Orang dengan kostum itu terus berjalan seorang diri menyusuri jalan yang memang selalu sepi pada jam - jam tertentu, seperti saat ini misalnya. Hanya beberapa saat setelah suara adzan magrib berkumandang, langit pun tidak membutuhkan waktu lama untuk menutupkan siang menjadi malam. Jalan beraspal yang dilaluinya hanya muat untuk dua mobil. Cukup luas jika itu hanya untuk dirinya sendiri. Tetapi ia tetap konsisten memilih untuk berjalan di sisi kiri jalan walaupun bisa saja ia berjalan di tengah karena benar - benar hanya ada dirinya saat ini di jalanan.
Kurang lebih lima belas menit ia berjalan kaki, ia telah sampai di ujung jalan yang membawanya ke jalan raya besar, yang tidak pernah sepi, selalu ramai kendaraan berlalu lalang setiap menitnya. Ia berbelok ke kiri dan terus berjalan melewati beberapa pedagang kaki lima yang biasa berdagang pada malam hari. Ia melewati mereka semua tanpa menengok dan melirik mereka sama sekali. Langkah kakinya berhenti di samping sebuah mobil van tua yang waktu itu mati - matian berusaha dikejar oleh Rangga. Benar sekali, dia adalah orang yang sama dengan yang waktu itu.
Orang itu melepas sarung tangan kostumnya dan nampak tato yang sama persis seperti yang Rangga lihat waktu itu. Ia merogoh selipan kecil di samping pengeras suara yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah kunci mobil dengan gantungan ikat rambut berwarna merah dengan dua buah apel merah kecil mengkilap menggantung disana. Persis seperti sebuah ikat rambut anak - anak yang biasa gadis seumuran Raya kenakan.
Saat pintu bagian belakang mobil van tua itu terbuka, udara pengap yang entah sejak kapan terperangkap di dalam sana berhamburan keluar digantikan oleh udara dari luar yang lebih segar walaupun sudah bercampur dengan polusi dari kendaraan yang berlalu lalang. Cat badan mobil yang sudah mengelupas dan bau besi karat sudah menjadi aroma khasnya. Orang tersebut mengangkat pengeras suara yang di dorongnya tadi bersama dengan gerobak kecilnya dan memasukkannya ke dalam bagasi belakang. Setelah itu dengan cukup keras ia membanting pintu bagasinya hingga terdengar suara kencang. Tidak berhenti sampai disitu, ia kembali menarik pintu bagasinya untuk memastikan pintunya telah tertutup rapat. Ia beralih ke bagian depan mobil dan masuk ke dalam, duduk di kursi kemudi yang sebagian besar sudah mengelupas kulitnya.
Suasana di dalam van itu begitu engap. Ia melepas kepala kostum dan membiarkan wajahnya menghirup udara segar setelah seharian terjebak dalam kepala kostum yang menyesakkan. Keadaan di dalam van tua itu juga gelap tidak ada penerangan sama sekali. Hanya ada cahaya dari lampu jalanan dan lampu kendaraan yang lewat berlalu lalang, memberikan sedikit penerangan di dalam sana. Wajah dari orang tersebut begitu lusuh berkeringat. Setengah wajahnya ditutupi oleh perban yang sudah kotor karena keringat dan kotoran lainnya. Ia melemparkan kepala kostumnya ke kursi penumpang di sebelahnya agar ia lebih leluasa. Dengan kasar ia menutup kembali pintu mobilnya, tak lupa ia memutar sesuatu di pintu mobilnya yang membuat kaca jendela pintu mobil di sampingnya terbuka sepertiganya, membiarkan angin segar tetap masuk ke dalam.
Tangannya meraih suatu tombol di balik kaca spion yang berada di atas dashboard dan menggesernya sedikit untuk membuat lampu kecil yang ada di dekat kaca spion itu menyala. Cahaya lampu itu berwarna kuning keemasan dan tidak terlalu terang. Hanya dengan bantuan cahaya lampu itu, perlahan, ia membuka kain perban di wajahnya. Melakukan hal itu sudah seperti rutinitas wajib untuknya. Saat seluruh perbannya terbuka, sebuah luka bakar yang cukup besar membuat kulit sekitar matanya terlihat putih pucat. Namun yang membuat dirinya menutupi sebagian wajahnya dengan perban bukanlah dikarenakan bekas luka bakar tersebut, melainkan karena sebuah lubang di matanya dikarenakan bola matanya tidak ada disana.
***
Selama perjalanan, baik Dimas dan Agung sama - sama diam. Dimas asik dengan tab yang berisi banyak koneksi ke semua website data - data rahasia yang hanya bisa diakses beberapa orang, sedangkan Agung tengah hanyut dalam pikirannya sendiri. Semua hal tentang perkembangan kasus mereka dan apa yang akan mereka lakukan ke depannya dengan kondisi Rangga yang seperti saat ini berputar - putar dalam benaknya.
“Ini dia!” , sahut Dimas tiba - tiba, “Aku menemukan data surat tanda nomor kendaraan dengan plat nomor Q 8402 T. Disini tertulis mobil van jenis lama, mas. Tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh. Dan.. disini tertulis atas nama Kasimin.” , jelas Dimas.
