Riska meraih semua boneka dan memeluknya erat menghadap Danisa seolah - olah tengah mendengarkan cerita Danisa dengan seksama.
Danisa tidak masalah dengan hal itu dan kembali melanjutkan ceritanya, “Awalnya aku berpikir dia orang baik. Tapi ternyata dia tidak baik. Dia menyakitiku dan menyuruhku untuk tidak bicara ataupun berisik dengan mengancam akan membunuh ibu kalau aku berisik.” , katanya sambil tertunduk sedih.
Danisa bercerita dengan suara yang kecil nyaris berbisik. Oleh sebab itu Agung, Dimas, dan ibunya Danisa yang memperhatikan mereka dari meja makan tidak dapat mendengarnya. Mereka hanya saling pandang satu sama lain sama - sama bertanya - tanya apa yang sedang Riska dan Danisa bicarakan hingga tidak terdengar sama sekali dari tempat mereka.
Riska yang mendengar secara langsung kesaksian dari Danisa, bisa langsung menyimpulkan penyebab semua trauma yang dialami oleh Danisa. Walaupun hal seperti ini adalah makanan sehari - hari untuknya, tetapi Riska tidak pernah bisa merasa terbiasa tiap kali mendengar kesaksian langsung dari korban atas kejahatan yang dialaminya. Selalu saja membuat hatinya teriris perlahan. Membuat kebencian pada pelaku semakin membara dan membuat keprihatinannya atas moral manusia sekarang ini yang seiring berkembangnya jaman justru semakin banyak yang terjun bebas.
“Apa Danisa ingat bagaimana cara dia menyakiti Danisa? Apa sama seperti yang aku alami?” , tanya Riska mencoba menggiring Danisa untuk bercerita tetap pada jalurnya.
Danisa menggeleng, “Tidak.”
“Lalu?”
Danisa diam sejenak, sementara Riska khawatir cara bicaranya terkesan memaksa dan takut Danisa akan berhenti bercerita.
“Tenang saja, aku tidak akan menceritakannya pada siapapun. Bento dan Moli pun sudah berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun. Kita kan sudah berteman, teman harus saling menyimpan janji mereka.” , ujar Riska memberi dorongan semangat agar Danisa tidak ragu ataupun takut untuk bercerita.
Alih - alih bercerita, Danisa mengamati sekeliling. Agung, Dimas, dan ibunya Danisa sontak langsung salah tingkah dan berpura - pura sibuk dengan hal lain saat pandangan Danisa beralih pada mereka.
Riska ikut melihat ke arah Danisa menatap lama, “Tidak perlu khawatir. Mereka tidak akan bisa mendengar kita.” , jelasnya dengan santai.
“Awalnya aku pikir dia orang yang baik karena dia memang terlihat baik.” , kata Danisa melanjutkan ceritanya perlahan - lahan.
‘Terlihat seperti orang baik?’ , batin Riska mencoba untuk langsung menganalisa setiap petunjuk yang ada.
“Apa yang membuatnya terlihat seperti orang baik?” , tanya Riska mencoba menggali lebih dalam.
“Karena dia selalu tersenyum. Tapi sebelah wajahnya ia tutupi dengan kain.”
Riska mengangguk setuju walaupun dalam pikirannya ia terus melanjutkan menyusun tiap potongan puzzle yang bermunculan.
“Dia meminta bantuanku untuk membawakan barangnya ke dalam mobilnya. Ibu bilang kita harus saling membantu, jadi aku mau membantunya.”
“Boleh aku bertanya seperti apa mobilnya dia? Apakah mobil terbaru? Mobilnya besar?” , tanya Riska saat Danisa berhenti bicara.
Danisa lagi - lagi menggeleng, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Riska untuk berbisik, “Mobilnya sudah ketinggalan jaman dan bau.” , katanya dan langsung duduk kembali.
“Ooh jadi mobilnya mobil tua ya?” , tanya Riska memastikan walaupun niat aslinya adalah agar pernyataan tadi masuk ke dalam perekam suara yang tersembunyi dalam kantung hoodienya.
“Ssssttt!” , Danisa langsung menutup mulut Riska dengan jari telunjuknya memperingatkan untuk tidak bicara keras - keras. Riska ikut menutup mulutnya dan mengangguk mengerti untuk tidak bicara keras - keras lagi.
Agung dan dua orang lainnya yang memperhatikan mereka dari meja makan kembali saling pandang bingung. Tidak mengerti apa yang sedang Riska dan Danisa bicarakan hingga se intens itu. Namun, dibandingkan rasa penasaran, ibunya Danisa lebih merasa senang karena pada akhirnya putrinya sudah lebih baik kondisinya dibandingkan sebelumnya.
“Lalu bagaimana caranya menyakitimu?” , tanya Riska memancing Danisa untuk terus berbicara.
Danisa diam sesaat. Ia terlihat seperti sedang mempersiapkan dirinya untuk menceritakan hal ini pada orang lain untuk pertama kalinya. Riska menunggu dengan sabar, ia tidak ingin ketidak sabarannya mengurangi kepercayaan Danisa padanya.
“Dia tiba - tiba memasukanku ke dalam box yang ada di bagian belakang mobilnya dan menutupnya begitu saja. Di dalam kotak itu sempit dan gelap. Hanya ada lubang kecil dekat kepalaku. Aku panik dan berteriak meminta tolong, tetapi aku malah merasakan mesin mobil yang bergetar dan mobilnya melaju.” , jelas Danisa. Tanpa sadar air matanya mulai berkumpul saat menceritakan hal itu. Ketakutan dan kengerian yang ia rasakan saat itu benar - benar teringat jelas dalam benaknya.
