BAB KELIMA : KABAR (part 5)

1887 Kata
Mereka bertiga terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa, sebab mereka sendiri bisa merasakan betapa beratnya menghadapi itu semua. Riska menatap sedih pada ibunya Danisa. Ia bisa merasakan keputus asaan yang dirasakan oleh ibunya Danisa, “Sebelum itu..” , Riska meraih alat perekam suara yang ada di depan Agung dan menyodorkannya padanya, “Maukah ibu mendengarkan ini? Diantara kami semua, pasti Ibu adalah orang yang paling ingin tahu apa yang telah terjadi pada Danisa, putri anda.” Bagaikan istana pasir kokoh yang pada akhirnya hancur disapu oleh ombak, ibu Danisa tidak dapat menahan lagi tangisnya. Dengan tangannya ia menutup wajahnya agar suara tangisnya tidak keluar dari mulutnya dan mencegah matanya untuk mengalirkan lebih banyak lagi air mata. Melihat itu, Riska langsung sigap merangkul dan mengelus pelan pundak ibu Danisa mencoba memberi kekuatan. “Aku mengerti ini memanglah bukan hal yang mudah. Tapi kita harus berjuang untuk Danisa. Kami semua disini yang akan mengemban semua sakit hati kalian atas apa yang terjadi pada anak - anak kesayangan kalian dan kami tidak boleh menyerah. Aku mohon ibu juga jangan menyerah pada kami.. Jangan biarkan pelakunya berkeliaran hidup dengan bebas tanpa beban rasa sakit, sedangkan kalian disini menderita dengan semua perbuatan yang ia lakukan.” , ujar Riska memberi nasihat dan dorongan agar ibunya Danisa mau menarik kembali kata - katanya. Agung bangkit berdiri dan tubuhnya condong ke depan untuk mendorong alat perekam suaranya lebih dekat pada ibunya Danisa, “Tolong.. Buat keputusan setelah ibu mendengarkan ini. Kita dengarkan bersama - sama.” , katanya dengan suara sedih yang mendalam. Di satu sisi ia merasa bersalah karena terus mendorong Danisa dan juga ibunya yang sudah kelelahan, namun di sisi lain ia merasa harus melakukan itu untuk menegakkan keadilan pada pelaku. Perlahan tangan ibunya Danisa turun dari wajahnya dan menahan kesedihannya dalam - dalam saat melihat alat perekam suara itu ada di depannya. Ia ingat dulu saat dirinya masih kecil, pernah diberikan oleh ayahnya yang memang adalah seorang jurnalis. Ia ingat betul ayahnya selalu membawa alat itu kemana pun ia pergi bekerja, alat yang sedikit lebih kuno dan lebih besar dari yang ada di hadapannya sekarang. Sungguh, melihat benda itu setelah sekian lama membuatnya teringat kembali pada sosok ayahnya yang sudah tidak bisa ia temui lagi sejak beberapa tahun terakhir belakangan. Dengan mengangguk pelan, ibunya Danisa setuju untuk mendengarkan rekaman tersebut. Riska melirik pada Agung dan Dimas seperti menunggu isyarat untuk memainkan rekaman itu. Agung mengangguk sekali dan Riska pun langsung menekan satu - satunya tombol besar yang ada pada alat perekam suara miliknya itu. Pada rekaman - rekaman awal, hanya berisi pembicaraan - pembicaraan hangat dan ringan dua anak kecil yang tengah bermain bersama. Yah, walaupun kenyataannya itu adalah Riska yang berbicara dengan Danisa, dan Riska bukanlah anak kecil yang sebenarnya. Namun karena pembawaan dan gaya bicaranya yang secara totalitas benar - benar menyamakan dengan Danisa, ia benar - benar terdengar seperti anak seusia Danisa. Ibunya Danisa sampai tersenyum hangat mendengarkan rekaman suara pembicaraan mereka selama awal - awal bermain tadi. Ia lupa kapan terakhir kali putrinya banyak bicara. Dalam ingatannya, dalam rekaman ini adalah rekor terbanyak putrinya berbicara. Dengan orang yang baru pertama kali ia temui pula. “Danisa anak yang pintar dalam menjelaskan sesuatu.” , puji Riska. Ibu Danisa tersenyum setuju dengan mata masih memerah karena tangisan singkat tadi, “Pada dasarnya dia memang banyak bicara.” Berbeda dengan Riska dan ibunya Danisa yang mendengarkan rekaman awal dengan senyum terukir di wajahnya, Agung terlihat begitu serius. Tentu saja dalam pikirannya ia terus - terusan mengutuk siapapun yang telah membuat gadis kecil ceria seperti Danisa menjadi begitu diam dan tak bersuara kecuali suara raungannya saat mengekspresikan rasa takutnya. Sedangkan Dimas, mendengarkannya dengan serius sama seperti Agung, namun tanpa mengutuk si pelaku. Ia benar - benar hanya mendengarkan, tidak ingin tertinggal satu