Agung mendengarkan, ia diam sejenak mencoba mencari celah petunjuk yang lebih akurat dari data yang disebutkan oleh rekannya tersebut.
“Sudah kau periksa soal pembayaran pajaknya?” , tanya Agung.
“Sudah aku periksa dan dari data yang ada hanya tertulis terakhir membayar pajak adalah pada tahun dua ribu sepuluh. Wah, sudah sepuluh tahun berlalu.”
“Apa disana tidak ada tertulis kendaraan dengan plat nomor ini pernah ganti nama?”
Dimas menyipitkan matanya mencoba mencari dengan cepat informasi yang ditanyakan oleh ketua timnya itu, “Tidak. Tidak ada. Hanya Kasimin. Pria yang sekarang berumur tujuh puluh tiga tahun. Hmmm..” , Dimas menggeliat membetulkan posisi duduknya lebih naik lagi, “Tidak mungkin dia adalah si pelaku.. Rasanya untuk berjalan saja sudah sulit, apalagi mengangkat seorang anak kecil dan memasukkannya ke dalam peti.”
“Tentu saja. Mobilnya pasti sudah berpindah tangan antara tahun dua ribu sepuluh hingga dua ribu lima belas.”
“Kenapa begitu?” , tanya Dimas heran pada ketua timnya yang terlihat begitu percaya diri mengemukakan deduksinya.
“Yah, karena selama dua puluh tahun sebelumnya orang bernama Kasimin itu rajin membayar pajak mobilnya. Tetapi tiba - tiba saja ia berhenti membayar pada di tahun dua ribu sepuluh? Mengapa dia tidak membayar pajak lagi setelah tahun itu? Bisa jadi karena dia menjualnya ke orang lain yang tidak mempedulikan soal pembayaran pajak, atau.. orang yang bernama Kasimin ini tidak memiliki uang untuk membayar pajak dan ia memutuskan untuk tidak membayarnya. Tetapi biasanya hal itu tidak akan bertahan lebih lama dari lima tahun sebelum memutuskan untuk menjualnya dengan harga yang lebih murah.”
“Bisa saja ada yang mencurinya, kan?” , sela Dimas mencoba mencari celah.
Agung nyengir. Salah satu ujung bibirnya terangkat tinggi, “Siapa yang mau mengambil resiko mencuri mobil tua yang bahkan jika dijual harganya tidak lebih dari sepuluh juta?”
“Yah, mungkin.. Orang yang benar - benar butuh mobil.” , Dimas ikutan nyengir.
Setelah hari yang melelahkan, akhirnya mereka menemukan sesuatu yang membawa sedikit humor di antara mereka.
“Dimana orang bernama Kasimin ini tinggal?” , tanya Agung lagi.
“Surabaya.” , jawab Dimas singkat dengan perasaan malu.
Agung terkekeh, kali ini lebih terdengar dibandingkan yang sebelumnya. Untuk menghilangkan rasa malunya, Dimas ikut tertawa, walaupun ia sadar yang ditertawakan adalah kebodohannya.
“Kau mau masuk ke dalam?” , tanya Agung begitu ia mematikan mesin mobilnya di parkiran rumah sakit tempat Rangga di rawat.
“Iya, aku akan mampir sebentar.” , jawab Dimas sambil melepas sabuk pengamannya.
***
Mereka berjalan masuk bersama. Sesampainya di kamar perawatan Rangga, mereka disambut oleh ibunya Rangga yang tengah membaca buku dengan khidmat di sisi ranjang Rangga. Kacamata baca yang bertengger di hidungnya membuat dirinya terlihat lebih tua dari biasanya. Begitulah yang ada di benak tiap orang yang pernah melihat ibunya Rangga dengan dan tanpa kacamata baca.
“Maaf kami mengganggu malam - malam.” , ujar Agung dengan sopan.
“Tidak, tidak apa - apa. Bukan masalah. Kalian juga pasti ada hal yang ingin dibicarakan dengan Rangga.” , ibunya Rangga beranjak dari tempat duduk yang bisa dipindah - pindahkan untuk mempersilahkan Agung duduk disana.
“Kami hanya akan sebentar, bu. Tidak akan lama.”
“Baiklah, kalau begitu biar saya tinggalkan kalian bertiga.” , pamit ibunya Rangga penuh pengertian.
“Sebenarnya tidak masalah, bi. Bibi tidak perlu keluar.” , elak Dimas merasa tidak enak.
“Tidak apa - apa, aku mau mencari udara segar sebentar.”
Setelah meletakkan buku dan juga kacamata bacanya di atas meja, ibunya Rangga langsung keluar kamar perawatan Rangga. Saat itu juga, Rangga dan Sean baru kembali dari perjalanan tanpa hasil mereka.
“Oh? Ibu?” , Rangga tidak mengerti mengapa ibunya keluar dengan mantelnya.
Melihat hal itu, membuatnya lebih penasaran apa ada sesuatu di dalam kamarnya yang membuat ibunya harus pergi keluar. Dan benar saja, saat Rangga masuk menembus pintu, ia sudah disambut pemandangan kedua rekan kerjanya yang terlihat begitu serius berbicara dengan dirinya yang terbaring koma di ranjang.