“Aku terus berteriak dan dia marah. Ia menghentikan mobilnya dan membuka kotakku dan memarahiku karena aku terlalu berisik. Dia mengancam akan membuatku tidak bisa bertemu lagi dengan ibu jika aku terus menangis dan merengek. Oleh karena itu aku berhenti merengek. Aku tidak ingin dipisahkan dengan ibuku huaaa huaaaa..” , pada akhirnya tangis Danisa pecah. Ia tidak bisa menahan semua air mata saat mengingat masa - masa itu.
Melihat Danisa menangis, ibu Danisa bergegas menghampiri Danisa dan menggendongnya, “Kenapa sayang? Ada apa? Tidak apa - apa, tidak apa - apa.. Ibu ada disini..” , ujar ibunya sambil mengelus - elus punggung Danisa yang sudah berada dalam gendongannya mencoba untuk menenangkannya.
Ibu Danisa berbalik agar ia bisa melihat Riska, ia menatapnya beberapa saat dengan tatapan kecewa sebab tadi di awal Riska sudah berjanji tidak akan menyakiti Danisa, namun kenyataannya Danisa tetap terluka juga. Riska tidak berani membela diri dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena ia juga sadar bahwa ia tidak menepati janjinya di awal tadi. Akhirnya, ibunya Danisa membawa putrinya masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya.
Dengan gontai, Riska kembali ke meja makan dimana Agung dan Dimas sudah menunggunya. Ia mengeluarkan alat perekam suara yang masih menyala tadi dan mendekatkan alat tersebut pada bibirnya.
“Pernyataan saksi bagian satu telah selesai tertanggal dua puluh delapan Agustus dua ribu dua puluh, pukul enam belas lewat tiga puluh lima menit.” , ucapnya dan menekan sebuah tombol pada alat itu untuk berhenti merekam dan ikut duduk bergabung dengan Agung dan Dimas.
Dengan kasar, Riska melempar alat rekaman tersebut pada Agung, “Kau harus menangkap k*****t itu segera.” , katanya dengan nada mengancam.
Agung dan Dimas yang masih belum tahu apa yang tadi Danisa katakan, lebih tertarik untuk mendengarkan isi rekaman tadi dibandingkan bereaksi pada ucapan Riska.
“Kita akan mendengarkan rekaman ini nanti bersama ibunya Danisa. Dia berhak tahu apa yang telah terjadi pada anaknya.” , ujar Agung sambil merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
Riska yang kehausan, meraih gelas yang masih kosong dan menuangkan es teh dari teko yang sudah terlihat mengembun di bagian luarnya, “Aku rasa itu akan terlalu menyakitkan untuk ia ketahui..” , komentar Riska yang sudah lebih dulu mendengar kesaksian dari Danisa secara langsung.
Agung menatap Riska bertanya - tanya apa saja yang Danisa ceritakan. Riska balas menatapnya dengan menaikan alisnya.
“Apa yang terjadi tadi? Mengapa dia menangis?” , tanya Dimas dengan polosnya dengan suara pelan.
Baik Riska maupun Agung sama - sama langsung menatap ke arah Dimas, “Menceritakan kejadian yang membuat seseorang menjadi trauma memang tidak pernah mudah.” , jelas Agung dengan singkat.
Dimas mengulum bibirnya ke dalam karena merasa tidak puas dengan jawaban ketua timnya.
“Danisa masih belum pulih dari kenangan mengerikan itu. Luka dalam hatinya masih baru, dan ia tidak memiliki cukup keberanian untuk membuka kotak kenangan hari itu.” , tambah Riska mencoba menjelaskan lebih spesifik dengan kiasan - kiasan.
“Aah, begitu..” , Dimas mengangguk mengerti.
Agung langsung melirik dari sudut matanya pada bawahannya yang lebih menerima penjelasan dari orang lain ketimbang darinya. Riska yang melihat itu, terkekeh pelan. Ia sedikit merasa bangga karena bisa unggul dari anggota aparat kepolisian setingkat Agung.
Tak lama suara tangisan Danisa tidak terdengar lagi dan sekitar lima belas menit kemudian ibunya Danisa keluar dari kamar seorang diri, menutup pintu kamarnya dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik. Ia langsung bergabung dengan ketiga orang yang sejak tadi sudah menunggunya di meja makan. Tanpa berkata - kata, ia langsung mengambil duduk di antara Riska dan Dimas.
“Bagaimana Danisa, bu?” , tanya Riska memberanikan diri untuk menjadi yang pertama membuka suara di antara mereka semua yang ada di meja makan.
Alih - alih menatap Riska yang bertanya padanya, ibunya Danisa lebih memilih untuk menatap gelas - gelas yang ada di tengah meja, “Dia sudah tidur.” , jawabnya singkat.
Agung, Riska, dan Dimas saling pandang. Mereka sama - sama bisa menyimpulkan bahwa ibunya Danisa sudah lelah dengan ini semua.
“Jadi begini bu, berdasarkan apa - apa saja yang sudah Danisa ceritakan tadi, itu semua baru sepertiganya, jadi selanjut--” , belum sempat Agung menyelesaikan kalimatnya, ibunya Danisa memotongnya.
“Hentikan.”
“Tapi bu, Danisa--”
“Tidak. Jangan libatkan putriku lagi untuk tugas kalian yang tidak dapat kalian selesaikan. Maaf, aku tidak bisa membiarkan kalian menyakiti putriku lebih lama lagi. Biarkan dia mengubur semua yang terjadi hari itu dalam - dalam dan menjalani hari - harinya seperti biasanya lagi.” , tangan ibu Danisa bergetar seiring dengan emosinya yang tertahan untuk mengucapkan semua permohonan itu.