pun kata yang keluar dari alat tersebut. Hingga pada akhirnya rekaman suara terus memainkan rekaman hingga pada kesaksian Danisa. Ibu Danisa begitu shock hingga mulutnya terbuka dan kedua tangannya langsung menutupi mulutnya dengan air mata yang tanpa aba - aba sudah mengalir di pipinya. Ia tidak tahu betapa keji dan tidak manusiawi apa yang telah terjadi pada putrinya. Terlebih lagi ketika ia menyadari bahwa dirinya lah yang menjadi alasan Danisa tidak ingin berbicara. Hatinya begitu hancur. Mata Dimas membuka lebar hingga lupa untuk berkedip saat rekaman suara sudah sampai ke bagian kesaksian Danisa. Dari sekian banyak kasus kejahatan yang ia ikut terlibat dalam penyelidikannya sejak pertama kali ia bergabung dengan bagian kejahatan kriminal, ini pertama kalinya bagi Dimas mendengarkan secara langsung kekejian dari pelaku kepada korbannya yang hanyalah seorang anak kecil. Satu - satunya hal yang tidak bisa Dimas terima adalah kekejian pelaku yang disasarkan pada anak kecil. Bagaimana bisa ia menyakiti anak kecil yang bahkan mengiranya adalah seseorang yang baik hati dan bahkan mau menolongnya, pikirnya. *** Agung, Dimas, dan Riska keluar dari apartemen Danisa saat matahari sudah menyembunyikan dirinya lebih dalam di kejauhan. Mereka langsung pergi setelah selesai dengan diskusi dan obrolan yang perlu mereka lakukan dengan ibunya Danisa selaku wali dari Danisa. Langit pun sudah begitu jingga, lebih terang dari warna jingga labu besar yang baru masak. Di langit pun beberapa burung yang hanya terlihat seperti bayang hitam terbang melintas membentuk rombongan kecil tengah terburu - buru kembali ke sarang mereka. Suara adzan yang menjadi panggilan untuk umat beragama Islam untuk segera menunaikan ibadah di masjid, sekaligus menjadi penunjuk waktu yang sudah menjadi umum bagi orang Indonesia. Saat suara adzan terdengar, para ibu - ibu tetangga Danisa bersautan memanggil anak - anaknya yang masih bermain di luar agar segera masuk ke dalam. Sebab, bagi sebagian orang yang mempercayainya, adalah pamali untuk berada di luar rumah saat adzan berkumandang. Yah, begitulah pemandangan yang terjadi. Seketika lingkungan apartemen yang tadinya begitu ramai langsung menjadi sunyi dan sepi. Hanya tinggal mereka bertiga yang ada di luar. Sebagai orang yang sudah milenial dan banyak beban pekerjaan yang harus mereka segera selesaikan, mereka bahkan tidak memiliki ruang dalam pikirannya untuk mempercayai hal seperti orang - orang yang tinggal di apartemen ini. Dengan santai, mereka berjalan tanpa berbicara hingga melewati pintu gerbang dan berpamitan dengan satpam tua yang juga sudah bersantai menonton televisi sambil menikmati nasi padang di dalam pos seperti pos itu adalah rumahnya sendiri. Semua barang yang ia butuhkan ada disana. Riska berhenti saat mereka sudah keluar dari gerbang lingkungan apartemen, “Fiuh~ Beruntung ibunya Danisa masih mau melanjutkan. Yah, walaupun itu pasti bukanlah hal yang mudah.” Agung menghela nafasnya dengan mendongakkan kepalanya ke atas menatap burung - burung yang melintas di atas mereka, “Kita sudah maju beberapa langkah. Harus segera diselesaikan sebelum jatuh korban lagi.” , katanya yang langsung menatap ke depan menerawang. Ia beralih menghadap Riska yang berdiri di sebelah kanannya, “Mohon bantuannya untuk ke depannya.” , Agung mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Riska tidak langsung menerimanya, ia menatap tangan Agung beberapa saat sebelum membawa tangannya untuk benar - benar berjabat tangan dengannya, “Iya, saya mohon juga kerjasamanya.” Dimas tidak ingin ketinggalan, ia maju ke depan dan ikut mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Riska. Tentu saja Riska dengan senyum di wajahnya, dengan senang hati menerima tawaran jabat tangan dengan Dimas. “Bagaimana dengan makan malam bersama?” , tawar Riska tanpa ragu mengingat mereka akan terus bekerjasama sampai kasus ini berakhir, “Aku tahu tempat makan seafood yang enak dekat sini.” “Terima kasih atas tawarannya. Tapi ada tempat yang harus saya kunjungi. Mungkin lain kali.” , tolak Agung dengan halus, “Menyetirlah dengan hati - hati. Selamat malam.” , pamitnya sebelum berbalik menuju mobilnya. Riska dan Dimas saling menatap dengan bingung. Dimas yang peka, mendekat pada Riska dan bicara dengan pelan, “Salah satu rekan kami masuk rumah sakit hari ini. Jadi, mas Agung mau menjenguknya lagi malam ini.” “Lagi?” , tanya Riska yang teliti dengan tiap kata yang keluar dari bibir orang lain. Dimas mengangguk dengan senyum getir. “Dimas!” , panggil Agung yang menongolkan kepalanya dari jendela pintu mobil samping kursi kemudi. Yang dipanggil langsung berbalik, “Iya, mas!” “Saya pamit, ya. Menyetirlah dengan hati - hati.” , pamit Dimas sambil sedikit membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Riska mengangguk cepat dan Dimas segera berbalik, berjalan cepat dan masuk ke dalam mobil melalui pintu samping sebelah kursi kemudi. Lampu depan mobil Agung menyala dengan silau begitu mesin mobil dinyalakan. Riska yang masih berdiri di tempatnya dengan reflek kelopak matanya menyipit untuk mencegah cahaya silau yang menerpa matanya masuk seluruhnya. Hal itu memberi waktu pupil matanya untuk mengatur jumlah cahaya yang masuk agar ia tetap bisa melihat dengan jelas walaupun silau cahaya lampunya begitu memuakkan bagi matanya. Untungnya, hal itu tidak berlangsung lama sebab Agung langsung memundurkan mobilnya sebelum melaju pergi meninggalkannya seorang diri disana. Riska menarik nafasnya dalam hingga kakinya berjinjit dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak habis pikir mengapa ia yang menjadi satu - satunya wanita yang ikut, tetapi justru dirinya yang dibuat menunggu dan ditinggalkan. Riska mencoba untuk tidak memasukkan ke dalam hatinya atas perlakuan yang tidak mengenakkan hari ini. Tidak ingin memikirkannya lebih lama lagi, Riska merogoh saku hoodienya dan menekan tombol kunci mobilnya hingga berbunyi dan kedua lampu sennya berkedip dua kali tanda pintu mobilnya sudah tidak terkunci lagi dan langsung masuk ke dalam mobilnya untuk segera pergi dari sana. Beberapa saat setelah kepergiannya, suasana jalan di depan lingkungan apartemen tempat Adelia tinggal langsung sunyi seketika. Semua orang sudah nyaman di dalam tempat tinggalnya masing - masing. Satpam tua yang menjaga pintu gerbang pun terhanyut dalam gelak tawa saat melihat acara komedi di televisi yang tengah ditontonnya. Ibunya Danisa berbaring tepat di samping Danisa dan mengamati dalam - dalam wajah putrinya yang tengah tertidur pulas sejak sore tadi saat menangis. Membayangkan kejadian mengerikan yang dialami putrinya membuatnya dirundung rasa bersalah karena tidak melindunginya dengan baik. Walaupun demikian, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan peristiwa itu dalam hidup Danisa. Satu - satunya yang bisa ia lakukan adalah menghadapinya. Menghadapi apapun yang harus ia lakukan agar pelaku bisa tertangkap dan tidak ada lagi anak - anak yang mengalami kejadian seperti putrinya dan para korban sebelumnya. Di tengah kesunyian waktu magrib itu, seseorang dengan kostum maskot karakter Misha nampak berjalan dengan santai melintasi jalanan depan pintu gerbang lingkungan apartemen Danisa sambil mendorong gerobak kecil yang berisi pengeras suara yang biasa ia gunakan untuk menyetel musik sebagai penarik perhatian orang - orang agar melihatnya dan memberinya uang berapa pun nominalnya. Ia tampak berhenti sejenak saat ia sudah berada di depan gerbang dan menatap ke dalam apartemen untuk beberapa saat. Pak satpam tua yang hendak membuang sampah sisa makannya terkejut melihat orang dengan kostum Misha berdiri di tengah jalan dan melihat ke dalam apartemen, “Hei, kau siapa?” , tegur pas satpam tua itu tidak beranjak dari tempatnya. Orang dengan kostum itu beralih menatap pak satpam tua itu dan terlihat mengerikan dengan ekspresi wajah tersenyum lebar dari kepala kostum itu yang tidak senada dengan ekspresi tubuhnya yang hanya berdiri tegak disana. Pak satpam tua itu terkesiap dan sedikit gemetar saat merasakan tatapan yang tidak mengenakan dari orang yang ada di dalam kostum. Tanpa bicara apapun dan mengabaikan pertanyaan dari satpam tua itu, orang dengan kostum itu melanjutkan perjalanannya menjauh dari sana. “Ada apa dengan orang itu?” , gumam satpam tua masih terus melihat orang dengan kostum itu berjalan menjauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN