agung. Mereka dibuat kagum oleh cara Riska yang efektif membuat Danisa yang sebelumnya tidak pernah mau bicara dengan orang lain, hanya dalam beberapa menit Riska mampu membuat Danisa menyebutkan namanya. Orang yang paling terbawa emosional selama proses ini adalah ibunya Danisa. Mendengar Danisa menyebutkan namanya saja sudah mampu membuatnya meneteskan air mata bahagia. Ia senang, putri semata wayangnya sudah kembali seperti biasanya walaupun belum sepenuhnya pulih. “Jadi, dulu saat aku masih duduk di kelas satu sekolah dasar, ada salah seorang anak yang suka menggangguku. Dia sering melemparkan pensilku dengan tiba - tiba hingga pensilku patah, pernah dengan sengajamelemparkan sebelah sepatuku ke dalam selokan, pernah juga ia mencoret - coret bukuku tanpa alasan yang jelas.” , ujar Riska bercerita dari awal. Ia berhenti sejenak untuk melihat reaksi Danisa. “Kenapa?” , tanya Danisa terpancing. Riska mengangkat kedua bahunya bersamaan, “Tidak tahu. Yang pasti dia bukan teman yang baik.” Danisa mengangguk mengerti. “Aku tidak pernah melaporkannya pada siapapun. Karena waktu itu aku berpikir, jika aku melaporkannya, maka ia akan semakin menggangguku karena kesal telah dilaporkan olehku. Hingga suatu hari, aku dibuat terluka olehnya hingga jadi seperti ini.” , jelasnya sambil menunjukkan bekas luka tadi, “Bekas luka ini aku dapatkan saat mencoba mengambil sebelah sepatuku yang dia lemparkan ke dalam gudang tua yang sudah tidak terpakai. Aku mencoba meraih sepatuku dari jendela yang sudah rusak tanpa tahu ada kayu tajam di dekatnya. Dan tanganku pun langsung terkena kayu tajam itu, tergores sampai sepanjang ini karena aku dengan reflek langsung menarik tanganku.” , Riska berhenti sejenak untuk melihat reaksi Danisa. Danisa yang mendengar cerita pengalaman Riska, memeluk boneka beruangnya takut saat membayangkan jika hal itu terjadi padanya. “Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita kepada ibu dan ayah dan juga kepada guru. Apa kau tahu yang mereka lakukan pada anak yang suka mengggangguku itu? Mereka membuat anak nakal itu benar - benar menjauh dariku. Guruku memberikan hukuman untuknya dan membuatnya menyesal dan kemudian dia pindah sekolah jadi aku tidak perlu khawatir lagi akan diganggu olehnya.” Danisa tersenyum lega begitu mengetahui akhir dari cerita pengalaman Riska berakhir dengan bahagia. “Jadi, jika ada yang menyakiti kita, harus kita beritahukan kepada orang terdekat dan terpercaya. Katakan pada mereka apa yang kita alami agar mereka bisa menghukum orang yang telah menyakiti kita dan membuatnya menjauh dari kita agar kita tidak perlu lagi khawatir.” , ujar Riska memberi nasehat. Dalam hatinya ia sungguh - sungguh berharap Danisa akan mengerti maksud menceritakan hal ini padanya. Danisa terlihat merenung memikirkan sesuatu. “Apa pernah juga ada yang menyakiti Danisa?” , tanya Riska memancing langsung. Dengan agak takut - takut, Danisa mengangguk pelan. “Ya ampun, jahatnya orang itu. Tenang saja Danisa, aku, Moli, Bento pasti akan menghukum orang itu!” , balas Riska dengan semangat membara bak pahlawan super yang akan pergi menyelamatkan dunia. Danisa terkekeh melihat Riska yang menirukan gaya pahlawan super yang ada di televisi. “Jadi, apa Danisa mau memberitahu kami bagaimana ciri - ciri orang itu dan bagaimana cara dia menyakitimu? Tenang saja, ini hanya rahasia di antara kita. Danisa tidak perlu khawatir. Aku juga sudah menceritakan rahasiaku tadi, jadi Danisa juga bisa menceritakan rahasiamu. Kita saling bertukar rahasia deh~” , jelas Riska mencoba meyakinkan Danisa. Dengan agak ragu - ragu, Danisa mencoba membuka mulutnya untuk bicara, “W-waktu itu.. Aku ikut ibu berjualan di pasar. Lalu aku terpisah dari ibuku dan dia datang.” , ucap Danisa sambil mengingat - ingat kembali kejadian pada hari itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN